{"id":11101,"date":"2021-11-29T13:48:02","date_gmt":"2021-11-29T06:48:02","guid":{"rendered":"https:\/\/arkipel.org\/?p=11101"},"modified":"2021-12-03T17:13:43","modified_gmt":"2021-12-03T10:13:43","slug":"forum-festival-2021-panel-2","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/forum-festival-2021-panel-2\/","title":{"rendered":"Forum Festival Panel 2: The Possibilities of Algorithms"},"content":{"rendered":"[vc_row][vc_column][vc_tabs][vc_tab title=”Bahasa Indonesia” tab_id=”1503218961-1-46″][vc_column_text title=”Kemungkinan-kemungkinan Algoritma” css=”.vc_custom_1638526352014{margin-bottom: 0px !important;}”]\n
Panel kedua bertajuk \u201c<\/span>Democracy, Resistance and Algorithms\u201d <\/span><\/i>dari total tiga panel dalam rangkaian Forum Festival ARKIPEL <\/span>Twilight Zone – 8th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival<\/span><\/i> fokus membahas algoritma selaku bagian vital dalam mengatur sirkulasi pengetahuan dan informasi di dalam <\/span>new media<\/span><\/i>, dan potensinya dalam berbagai dimensi.<\/span><\/p>\n Panel ini berlangsung pada hari Sabtu (27\/11\/2021) pukul 08.30 WIB, dengan menghadirkan tiga pembicara lintas-negara dari latar belakang yang berbeda: <\/span>Merlyna Lim<\/b>, akademisi berkebangsaan Indonesia yang kini berdomisili di Amerika; <\/span>Creston Davis<\/b>, seorang profesor dan pendiri <\/span>The Global Center for Advanced Studies <\/span><\/i>(GCAS); serta <\/span>Manshur Zikri<\/b>, kurator, penulis, dan seniman yang fokus kajiannya kerap melibatkan komunitas akar rumput; dengan <\/span>Luthfan Nur Rochman<\/b>\u2014penulis dan pembuat film asal Jakarta\u2014sebagai moderator.<\/span><\/p>\n Presentasi dalam panel ini dibuka oleh Merlyna Lim yang memaparkan bagaimana manusia dan teknologi senantiasa berdampingan dalam perkembangan wacana sosial politik. Pada tahun 1990-an di Indonesia, teknologi internet menjadi sebuah arena kontestasi antara <\/span>state <\/span><\/i>(negara) dan aktivis. Ketika negara mengontrol penuh media arus utama dengan nilai-nilai propaganda, media alternatif menjadi praktik resistensi bagi masyarakat aktivis.<\/span><\/p>\n Sementara ketika negara sudah tidak lagi menjadi <\/span>common enemy<\/span><\/i>, teknologi kemudian membentuk arena kontestasi lain dari sikap politik biner yang menciptakan konflik horizontal antara kubu pro-X dan kubu anti-X. Algoritma yang mengatur sirkulasi teknologi, mengontrol penuh informasi atau pengetahuan yang didapat dari kedua kubu tersebut dalam apa yang biasa disebut sebagai <\/span>\u2018bubble effect\u2019<\/span><\/i>. Masyarakat semakin terkotak-kotakkan antara satu dengan yang lain.<\/span><\/p>\n Merlyna Lim melihat bahwa perkembangan atau kemasifan algoritma sangat bergantung dari sikap kolektivisme: mereka yang nyaring dan mereka yang paling aktif sangat berpotensi untuk mengamplifikasikan suatu isu yang sedang mereka bawa ke jejaring-jejaring atau kotak-kotak masyarakat yang lebih luas. Algoritma pun mempunyai implikasi untuk mengorganisir sebuah gerakan bila diutilisasikan secara tepat.