In ARKIPEL 2017 - Penal Colony, Festival Updates, Opening Night
Bahasa Indonesia

Malam Pembukaan ARKIPEL Penal Colony - 5th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival

Ruang-ruang alternatif bagi distribusi sinema dan pengetahuannya kembali hadir di tengah hiruk-pikuk Indonesia, atau di Jakarta khususnya. Pembukaan ARKIPEL Penal Colony – 5th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival berlangsung lancar dan meriah. Sekitar 385 tamu, baik undangan maupun media dan umum, hadir memenuhi kursi-kursi GoetheHaus, Goethe-Institute Jakarta pada Sabtu, 19 Agustus 2017 pukul 19:00.

FRAU di Malam Pembukaan ARKIPEL Penal Colony.

Pada Pembukaan kali ini, ARKIPEL memulai helatan acaranya dengan iringan lagu dari FRAU. Penyanyi dan musisi asal Jogjakarta yang memiliki nama asli Leilani Hermiasih tersebut menyenandungkan 4 buah lagu sembari memainkan keyboard untuk mengiringi suaranya. Usai lagu keempat yang berjudul “Dari Balik Jeruji Besi”, penonton yang berjubel dalam aula GoetheHaus pun bertepuk tangan meriah.

Direktur ARKIPEL, Yuki Aditya, kemudian naik ke atas panggung, memberikan pidato sambutan. Ia memaparkan tentang pelaksanaan ARKIPEL yang dari tahun ke tahun, sejak pertama kali dilaksanakan di tahun 2013, telah diniatkan sebagai lokus distribusi dan produksi pengetahuan sinema dengan jangkauan ruang yang lebih luas, baik secara lokal maupun internasional. Ia mengungkapkan bahwa dengan landasan inilah, maka tahun ini Forum Festival kembali diadakan dengan mengundang para peserta yang mewakili komunitas-komunitas filem dari berbagai lokasi di Indonesia.

Selain itu, tahun ini, pameran Kultursinema juga kembali hadir dengan menampilkan filem-filem dari periode Revolusi, yaitu tahun 1942 sampai akhir dekade 1940an, serta filem karya Dr. Huyung.

“Pameran kali ini juga berfokus pada karya-karya dari Dr. Huyung, seorang pembuat filem yang terlahir sebagai orang Korea bernama Hae Young, dan berganti menjadi Eitaro Hinatsu, lalu meninggal sebagai orang Indonesia bernama Dr. Huyung,” tutur alumni jurusan Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia tersebut. Pameran yang diselenggarakan di Gudang Sarinah Ekosistem ini telah dibuka pada 18 Agustus 2017 malam lalu dan akan berlangsung hingga 25 Agustus 2017, mulai pukul 13.00 hingga 20.00 WIB.

Yuki Aditya, Direktur ARKIPEL, memberikan kata sambutan.

Selama kurun waktu hingga 25 Agustus 2017 ke depan, ARKIPEL akan menayangkan 89 judul filem. Sebanyak 31 filem di antaranya merupakan bagian dari Kompetisi Internasional yang telah terpilih dari lebih 1.722 judul filem yang didaftarkan dari 80-an negara dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia. Selain itu, program kurasi filem Indonesia, Candrawala, juga kembali hadir untuk melihat peta perkembangan sinema di Indonesia dan bagaimana pembuat filem merefleksikan teknologi dan keseharian mereka sendiri.

Tak lupa, Direktur Festival yang telah menjabat sejak ARKIPEL dimulai ini mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu terlaksananya ARKIPEL kelima. Menutup pidatonya, Yuki menyebutkan satu per satu nama Juri Kompetisi Film Internasional, kurator tamu, serta peserta Kurator Muda Asia yang terpilih. Para tamu yang namanya disebutkan pun satu per satu berdiri dan disambut riuh tepuk tangan penonton.

Mengakhiri pidatonya, Yuki memperkenalkan dan mengundang ke atas panggung anggota Forum Lenteng dan kawan-kawan yang telah membantu pengorganisasian dan program ARKIPEL Penal Colony.

Hafiz Rancajale, Direktur Artistik ARKIPEL, menyampaikan pidato pembuka festival.

