In ARKIPEL 2017 - Penal Colony, Festival Updates, International Competition

Perhelatan ARKIPEL Penal Colony – 5th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival ditutup pada malam penghargaan di Goethehaus tanggal 26 Agustus, 2017. Total sebanyak 89 judul filem dari 80 negara diputar sejak festival filem ARKIPEL dibuka tanggal 19 Agustus, 2017. Tujuh hari terakhir kami telah menayangkan lebih dari 89 filem yang terkategori dalam program Kompetisi Internasional, Kuratorial, Kurator Muda Asia, Presentasi Khusus, dan Penayangan Khusus. Terpilih 31 filem dari 1.722 filem yang didaftarkan dari sekitar 80 negara dari seluruh dunia untuk program Kompetisi Internasional.

The ARKIPEL Penal Colony – 5th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival was officially closed in the GoetheHaus Jakarta, August 26, 2017. There were 89 films from 80 countries over the world presented in ARKIPEL since its opening at August 19, 2017. This last 7 days, we have screened more than 89 films consisted of International Competition, Curatorial, Asian Young Curator, Special Presentation and Special Screening. 31 films selected from 1.722 films submitted from about 80 countries from all around the world for the International Competition program.

Tahun ini, para juri ARKIPEL Penal Colony memutuskan terdapat empat kategori penghargaan, setiapnya dipilih oleh lima orang anggota dewan juri yang terdiri dari Hafiz Rancajale (Indonesia), Jean-Marie Teno (Kamerun), Andrés Denegri (Argentina), Hsu Fang-Tze (Taiwan) and Zbyněk Baladrán (Republik Ceko), kecuali untuk kategori Forum Lenteng Award dipilih oleh para selektor dari program Kompetisi Internasional. Keempat kategori penghargaan tersebut adalah:

This year, the juror of ARKIPEL Penal Colony decided there were four award categories, each of which was chosen by the four members of the board of the jury, namely Hafiz Rancajale (Indonesia), Jean-Marie Teno (Cameroon), Andrés Denegri (Argentina), Hsu Fang-Tze (Taiwan) and Zbyněk Baladrán (Czech Republic), expect the Forum Lenteng Awards winner that selected by the selector of International Competitions program. These four awards are:

PERANSI Award

Announced by Jean-Marie Teno

PERANSI Award diberikan kepada karya sinematik yang secara istimewa dan segar mengeksperimentasikan berbagai kemungkinan pendekatan pada aspek-aspek kemediuman dan sosial. Secara khusus, kategori ini difokuskan kepada pembuat filem berusia muda. Penghargaan terbaik dalam kategori ini terilham dari nama David Albert Peransi  (1939–1993), seniman, kritisi, guru, dan tokoh penganjur modernitas dalam dunia senirupa dan sinema dokumenter dan eksperimental di Indonesia. Penghargaan ini diberikan kepada:

PERANSI Award is given to a cinematic work that in a special and fresh way experiments on various possible approaches of the medium and social aspects. Specifically, this category focuses on young filmmakers. The award itself is inspired by David Albert Peransi (1939-1993), an artist, critic, teacher and exponent of modernity in art world and documentary and experimental cinema in Indonesia. This Award goes to:

Dadyaa (The Woodpeckers of Rotha) by Pooja Gurung and Bibhusan Basnet, 2016, Nepal.

“Memberi penghargaan pada sineas muda, apa maksudnya? Pentingnya usia dalam konteks komunitas filem ialah untuk mendorong daya ungkap filem yang akan membicarakan isu-isu kontemporer tanpa beban hierarki sosial. Peransi berkata, “Makna dari pemahaman bukanlah keberadaan misterius maupun semu yang tertanam pada suatu fonetik. Sebaliknya, ia lahir dan berkembang dalam sejarah […] kata-kata memperoleh makna ketika disusun menjadi narasi. Narasi bukan sebuah sistem tertutup, melainkan sebuah penjelajahan atas pencarian, penegasan, dan pertanyaan tentang hidup itu sendiri.” Inilah filem yang menghuni ingatan kita. Meski filem fiksi pendek, di luar nilai-nilai produksinya, ia membawa sejumlah peninggalan surealistis yang menghubungkannya dengan pencapaian artistik generasi pertama sineas eksperimental.”

“Giving a prize to a young filmmaker, what does that really mean? The relevance of talking about age in the context of film community is to encourage a film utterance that will address contemporary issues without the burden of social hierarchy. As Peransi said, “The meaning of comprehension is not a mysterious nor a pseudo existence that is embedded to a phonetics. Rather, it is born and it develops within history […] those words gain meanings when they are organized into a narrative. A narrative is not an enclosed system, rather a journey of finding, confirming, and questioning life itself.” This is a film that dwells in our memory. Even though it is a short fictional film, beyond its production values, it carries some surrealistic heritages that connects the film to the artistic achievement of the first generation of experimental filmmakers.”

