{"id":11098,"date":"2021-11-29T13:57:36","date_gmt":"2021-11-29T06:57:36","guid":{"rendered":"https:\/\/arkipel.org\/?p=11098"},"modified":"2021-11-29T15:44:35","modified_gmt":"2021-11-29T08:44:35","slug":"forum-festival-2021-panel-3","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/forum-festival-2021-panel-3\/","title":{"rendered":"Forum Festival Panel 3: Constructing a Network of Knowledge"},"content":{"rendered":"[vc_row][vc_column][vc_tabs][vc_tab title=”Bahasa Indonesia” tab_id=”1503218961-1-46″][vc_column_text title=”Membangun Jejaring Pengetahuan” css=”.vc_custom_1638175424306{margin-bottom: 0px !important;}”]\n
\n
\n
Bagaimana informasi dan pendidikan didistribusikan? Siapa pula yang berhak menerima dan membaginya? Tema Forum Festival kali ini melihat bagaimana pengetahuan bersirkulasi dalam ranah komunitas untuk menjamin kebertahanan di masa berlangsung.\u00a0\u00a0<\/span><\/p>\n
Pada Sabtu (27\/11) malam, sebagai bagian dari ARKIPEL <\/span>Twilight Zone – 8th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival<\/span><\/i>, telah berlangsung <\/span>Forum Festival<\/span><\/i> Panel 3: Membangun Jejaring Pengetahuan<\/span><\/i>. Dengan moderator <\/span>Dini Adanurani<\/b>, penulis dan kritikus, panel kali ini mengundang tiga narasumber. <\/span>Nuraini Juliastuti<\/b>, peneliti dan penulis budaya alternatif, <\/span>Abhishek Nilamber<\/b>, konsultan kreatif yang tinggal di Berlin, dan <\/span>Bunga Siagian<\/b>, produser budaya dari Jatiwangi Art Factory. Dihadiri oleh total 30 partisipan antara ruang Zoom dan kanal Youtube, panel berlangsung dari 19.00 hingga 21.00 WIB.\u00a0<\/span><\/p>\n
Nuraini Juliastuti memulai pembicaraan dengan menjelaskan mimpinya untuk membangun ruang edukasi alternatif. Bagi Nuraini, keinginan tersebut berasal dari bagaimana ia besar di masa Orde Baru. Ia bercerita tentang Soeharto, bersama istri dan timnya, yang datang ke padi nasi. Soeharto berfoto dengan padi yang makmur. Namun, itu hanya properti. Padi imitasi yang dibuat hanya untuk mempercantik foto, sekaligus memperbagus citra Soeharto.\u00a0<\/span><\/p>\n
\u201c<\/span>On institutional lies, and we should not worship the rice<\/span><\/i>\u201d. Jika figur politik bisa berbohong, maka dari mana masyarakat bisa mendapatkan ilmu kredibel?<\/span><\/p>\n
Menurut Nuraini, pengetahuan itu tersembunyi di dalam tanah, secara literal dan metaforik. Hersri Setiawan, seorang penulis dan jurnalis LEKRA terpaksa menyembunyikan buku-bukunya di bawah pohon pisang. Dalam situasi tersebut, pengetahuan benar-benar tersembunyi di dalam tanah. Nuraini kaitkan bagaimana sumber ilmu tidak hanya diberikan dari institusi, tetapi dari sejarah dan akar masyarakat. Melalui pendirian KUNCI Study Forum and Collective (sebelumnya KUNCI Cultural Studies) pada tahun 1999, bersama dengan anggota-anggota lainnya, ia hendak bereksperimen dengan pengetahuan, pendidikan, dan ekosistem yang memungkinkan sirkulasi pengetahuan tersebut di luar ruang kelas.\u00a0<\/span><\/p>\n
Nuraini tidak sendiri dalam mementingkan ruang alternatif untuk membagi ilmu. Abhishek Nilamber menjelaskan tentang praktik ruang seni SAVVY Contemporary yang bertolak dari gagasan sinema sebagai ruang pengetahuan. Melalui program United Screens, SAVVY berkolaborasi dengan praktisi sinema alternatif di wilayah dunia bagian selatan (global south<\/em>) secara jangka panjang, dengan tujuan demokratisasi sinema dari keterikatan dengan negara dan kapitalisme. Program ini mencakup riset, eksibisi, dan berjejaring.\u00a0<\/span><\/p>\n