Direktur Artistik ARKIPEL sekaligus Ketua Forum Lenteng, Hafiz Rancajale, dalam sambutannya mengungkapkan bahwa pada tahun ini, tema Penal Colony muncul melalui dialog yang cukup panjang. Tanpa berlama-lama memaparkan sambutannya, Hafiz kemudian mengucapkan terima kasih atas kehadiran Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid dalam Pembukaan ARKIPEL kali ini dan mengundangnya untuk memberi sambutan.

Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan, turut memberikan sepatah dua patah kata sambutan.

Kesalutan akan konsistensi ARKIPEL selama 5 tahun berturut-turut disampaikan oleh Hilmar Farid yang kala itu hadir dengan kesederhanaan tanpa menduga akan adanya keharusan berpidato. Ketika seluruh anggota Forum Lenteng yang hadir di atas panggung kembali ke tempat duduk mereka masing-masing, Afrian Purnama selaku perwakilan dari tim selektor filem Kompetisi Internasional kemudian membacakan pengantar untuk pemutaran filem pembuka festival.

Afrian Purnama, salah satu anggota tim selektor Kompetisi Internasional ARKIPEL Penal Colony, membacakan kata pengantar untuk 4 filem pembuka di Malam Pembukaan ARKIPEL Penal Colony.

Filem-filem pada pembukaan kali ini, menurut Afrian, menjelaskan kembali satu pertanyaan genting sekarang terhadap konsep-konsep dan pandangan-pandangan tentang makna kolektivisme yang kita anut dan kita percaya sekarang. Dadyaa (The Woodpekers of Rotha) karya Puja Gurung dan Bibusan Basnet dari Nepal, kemudian El Beccero Pintado (The Painted Calf) karya David Pantaleon dari Spanyol, lalu yang ketiga Estate karya Ronny Trocker dari Perancis, dan akhirnya Nyo Vweta Nafta karya Iko Costa dari Portugal kemudian pun diputar secara berurutan selama sekitar 50 menit.

Usai acara resmi pembukaan yang berlangsung hingga sekitar pukul 20.30, para hadirin pun membanjir di area lounge GoetheHaus. Sebagian tamu menelusuri selasar GoetheHaus yang diisi 31 poster filem Kompetisi Internasional. Sebagian lainnya berkumpul di ruang terbuka di tengah Goethe Institut Jakarta untuk saling berbincang sembari menikmati hidangan ringan yang disajikan.

“Selamat untuk ARKIPEL atas pembukaan yang sudah berlangsung. Saya suka acaranya dan juga filem ketiga yang diputarkan,” tutur Renan Laru-an, peneliti dan kurator dari Filipina yang pada tahun ini juga menjadi kurator OK. PANGAN, 8th OK.Video Indonesia Media Arts Festival (2017) di Jakarta.

Tuturan serupa juga muncul dari Ellena Ekarahendy, desainer grafis yang juga tergabung dalam Serikat Sindikasi. Di tengah dentuman musik yang dimainkan Klub Karya Bulu Tangkis kala itu, Ellena mengungkapkan rasa salutnya akan konsistensi pelaksanaan ARKIPEL hingga bertumbuh sebesar ini dan terus mendatangkan berbagai pegiat dan pembuat filem dari dalam maupun luar negeri. Menurutnya, hal ini penting karena dapat memberi pengalaman baru dalam menonton atau tentang sinema itu sendiri. ***

English

Opening Ceremony of ARKIPEL Penal Colony - 5th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival

The alternative space for the distribution of cinema and its knowledge is again presented in the midst of hustle and bustle of Indonesia, or in Jakarta particularly. The opening of ARKIPEL Penal Colony – 5th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival went smoothly and lively. Around 385 guests, both invited as well as media and public guests, attended the Goethehaus, Goethe-Institute Jakarta on Saturday, August 19 2017 at 19.00.

FRAU’s performance at ARKIPEL Penal Colony.

In its Opening this time, ARKIPEL started the occasion with songs from FRAU. This singers and musicians from Jogjakarta whose real name is Leilani Hermiasih sang 4 pieces of songs while playing keyboard. After the fourth song entitled “Dari Balik Jeruji Besi” (From Behind Iron Bars), the people crowding in the GoetheHaus hall, many even sat on the stairs, gave their applauses.