— Juries’ statement by Jean-Marie Teno —

JURY Award

Announced by Andrés Denegri

JURY Award diberikan kepada filem terbaik versi pilihan dewan juri, dengan pertimbangan, bahwa terdapat kesegaran dan keunikan bahasa ungkap yang mencapai kematangan personal dalam menyingkapkan dan mengkomunikasikan pengalaman estetis, pergulatan atas konten, serta penjelajahan subjektif akan teks/konteks ke dalam representasi terkininya. Sangat mungkin, tawaran nilai-nilai dalam filem terbaik untuk kategori ini semata-mata bersifat individual oleh karena isu dan pendekatannya tidak selalu berlaku secara umum di beragam konteks budaya dan sosial. Penghargaan ini diberikan kepada:

JURY Award is given to the best film of jury’s choice based on the consideration in terms of unique and fresh visual expression, personal maturity in revealing and communicating aesthetic experience, struggle over content and subjective exploration over text/context to its contemporary representation. It is highly likely that the best film in this category offers values of individual nature because the issue and its approach do not fit in many socio-cultural contexts. This Award goes to:

Dwa Swiaty (Two Worlds) by Maciej Adamek, 2016, Poland.

“Situasi canggung terjadi saat juri hendak mencapai keputusan akhir untuk penghargaan ini. Sebagian kami terkejut sebab karya terpilih tidak ada di daftar karya teratas saat awal diskusi. Namun ini diskusi yang baik, pertukaran sudut pandang dan gagasan yang sesungguhnya, hasil ini ialah pencapaian yang mesti, di mana semua yang terlibat tercengang oleh keputusan akhir yang diambil oleh mereka sendiri.

Perkara pokok diskusi penghargaan ini sederhana: filem ini sangat matang dikerjakan tapi terlalu banyak filem dokumenter klasik. Jawaban—sebetulnya pertanyaan—itu hadir, di dekat kita, namun ia tak mudah diperoleh. Jawabnya: Lalu? Untuk apa memaksakan diri mencari filem dengan bentuk akrobatik sebagai prasyarat guna menilai bahwa filem tertentu baik? Kebanyakan kita jatuh cinta pada sinema melalui filem klasik yang menawan, kita menikmati kembali padanya dan elok jika kita tambah filem lagi ke dalam daftar itu. Juri memberi penghargaan ini kepada filem yang dibuat bukan untuk ahli, filem yang keindahannya dapat dirasai saat dipertemukan dengan penontonnya, sebab filem ini penuh cinta, secara jujur ia bisa dimaknai sebagai sebuah potret cinta.”

“It was actually awkward for the jury to arrive to a final decision regarding to this award. Some of us were surprised because the selected work was not on the top at the beginning of the discussion. But a good discussion, a real interchange of points of views and ideas, must reach this kind of results, where all the parts involved are amazed by the final decision that the entire group took.

The central matter of the discussion about this awarded film was simple: it is a very well done and too much classic documentary film. The answer –actually a question- was there, near us, but it was not easy to get. The answer was: So what? Why to push ourselves to look for some acrobatic formalism as a condition to consider a film as great?

Most of us felt in love with cinema trough adorable classic films, we enjoy coming back to them and it is charming when we can add one more to our list. So the jury decided to award a film made not for experts, a film that real audiences can find gorgeous because it is a film full of love, in fact it could be fairly be understood as a portrait of love.”

— Juries’ statement by Andrés Denegri —

FORUM LENTENG Award

Announced by Otty Widasari

Forum Lenteng Award, sebagai kategori penghargaan untuk filem terbaik pilihan Forum Lenteng merefleksikan posisi pembacaan dan sikap kritis kami atas perkembangan karya-karya visual sinematik pada tataran estetika dan konteks. Penghargaan diberikan kepada filem yang dianggap paling terbuka dalam menawarkan nilai-nilai komunikatif, baik dari segi artistik maupun konten, yang memberikan peluang bagi pendekatan sosial seni secara berbeda dan lebih leluasa bagi keberanian ekperimentasi. Sejumlah juri (tiga orang) dari pengurus Forum Lenteng menilai filem-filem seleksi dan mengajukan unggulan terbaik di kategori ini untuk diperdebatkan dengan Dewan Juri ARKIPEL. Penghargaan ini diberikan kepada:

FORUM LENTENG Award, as a category for the best film selected by Forum Lenteng, reflect our reading position or critical attitude toward the development of cinematic visual works at an aesthetic and contextual level. The award for this category is given to the film deemed the most open in offering communicative values, whether based on the artistry and content, providing a chance for a different social approach on art and wider experimental possibilities. A number of jury (three) from Forum Lenteng organizational structure judge the films selected and submit the best nominee for this category for the ARKIPEL Jury to argue. This Award goes to:

Utsav by Suruchi Sharma, 2016, India.

Suruchi Sharma received the award prize.

