The Juxtaposition of the Location and An Author’s Wisdom
Lokasi yang Bersanding dengan Kebijakan Pengarang

Host: I Gde Mika

Tuesday, 29 November 2022 | 19:00 | bioskopforlen
Friday, 2 December 2022 | 19.00 | bioskopforlen

Film, dalam kesejarahannya selalu terikat dengan infrastruktur pemerintah, sekolah, industri media, atau berbagai jenis “institusi”, hingga tak ada peluang untuk keluar dari mekanisme legitimasi itu. Tirani industri dan juga institusi-institusi mapan memainkan peran dominasi secara menyeluruh di dalam setiap sendi produksi film. Sebenarnya, sesuatu di luar itu, atau sebut saja ranah marjinal dalam pengertian non-industri, yaitu komunitas, hadir. 

Film-film dalam kuratorial Candrawala tahun ini, secara implisit dan eksplisit, bukan hanya berdiri sendiri sebagai ekspresi kekaryaan. Mereka juga hadir untuk memperlihatkan unsur-unsur pembentuknya, tak hanya mekanisme teknologisnya melainkan juga tempat di mana mekanisme itu berpijak. Film-film ini mencoba memoderasi dialog antara otonomi tempat, atau apa yang ada di depan kamera, dan kontrol, yang ada di belakang kamera. Dialog antara kontrol urutan filmis dan lokasi menjadi “rekanan” yang intim untuk produksi ide. 

Jika dalam pembacaan Candrawala tahun lalu, lanskap mewadahi semuanya, sampai membunuh kepengarangan, kini konsep lanskap makin berkembang justru dengan cara mengerucut. Lanskap di sini mengalami pembesaran (zoomed in) menjadi “lokasi”. Secara spesifik terjadi perincian hingga ke unit-unit pembentuk lokasi. Sebagai contoh, salah satu unit tersebut adalah bunga sedap malam. Dalam film Sedap Malam (Agave Amica), bunga ziarah tersebut bersirkulasi membentuk siklus peradaban yang dijeda, bahkan dihentikan, oleh wabah Covid-19. Sedap malam menjalin interaksi antara manusia, sebagai unit pembentuk lokasi, dan alam, sebagai lokasinya, dengan montase kewajaran sebuah interaksi: para penggali kubur yang menikmati rehat makan di atas gundukan tanah kuburan. Imajinasi tentang lokasi tercipta melalui siklus dan sirkulasi objek. 

Contoh lain dari unit pembentuk lokasi adalah batu dan pasir. Film Pasir yang Terbawa Arus dan Menyelinap di Sela Jemari menekankan intervensi sutradara terhadap lokasi alamiah dengan membuka film menggunakan dinamika objek statis yang dinamis: batu dan pasir yang dimanipulasi oleh kerja sinematografis. Dalam narasi, batu dan pasir dihidupkan dengan kata ganti aku, yang memiliki sejarah sirkulasi geologis, dari erupsi gunung berapi, sampai ke takdir yang ditentukan oleh campur tangan manusia dan mesin. Lokasi dipahami sebagai proses yang terus membentuk diri. 

Sebuah gedung bioskop tua sebagai unit lokasi kembali dipersonifikasi dalam film What Eri Testifies at the End of the Roll. Gedung ini memang memiliki personae bernama Feri, di masa Orde Lama, dan menjadi Eri, di masa Orde Baru hingga sekarang. Lokasi dalam film ini dikurung dalam bangunan sejarah sinema, hingga dalam beberapa adegan, lokasi dibiarkan menceritakan tentang dirinya sendiri. Cerita itu melintasi beberapa rezim–politik dan sinema–bahkan sampai terjungkal di masa sekarang lewat proyeksi adegan film yang terbalik. 

Dalam film Nisan Tak Terukir, batu nisan menjadi penghubung manusia di lokasi kini dengan sejarah masa lalu bromocorah. Residu bromocorah “sekarang” tergambar lebih berinteraksi dengan lokasi alam–sawah atau kebun, bahkan kuburan–– dari pada dengan manusia lainnya. Interaksi unit lokasi dengan lokasinya bersifat langsung. Sinema hanya menunjukkan manifestasinya. Kembali, peran batu nisan sebatas ikon dari kematian, dan yang mati tidak bisa menunjukkan dirinya, butuh klaim dari yang hidup. 

