{"id":1503,"date":"2013-09-01T01:53:29","date_gmt":"2013-08-31T18:53:29","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=1503"},"modified":"2017-08-08T03:48:03","modified_gmt":"2017-08-07T20:48:03","slug":"hari-ke-5-hari-diskusi-bagaimana-kritik-bagi-masyarakat","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/hari-ke-5-hari-diskusi-bagaimana-kritik-bagi-masyarakat\/","title":{"rendered":"Hari Ke-5, Hari Diskusi: Bagaimana Kritik Bagi Masyarakat?"},"content":{"rendered":"
28 Agustus 2013, pada Arkipel International Documentary & Experimental Film Festival 2013, dihelatkan tiga diskusi yang mempersoalkan polemik-polemik yang penting di sekitaran wacana sinema, khususnya di Indonesia. Ketiga diskusi itu berlangsung dari pukul 10.00 hingga 17:30 WIB, di Teater Kecil (Taman Ismail Marzuki), Jakarta, dan menghadirkan para pembicara yang memiliki kredibilitas karena telah berkecimpung secara mendalam pada persoalan-persoalan tersebut.<\/p>\n
Polemik-polemik yang diperbincangkan, antara lain seputar aktivisme, sejarah dan arsip, serta kritisisme, di mana unsur-unsur tersebut turut membantu perkembangan wacana perfileman dunia. Pada masing-masing diskusi, fokus yang kemudian didiskusikan ialah bagaimana para hadirin dan hadirat diskusi bisa membaca dan menemukan gagasan-gagasan baru mengenai aktivisme, sejarah, arsip, dan kritisisme itu dalam konteks ruang lingkup wacana perfileman di Indonesia.<\/p>\n
Diskusi yang pertama, dengan tajuk Sinema & Aktivisme<\/em><\/strong><\/a>, dilaksanakan pada pukul 10:00 hingga 11:30 WIB, dengan pembicara Bowo Leksono<\/strong> (Festival Film Purbalingga<\/a>) dan Abduh Azis<\/strong> (Koalisi Seni Indonesia), dan dimoderatori oleh Forum Lenteng. Sebagaimana yang tercantum dalam katalog Arkipel 2013, pada diskusi ini, pembicaraan diarahkan kepada bagaimana hubungan saling-pengaruh antara tumbuh suburnya gerakan independen dan perkembangan industri perfileman di Indonesia, yang harus dilihat sebagai dua hal yang tidak harus saling bertentangan. Memang, dua ranah tersebut berjalan pada arah yang berlawanan, namun saling bertemu dan, idealnya, dapat saling menopang bagi perkembangan wacana filem itu sendiri. Khusus pada keterkaitannya dengan aktivisme, diskusi ini mencoba menarik konteks sejarah tentang loncatan perkembangan teknologi kamera sebagai alat utama produksi karya filem, mulai dari sekitaran tahun 1970, ketika para sineas menggunakan seluloid 16 mm dan 8 mm, hingga ke era pasca-Reformasi 1998, ketika semuanya dipermudah dengan adanya teknologi digital yang tersebar di masyarakat dengan harga yang terjangkau. Lebih jauh, diskusi ini melihat bagaimana kelompok-kelompok inisiatif yang dengan giat mengusahakan pesebaran pengetahuan sinema guna menjembatani keterputusan distribusi pengetahuan kepada masyarakat dalam rangka membangun struktur perfilemanan nasional.<\/p>\n