In ARKIPEL 2014 - Electoral Risk, Festival Updates

JAKARTA, ARKIPEL, Forum Lenteng — Sabtu, 13 September, 2014, hari ini adalah tayangnya filem kedua dari Yamagata Documentary Film Festival (YIDFF) di Kineforum. Berbeda dengan hari sebelumnya, di mana sebagian besar penonton adalah orang Indonesia, ada beberapa orang Jepang yang hadir di hari ini, termasuk Murakami Kenji, sutradara filem Sound Hunting yang ditayangkan kemarin. Pukul 19.00, penonton berjalan masuk ke dalam studio dan dengan tenang mengambil tempat duduk.

Filem ini dibuka dengan adegan seorang pria dan seorang perempuan yang duduk saling berhadapan. Pasangan di layar tertawa kecil, mengenang dengan manis sebuah hari yang mengubah hidup mereka.

‘Mengenang dengan manis’ memang bukan frase yang langsung terlintas di pikiran ketika sedang membahas mengenai filem dokumenter bencana alam. Tapi, itu sudut yang Sakai Ko dan Hamaguchi Ryusuke sajikan dalam Voices from the Waves Shinchimachi — yang bercerita mengenai bencana 11 Maret. Filem tersebut menggambarkan kehidupan warga Shinchi-machi, Soma-gun, Fukushima dan Kesen’numa City, Miyagi, ketika tsunami melanda daerah mereka.

Saya duduk di dalam ruangan, setengah berharap bakal menonton kisah yang menyayat hati mengenai kehilangan dan tragedi ketika para korban bercerita mengenai kenangan mereka. Saya justru terkejut: bukannya penderitaan dan kesedihan, saya malah melihat cerita-cerita mengenai kehormatan, tanggung jawab, kasih sayang dan tekad. Narasi-narasi itu terbentang di hadapan saya.

“Kita berlari ke arah laut,” pria dalam layar terkekeh. “Kenapa kita melakukan itu?” dia bertanya-tanya.

“Aku tidak tahu,” istrinya, yang duduk di seberangnya, menjawab. “Aku selalu percaya padamu. Aku pikir kau tahu apa yang sedang sedang kau lakukan,” ujarnya dengan sayang.

Percakapan antara pasangan tua adalah salah satu dari banyak yang terjadi pada layar. Ada pola, tampaknya, pada orang-orang yang terlibat. Ada ayah dan anak, bos dan karyawan, teman, dan orang asing mewawancarai orang lain. Selama 103 menit, wajah mereka berubah dari korban bencana yang tak bernama menjadi suara-suara individual. Penonton disuguhi humor ketika ayah dan anak bertengkar mengenai ingatan mereka yang berbeda akan tragedi tersebut. Kita disajikan kebahagiaan pahit ketika wajah ceria seorang ayah mengernyit dan menangis di dalam layar, saat ia mengingat betapa menyedihkan anak-anaknya ketika ia dan istrinya menemukan mereka di tempat penampungan darurat. Semburat kesedihan melanda kami, penonton, ketika menyaksikan seorang pria yang mengakui bagaimana ia tidak pernah bisa melihat laut dengan cara yang sama lagi —lautan, menurutnya, telah membunuh keluarganya.

Filem ini pun menjadi sebuah alternatif yang menyegarkan dari musik gesek yang monoton serta narasi yang bersimbah air mata yang biasanya terjadi dalam sebuah filem dokumenter bencana alam.

“Filem ini bertindak sebagai kontras dari filem dokumenter aliran utama pasca bencana 11 Maret,” jelas Makiko Wakai pada akhir filem. “Ada pola tertentu yang melekat pada proses pembuatan filem dokumenter sehingga filem ini, bersama banyak filem lainnya, disajikan sebagai alternatif.”

Waktu penayangan yang berlangsung setengah jam lebih dari waktu yang dijadwalkan, terpotong oleh penonton yang menggigil di dalam dinginnya ruangan. Makiko kemudian tersenyum dan mengundang kami untuk berbicara di luar. Segera kami mulai meninggalkan ruangan, melanjutkan diskusi kami di lorong-lorong sepi Kineforum.

Makiko Wakai sedang memberikan penjelasan tentang filem Voices from the Waves Shinchimachi.

Makiko Wakai sedang memberikan penjelasan tentang filem Voices from the Waves Shinchimachi.

Voices from the Waves: Fond Memories from March 11th Disaster

 

JAKARTA, ARKIPEL, Forum Lenteng — It was the second viewing of Yamagata Documentary Film Festival’s selection at the Kineforum Studio. Unlike the previous day wherein most of the audience members were Indonesian, there were noticeably several Japanese in attendance, including Murakami Kenji, whose movie Sound Hunting was shown on the day before. At precisely 19:00, audience walked in to the studio, quietly seating themselves.

The movie opened with a man and a woman, sitting directly in front of each other. The couple recalled fondly of the day that had irrevocably changed their lives.

Fond remembrance is not the phrase that would immediately spring into mind when discussing a natural disaster documentary. But it was the angle that Sakai Ko and Hamaguchi Ryusuke presented in Voices from the Waves Shinchimachi — the last part of the trilogy chronicling the March 11th disaster. The movie, which ran for 103 minutes, depicted the lives of the residents of Shinchi-machi, Soma-gun, Fukushima and Kesen’numa City, Miyagi when the tsunami hit. I sat in the room, half-expecting to watch heart-wrenching stories of loss and tragedy as the victims recalled their memories. To my surprise, instead of anguish and grief, I saw stories of honor, responsibility, affection and determination unfurled in front of me.

“We ran towards the sea,” the man chuckled onscreen. “Why did we do that?” he wondered aloud.

“I don’t know,” his wife, who sat across him, replied. “I’ve always trusted you. I thought you knew what you were doing,” she said fondly.

The conversation between the elderly couple was one of many that occurred onscreen. There was a pattern; it seemed, in the people involved. There were father and son, boss and employee, friends, and strangers interviewing others. Over the course of 103 minutes, their faces morphed from nameless victims of the disaster to individual voices. The audience was regaled with humor as father and son squabbled over their differing recollection of the tragedy. We were treated with bittersweet happiness as the cheerful chuckling father’s face crumpled on screen, remembering how dejected his children had been when he found them alive in the emergency shelter. Tinge of sadness washed over us when we witnessed a man retelling how he could never look at the sea the same way again —that it had killed his relatives.

It was a refreshing change from the monotony of sad string music and tears-stained narration that usually happened in a natural disaster documentary.

“This movie acts as a counter-image to the mainstream documentary post-March 11th disaster,” Makiko Wakai explained, at the end of the movie. “There was a pattern that followed the documentary-making process so this movie, along many others, served as an alternative.”

The screening time, which dragged a half hour later than planned, was cut short as the audience collectively shivered at the cold of the room. Soon we began to leave the room, continuing our discussion by the deserted halls of Kineforum.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X