“Kategori penghargaan filem terbaik pilihan Forum Lenteng merefleksikan posisi pembacaan dan sikap kritis kami atas perkembangan karya visual sinematik pada tataran estetika dan konteks. Penghargaan diberikan kepada filem yang dianggap paling terbuka dalam menawarkan nilai-nilai komunikatif, dari segi artistik maupun konten, yang memberikan peluang bagi pendekatan sosial seni secara berbeda dan keleluasaan ekperimentasi. Sejumlah juri (tiga orang) dari pengurus Forum Lenteng menilai filem-filem seleksi dan mengajukan unggulan terbaik di kategori ini untuk diperdebatkan dengan Dewan Juri ARKIPEL.

Aktivitas yang tidak sesuai sistem, memberi makna lain pada kemanusiaan, samar, transparan, menjadi terlihat, ada.

Saat struktur dan kultur tidak memberi ruang, maka secara politis situasi tersebut membentuk inisiatif. Inilah sebuah situasi yang mengandalkan kemanusiaan yang saling berkaitan, bergotong royong, dengan kesadaran akan kesamaan, secara komunal dan alamiah.”

“As a category for the best film selected by Forum Lenteng, reflects our reading position or critical attitude toward the development of cinematic visual works at an aesthetic and contextual level. The award for this category is given to the film deemed the most open in offering communicative values, whether based on the artistry and content, providing a chance for a different social approach on art and wider experimental possibilities. A number of jury (three) from Forum Lenteng organizational structure judge the films selected and submit the best nominee for this category for the ARKIPEL Jury to argue.

Activities which go beyond the system, rendering other meanings toward humanity, vague, subtle, being visible, exist.

When structure and culture give no space, then politically such situation shapes initiatives. There goes a situation which relies on interconnected humanity, to cooperate, with awareness on similarity, communally and naturally.”

— Juries’ statement by Otty Widasari —

ARKIPEL Award

Announced by Hsu Fang-Tze

ARKIPEL Award diberikan kepada filem terbaik utama secara umum yang, dalam penilaian dewan juri, memiliki pencapaian artistik yang tinggi disertai kekuatan potensialnya dalam memaknai pilihan perpektif kontekstualnya. Melalui kontennya, segenap aspek tersebut dalam bahasa ungkap visualnya berhasil mengajukan suatu pemerian terbaru akan pandangan dunia kontemporer kita sebagai diskursus yang menantang cara pandang umum atas situasi tertentu yang diungkapkan subject matter-nya. Filem terbaik dalam kategori ini, secara khusus, dapat dipandang mewakili pernyataan ARKIPEL akan nilai-nilai yang ditawarkan oleh gairah dan nalar dari semangat zaman yang menginspirasi penciptaan estetik terhadap gambaran dunia yang di satu sisi telah sama-sama disepakati, namun di sisi lain menuntut untuk selalu didefinisikan dan didefinisikan kembali. Penghargaan ini diberikan kepada:

ARKIPEL Award is given to the best film in general that, based on jury’s view, has the highest artistic achievement and a potential power to give meanings to its contextual perspective choice. By the content, all those aspects through the film’s visual expression should be successful in offering a newest representation of our contemporary world view as a challenging discourse for the general view over a certain situation revealed by the subject matter. The best film in this category particularly can be considered as representing ARKIPEL’s statement concerning the values offered by the passion and reason of a spirit of the time, becoming an inspiration for aesthetic creations about the world that on the one hand is approved of and on the other hand demands definition and re-definition. This Award goes to:

Hashti Tehran by Daniel Kotter, 2016, Germany

“Filem ini mengingatkan kita pada kebutuhan pembuatan dokumenter eksperimental saat ini. Ia ialah sebuah perjalanan kolektif dengan bentang urbanisasi sebagai protagonis atasnya dan dengan proposisi permukiman sebagai leitmotifnya. Ia menawarkan suatu cara pandang kritis untuk kita merenungkan keadaan  warga di bawah rezim neo-liberalisme yang kapitalistik dalam model privatisasi skala global. Mengenai bentuknya, pendekatan dialektis filem bermodel penceritaan visual ini mengantarkan kita melampaui hal-hal lokal atau lokasi dalam rasa geografis dan membuat kita mengenali persoalan batin dari pengaruh atas pemandangan di hadapan kita. Penggambaran esayistiknya tidak saja bicara keadaan psikologis bangkitnya warga kelas menengah Iran, namun juga mengangkat isu universal pembangunan yang dimiliki oleh kita semua terlepas dari konteks ruang-waktu kita yang berbeda jauh.”

“The film reminds us the necessity of making an experimental documentary in our time. It is a collective travelogue with the landscape of urbanization as its protagonist and with the proposition of habitation as its leitmotif. The film offers a critical lens for us to reconsider the state of citizenship under the circumstance of the neoliberal capitalist regime of privatization in the global scale.

Regarding its form, the film’s dialectical approach to visual storytelling takes us beyond the locale or place in the geographical sense and makes us recognize the inner world of affect through the landscape in front of us. Its essayistic portrait speaks not only to the psychological state of the raising Iranian middle class but also to the universal issue of developmentalism shared by all of us regardless our drastically different time-space context.”

— Juries’ statement by Hsu Fang-Tze —

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X