Dalam film YK48, lokasi keluar dari agregat penentuan konsepnya, bergantung pada pancaran antusiasme terhadap semua peristiwa yang ada di atas lokasi tersebut. Imajinasi lokasi (Kota Yogyakarta) kemudian melebur bersama pertemuan budaya sinema antar komunitas pasca-Reformasi. Pertemuan tersebut memunculkan imajinasi lokasi yang dibentuk oleh keagensian tanding terhadap pusat (ibukota). Lokasi dapat berbicara di luar kemampuan pengarangnya sendiri. Lokasi menampakkan keagensiannya sendiri.  

Hampir seperempat abad Reformasi, geliat komunitas berkelit dari sensor, yang sedari rezim sebelumnya menghantui sinema Indonesia, pun menghancurkan legitimasi tunggal-institusional. Estetika film indonesia dalam seperempat abad Reformasi dibangun bukan sepenuhnya oleh semangat modern yang selalu menggunakan sarana ekspresi individual. Estetika film Indonesia hadir oleh keagensian komunal yang berdialog dengan tempat berpijaknya, karena semangat komunal sesungguhnya adalah DNA masyarakat tropis. Individu-individu tropis selalu kembali ke lokasi, sedangkan lokasi yang bersifat otonom-relatif mampu bersanding dengan kejeniusan pengarangnya, menciptakan lanskap sosial-budaya.

Film, in its historicity, has always been tied to government infrastructure, schools, the media industry, or various types of “institutions”, so there is no chance of getting out of this legitimacy mechanism. Industrial tyranny as well as established institutions play a dominating role throughout every aspect of film production. But something else is present beyond that; let’s call it a marginal realm in the non-industrial sense—the collective.

The films in this year’s Candrawala curatorial, implicitly and explicitly, don’t just stand alone as an expression of art. They are also here to show their constituent elements, not only the technological mechanism but also where the mechanism stands. These films attempt to moderate the dialogue between location autonomy, or what is in front of the camera; and control, which exists behind the camera. The dialogue between sequence control in the film and location becomes an intimate “partner” for the production of ideas.

If in Candrawala’s reading last year, landscape embodies everything, to the point of killing authorship, now the concept of landscape is growing in a conical way. The landscape here is zoomed in to “location”. Specifically, there is a detailing down to the location forming units. For example, one such unit is a flower. In Sedap Malam (Agave Amica), these pilgrimage flowers circulate to form a cycle of civilization that is paused, even stopped, by the Covid-19 outbreak. Sedap Malam establishes an interaction between humans, as a site-forming unit, and nature, as its location, with a montage of a usual interaction: gravediggers enjoying a meal break on a burial mound. The imagination of the location is created through the cycle and circulation of objects.

Another example of a site forming unit is rock and sand. Pasir yang Terbawa Arus dan Menyelinap di Sela Jemari emphasizes the director’s intervention in natural locations by opening the film using dynamic static objects: rocks and sand manipulated by cinematographic work. In the narrative, rock and sand are brought to life by the pronoun ‘I’, which has a history of geological circulation, from volcanic eruptions, to fates determined by the intervention of humans and machines. Location is understood as a process that continues to shape itself.

An old cinema building as a location unit is re-personified in the film What Eri Testifies at the End of the Roll. This building does have a personae called Feri, during the Old Order era, and became Eri, during the New Order era until now. The locations in this film are captivated in the building of cinema history, so that in several scenes, the locations are allowed to tell about themselves. The story crosses several regimes–politics and cinema–even to the point of being inverted in the present through the upside down projection of film scenes.

In Nisan Tak Terukir, tombstones become a link between humans in the present location and a bromocorah‘s (outlaw) past history. The “current” residue of the bromocorah is depicted in more interactions with natural locations—rice fields or gardens, even cemeteries–– rather than with other humans. The unit location interacts with its location directly. Cinema only reveals its manifestation. Again, the role of a tombstone is limited to an icon of the dead, and the dead cannot present themselves, they need a claim from the living.

In YK48, the location escapes the aggregate which determined its concept, depending on the radiance of enthusiasm for all the events on that location. The imagination of a location (Yogyakarta City) merges together with the encounter of post-Reformation inter-collective cinema culture. The meeting gave rise to the imagination of the location formed by the counter agency against the center (the capital city). Locations can speak beyond the power of the author himself. The location reveals its own agency.

Almost a quarter of the Reformation century, the movement of the collective was ridden by censorship, which had haunted Indonesian cinema since the previous regime, and destroyed single-institutional legitimacy. The aesthetics of Indonesian film in the quarter century of Reformasi was not built entirely by the modern spirit which always used individual means of expression. The aesthetics of Indonesian film comes from a communal agency that converses with where they stand, because the communal spirit is actually the DNA of tropical society. Tropical individuals always come back to their locations, while locations that are autonomous-relative are able to stand side by side with the genius of their authors, creating socio-cultural landscapes.