<\/a>Para kurator di malam pembukaan ARKIPEL<\/p><\/div>\n
Adrian:<\/strong> ARKIPEL sendiri gue lihat punya concern<\/em> yang begitu mendalam pada kesejarahan sinema. Di program-program kuratorial, misalnya, tidak ada batasan waktu film apa saja yang bisa diputar. \u00a0Gue juga lihat program Gelora Indonesia<\/em> di Sinematek, yang memutar newsreel<\/em> dan dokumenter lawas Indonesia yang selama ini tersimpan dalam koleksi Sinematek.<\/span><\/p>\nYuki:<\/strong> Memang penting bagi ARKIPEL untuk mengangkat kesejarahan sinema ini. Satu hal yang ingin kami coba jelajahi dan bagi ke publik adalah bagaimana sih proses pemikiran di balik film-film zaman dulu, image-image<\/em> masa lampau. Konteks apa sih yang menaungi mereka, terus bagaimana sih pengaruh latar sejarah, sosial, politik, dan sebagainya itu berpengaruh ke bahasa sinema waktu itu. Karena kami merasa image<\/em> masa lalu dan masa sekarang punya kaitannya sendiri, dan itu penting untuk dipahami publik.<\/p>\nPas bantu Dicky menyusun program Gelora Indonesia<\/em>, misalnya, gue banyak kagetnya. Kualitas seluloidnya masih baik, bersih banget, karena kalau kata orang Sinematek film-film itu waktu itu cuma diputar sekali terus langsung masuk arsip. Nggak pernah diputar lagi. Terus, pas kami coba tonton newsreel<\/em> dan dokumenter lawas itu, banyak temuan menarik. Ada satu video penyuluhan masyarakat tentang pemilu. Isu yang mau diangkat itu tata cara pemilu sama himbauan untuk menghindari sogok-menyogok. Setting <\/i>filmnya itu keluarga. Ada satu ibu yang terima duit dari simpatisan partai manalah. Terus dia diwanti-wanti sama anak sama suaminya supaya balikin duit itu. Tiba-tiba videonya ganti gambar. Kita langsung lihat superimpose<\/em> muka ibu itu sama jeruji penjara. Sekarang lihat begituan jadi terasa surreal<\/em> gimana gitu, tapi kalau bayangin orang dulu nonton itu menjelang pemilu, kok jadi asyik ya buat kita diskusiin.<\/p>\nAda juga rekaman-rekaman pidato Soekarno. Setelah nonton beberapa kali, gue sama Dicky baru sadar kalau komposisinya selalu berulang. Soekarno selalu ada di kanan frame<\/em>; setiap dia nunjuk, tangannya selalu mengarah ke kiri. Itu jadi dokumentasi visual tersendiri bagaimana gejolak politik waktu itu. Terlihat juga bagaimana budaya visual kita waktu itu berakar dengan lingkungan sekitarnya.<\/p>\nHafiz:<\/strong> Satu catatan yang perlu disampaikan juga adalah katalog ARKIPEL. Faktanya, festival ini sangat murah. Uang paling banyak dihabiskan untuk sewa proyektor dan bikin katalog tebal itu. Untuk sewa proyektornya, jelas alasannya, soal kelayakan suasana menonton yang tadi kita obrolin itu. Untuk katalog yang tebal itu, kami merasa perlu untuk mencatat tidak saja film-film yang diputar dalam ARKIPEL, tapi juga kenapa film-film itu yang dipilih untuk ditayangkan. Ini penting untuk rujukan di masa mendatang, baik bagi keberlanjutan kami sebagai penyelenggara festival maupun publik sebagai pengunjung festival dan penikmat sinema.<\/p>\nAdrian:<\/strong> Forum Lenteng sudah sepuluh tahun aktif berkegiatan sebagai komunitas. Sementara itu, dari pengamatan gue, komunitas adalah salah satu bentuk yang lazim kita temui dalam skena perfilman kita, tapi sedikit sekali komunitas film di Indonesia yang bertahan lebih dari dua tahun. Masalahnya biasanya dua: habis duit atau habis ide, kadang kombinasi keduanya. Gue lebih penasaran sama perkara gagasan. Bagaimana Forum Lenteng menjaga konsistensi pergulatan ide dalam komunitas kalian sehingga bisa bertahan selama sepuluh tahun ini?<\/span><\/p>\nHafiz:<\/strong> Kalau istilah gue, yang biasanya ditertawakan kawan-kawan yang lain, kita harus selalu gelisah. [Semua tertawa] Maksudnya, lo harus terus membangun kegelisahan dalam diri lo sendiri, dalam tubuh komunitas lo. Kegelisahannya soal apa yang kalian percayai. Misalkan komunitas produksi film. Lo udah bikin satu film, diputar di mana-mana, diomongin banyak orang, sukses, terus berhenti. Habis kegelisahannya.<\/p>\nKawan-kawan Forum Lenteng, baik secara komunitas baik secara individu, selalu mengusahakan supaya kita tidak nyaman terus-terusan. Harus ada kondisi tidak stabil yang menantang kita untuk terus bergerak. Karena, bisa jadi, setelah kita bergerak itu ada kesempatan lain yang terbuka.<\/p>\n