<\/span><\/p>\n Creston Davis sebagai pembicara kedua, berangkat mengidentifikasi adanya hegemoni sistem dari kelas penguasa yang menyebabkan ketimpangan terjadi dari dua kelas masyarakat yang berbeda. Ia merunut kembali kecenderungan ini dalam sejarah, bagaimana hegemoni elit menyebabkan terjadinya Perang Dunia I, II, hingga Perang Dingin. Rezim neoliberalisme terjadi kelas kapitalis bersekongkol dengan pemerintah dalam memenuhi kepentingan mereka masing-masing, lantas menempatkan masyarakat dunia dalam kerentanan ekonomi dan ekologis. Hegemoni ini juga mempengaruhi sistem pendidikan yang kerap menghadapi urusan finansial yang kontraproduktif dan menjebak mahasiswanya dalam kebutuhan finansial yang terus-menerus, seperti yang kita temukan dalam contoh kasus <\/span>student loan<\/span><\/i> di Amerika Serikat. Mahasiswa terhalangi untuk berpikir kritis dan melakukan perubahan, karena harus memikirkan kebutuhan dasar.\u00a0<\/span><\/p>\n Lantas, bagaimana cara mendesain kondisi yang memungkinkan munculnya pelopor-pelopor intelektual yang tidak terikat pada kepentingan-kepentingan kelas penguasa? Inilah pertanyaan yang melandasi pendirian GCAS (Global Center for Adavanced Studies), universitas yang membangun jejaring-jejaring dengan intelektual di berbagai negara di dunia, dengan harapan menciptakan aliansi global yang mampu berpikir kritis untuk membangun perubahan. Setelah para mahasiswa lulus, kontribusi intelektual yang mereka berikan kepada GCAS dikonversi menjadi kepemilikan ekonomi terhadap universitas tersebut, sehingga GCAS tumbuh menjadi institusi yang dimiliki secara bersama oleh orang-orang yang bernaung di dalamnya.<\/span><\/p>\n Presentasi pamungkas diisi oleh Manshur Zikri selaku pembicara. Ia memulainya dengan menyinggung berita yang belakangan ini masif diperbincangkan terkait ketakutan segelintir orang menyoal kehadiran algoritma yang cenderung ditengarai akan memusnahkan sinema sebagai produk budaya. Sebagai catatan: Martin Scorsese pernah secara sinis memandang algoritma hanya menjadikan sinema semata-mata konten. Pada perspektif lain, nyatanya teknologi algoritma dan sinema punya kedudukan yang saling mengisi.<\/span><\/p>\n The Uprising (2013) <\/span><\/i>karya Peter Snowdon, misalnya. Filem ini berangkat diproduksi dengan memanfaatkan <\/span>footage-footage <\/span><\/i>revolusi Arab yang tersebar di Youtube. Sang sutradara, Peter Snowdon, menyeleksinya footage tersebut untuk dihadirkan kembali ke dalam realitas gambar bergerak yang baru. Filem ini pun menjadi bukti konkret bagaimana algoritma dan sinema bekerjasama sebagai sebuah preservasi bagi <\/span>footage<\/span><\/i> yang dianggap sebagai bahasa vernakular bagi kaum revolusioner.<\/span><\/p>\n Adapun <\/span>Sunspiring <\/span><\/i>(2016) besutan dari Oscar Sharp. Naskah dalam filem pendek berdurasi tujuh menit ini menggunakan teknologi A.I <\/span>(Artificial Intelligence) <\/span><\/i>dengan mesin perangkat lunak sebagai alat untuk menciptakan naskahnya. Algoritma pun mempunyai peran sebagai alat produksi yang memengaruhi proses perkembangan estetika terhadap filem tersebut.<\/span><\/p>\n Tawaran yang menarik dari Manshur Zikri adalah bagaimana ia melihat bahwa database atau algoritma dapat diperluas dari batas matematis menjadi kemungkinan naratif, sebab, logika <\/span>database <\/span><\/i>memungkinkan beragam kemungkinan peluang penciptaan narasi yang tidak tunggal. Mengacu pada Lev Manovich, media baru dan sinema mempunyai dimensi dan logika yang bertolak belakang. Medium berekspresi yang lazimnya digunakan pegiat kultural seperti film, atau prosa atau novel, umumnya berangkat dari logika naratif yang mempunyai dimensi sintagmatik. Sedangkan dimensi dalam logika <\/span>database<\/span><\/i> atau algoritma bersifat paradigmatik. Dalam logika <\/span>database<\/span><\/i>, kita bukan lagi sedang menyimak dalam bingkai tutur narasi, melainkan turut terlibat dalam memilih pengalaman tertentu dan mengoperasikannya.<\/span><\/p>\n