Director of ARKIPEL, Yuki Aditya, then went onto the stage to read his opening speech. This cultural activist said that the implementation of ARKIPEL from year to year, since it was first implemented in 2013, has been intended as a locus of distribution and production of cinematic knowledge to a wider range of scope, locally and internationally. He revealed that with this foundation, this year Forum Festival was held again by inviting participants representing film communities from various locations in Indonesia.

In addition, this year, Kultursinema exhibition is held again to present films from the Revolution period, from 1942 to the end of the 1940s, and the film of Dr. Huyung.

“This exhibition also focuses on the works of Dr. Huyung, a Korean-born filmmaker named Hae Young, who changed into Eitaro Hinatsu, then died as an Indonesian named Huyung,” said this alumni of Fiscal Administration from University of Indonesia. The exhibition held at Gudang Sarinah Ekosistem has been opened on August 18, 2017 last night and will last until August 25, 2017, starting at 13:00 to 20:00 GMT +7.

Yuki Aditya, Festival Director of ARKIPEL, was welcoming festival audiences.

Until the following August 25, 2017, ARKIPEL will feature 89 films. A total of 31 films are part of the International Competition which has been selected from more than 1,722 films registered from 80 countries from around the world, including from Indonesia. In addition, the Indonesian film curatorial program, Candrawala, is also presented again to see the map of cinema development in Indonesia and how filmmakers reflect on their own technology and daily life.

This Festival Director who has served since ARKIPEL began also thanked all the parties who have helped the implementation of the fifth ARKIPEL. Closing his speech, Yuki mentioned one by one the names of the International Film Competition Jury, guest curator and selected Young Asia Curator. The guests whose names were mentioned stood up one by one and were greeted by a merry applause from the audience. He finally introduced and invited the members of Forum Lenteng who have helped to organize and program ARKIPEL 2017 – Penal Colony to the stage.

Hafiz Rancajale, Artistic Director of ARKIPEL, gave his opening speech at the festival.

The Artistic Director of ARKIPEL and founder and chairman of Forum Lenteng, Hafiz Rancajale, in his speech revealed that this year, the Penal Colony as theme of ARKIPEL, emerged through long dialogues. Without lingering in his speech, Hafiz then thanked the Director General of Culture of The Ministry of Education and Culture, Hilmar Farid, who attended the opening of ARKIPEL this year and invited him to give a speech.

Hilmar Farid, General Director of Cultural Affair, also gave a few words at the opening of the ARKIPEL Penal Colony.

A respect toward the consistency of ARKIPEL for 5 consecutive years later was expressed by Hilmar Farid who at that time came humbly without suspecting the need to make a speech. When all members of Forum Lenteng who was on stage has come down, Afrian Purnama as representative of International Competition’s film selectors read out the introduction for films of opening festival.

Afrian Purnama, a representative of the selector team for International Competition, read the preface of films which open the festival.

The films at the opening this time, according to Afrian, re-explain a current urgent question on the concepts and views about the meaning of collectivism that we profess and believe today. Dadyaa (The Woodpekers of Rotha) by Puja Gurung and Basnet Bund from Nepal, then El Beccero Pintado (The Painted Calf) by David Pantaleon from Spain, then the third Estate by Ronny Trocker from France, and finally Nyo Vweta Nafta by Iko Costa from Portugal were screened in sequence for about 50 minutes.

After the official opening ceremony that lasted until around 20:30, the audiences were flooding the area around GoetheHaus. Some guests walked around the foyer of GoetheHaus filled with 31 International Competition film posters. Others gathered in the open space in the middle of the Goethe Institut Jakarta to mingle to each other while enjoying the light dishes served.

“Congratulations to ARKIPEL for the opening. I like the event and also the third film screened today.” said Renan Laru-an, a researcher and curator from Philippines who this year also became the curator of 8th OK.Video Indonesia Media Arts Festival (2017) in Jakarta.

Similar expression also appeared from Ellena Ekarahendy, a graphic designer who is also part of Serikat Sindikasi. In the midst of the music played by Klub Karya Bulutangkis, Ellena expressed her salute for the consistency of ARKIPEL which now has grown this big and continue to bring various activists and filmmakers from Indonesia and abroad. According to her, this is important because it can provide a new experience in watching or about the cinema itself. ***

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X