Yuki nih, contohnya, gue cemplungin. [Yuki tertawa] Tadinya dia hidup stabil, kerja dari siang sampai malam, berpenghasilan, nonton banyak film. Buat gue, sia-sia saja kalau pengetahuan film dia yang ribuan itu cuma buat dirinya sendiri. Gue jadikan dia direktur festival; Yuki jadinya ada di kondisi tenggelam, muncul, tenggelam, muncul. Gue merasa, dengan bergulat semacam itu, hidup jadi punya arti. Yuki harus berenang supaya sampai ke tujuannya. Nggak gampang, tapi buktinya jadi tuh ARKIPEL edisi pertama. Sepuluh tahun lagi, dengan bekal pengalaman ini, bisa saja kan Yuki jadi direktur festival di Belanda, misalnya.<\/p>\n
Forum Lenteng sendiri tidak pernah mengarahkan anggota-anggotanya untuk menekuni profesi tertentu. Dalam arti, kami tidak pernah memaksa semua anggota Forum Lenteng harus jadi filmmaker<\/em>, misalnya. Itu terserah pilihan masing-masing orang, mau jadi filmmaker<\/em>, <\/i>mau jadi kurator, mau jadi jurnalis, terserah. Apapun pilihannya, kami bersama-sama siap menyumbangkan modal-modal pengetahuan, tapi lo harus siap juga kalau ada tantangan yang muncul karena lo menekuni pilihan lo.<\/p>\n Makanya, kalau lo lihat lagi film-film panjang yang Forum Lenteng udah produksi, dari Anak Sabiran<\/em> sampai Naga yang Berjalan di Atas Air<\/em> sampai yang paling baru ini Elesan Deq a Tutuq<\/em>, semuanya nggak ada yang dapat funding<\/em>. Kadang suka heran kalau di forum-forum, suka ada pendapat \u201cForum Lenteng mah enak dapat funding<\/em> terus.\u201d Kita bikin film itu dengan duit sendiri, hasil tabungan sendiri. Kalaupun ada nama Ford Foundation di kredit titel, itu adalah ucapan terimakasih karena mereka sering mendampingi kami.<\/p>\nProyek Dongeng Rangkas<\/em>, misalnya, nilainya cuma empat puluh juta. Duit itu juga kebanyakan dipakai untuk workshop <\/i>kawan-kawan di Rangkasbitung, untuk anak-anak Forum Lenteng tinggal di sana selama sebulan. Baru deh kami dan kawan-kawan di sana coba bagaimanapun caranya Dongeng Rangkas<\/em> jadi. Atau misalnya Elesan Deq a Tutuq<\/em>. Gue bilang ke kawan-kawan yang bakal berangkat ke Lombok, \u201cIni ada duit segini. Pokoknya pulang harus jadi satu feature film<\/em>.\u201d Ini kan bikin orang gelisah, tapi juga jadi tantangan bagi mereka. Mereka bakal punya feature film<\/em> pertama nih, tinggal bagaimana mereka memenuhi tantangan itu. Setelah itu, gue yakin, bakal terbuka kesempatan-kesempatan lain bagi mereka. Begitu cara kami bertahan selama sepuluh tahun ini.<\/p>\n[mk_padding_divider size=”40″]\nTelah ditulis oleh Adrian Jonathan <\/strong>di Cinema Poetica<\/a><\/strong> pada 3 September 2013.<\/span><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"Usai sudah perhelatan ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival 2013 di Jakarta. Berlangsung dari 24 sampai 30 Agustus, festival bentukan Forum Lenteng ini mengadakan pemutaran film dan diskusi publik di Taman Ismail Marzuki (Kineforum DKJ dan Teater Kecil), Goethe Haus, serta Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (Sinematek Indonesia dan Usmar Ismail Hall). Total film […]<\/p>\n","protected":false},"author":43,"featured_media":1483,"comment_status":"open","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"_jetpack_memberships_contains_paid_content":false,"footnotes":"","jetpack_publicize_message":"","jetpack_publicize_feature_enabled":true,"jetpack_social_post_already_shared":true,"jetpack_social_options":{"image_generator_settings":{"template":"highway","enabled":false},"version":2}},"categories":[361,386,384],"tags":[12,47],"jetpack_publicize_connections":[],"yoast_head":"\n
ARKIPEL, Forum Lenteng, dan Eksperimentasi Sinema — ARKIPEL<\/title>\n \n \n \n \n \n \n \n \n \n \n \n \n\t \n\t \n\t \n \n \n \n \n \n\t \n\t \n\t \n