{"id":2763,"date":"2014-09-12T23:25:35","date_gmt":"2014-09-12T16:25:35","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=2763"},"modified":"2017-08-02T20:32:35","modified_gmt":"2017-08-02T13:32:35","slug":"kabar-dari-dua-sesi-pertama-penayangan-das-kapital-kluge","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/kabar-dari-dua-sesi-pertama-penayangan-das-kapital-kluge\/","title":{"rendered":"Kabar dari Dua Sesi Pertama Penayangan Das Kapital Kluge"},"content":{"rendered":"
JAKARTA, ARKIPEL, Forum Lenteng<\/strong> \u2014 Hari ini, 12 September, 2014, salah satu program kuratorial ARKIPEL Elelctoral Risk <\/em> – Jakarta International Documentary Film Festival 2014, dihelatkan di Goethe Institut Jakarta, Jalan Sam Ratulangi. Filem News from Ideological Antiquity: Marx\u2014Eisenstein\u2014Capital<\/em> (2008) karya Alexander Kluge, tayang di aula GoetheHaus pada pukul 13.38 WIB, telat sekitar setengah jam dari waktu yang telah ditentukan.<\/p>\n Buku tamu menunjukkan jumlah penonton sebanyak 20 orang. Terlihat, sebagian besar dari penonton ini berusia muda, antara 20-30 tahun. Awalnya, bangku penonton hanya terisi beberapa saja, tak sampai sepuluh bangku. Jumlah penonton terus bertambah seiring berjalannya durasi filem meskipun tak semua penonton yang datang menghabiskan waktunya untuk menyaksikan keseluruhan filem.<\/p>\n Filem Kluge yang berdurasi 570 menit ini akan dipresentasikan dalam empat sesi. Lima jam pertama akan diputar dalam dua sesi di hari ini, dan sisanya akan diputar besok, 13 September, 2014, pada waktu dan tempat yang sama, yang mana setelahnya akan diselenggarakan sebuah diskusi mengenai filem ini dan sutradaranya, bertajuk \u201cMarxisme itu Sesuatu yang Filemis\u201d, pada pukul 19.30.<\/p>\n Akbar Yumni, Kurator Program, memberikan pengantar sebelum filem ditayangkan.<\/p><\/div>\n Artikel ini mulai ditulis pada penghujung waktu jeda istirahat antara sesi pemutaran pertama dan kedua. Sebagaimana yang sebelumnya disampaikan oleh Akbar Yumni, sang penyaji sekaligus kurator program, bahwa tata cara penayangan filem Kluge yang dibagi menjadi empat bagian tersebut dianggap \u2018tidak bermasalah\u2019 berhubung karena montase filem ini sendiri menggunakan pendekatan montase Brecht, yang tidak menyoalkan awal dan akhir, sehingga filem dapat dilihat secara terpisah-pisah.<\/p>\n Pada waktu jeda istirahat inilah, Benny dan Galang, dua mahasiswa dari Universitas Bakrie yang sengaja datang untuk menonton karya Kluge, menyampaikan pendapatnya mengenai penayangan filem tersebut.<\/p>\n \u201cGue pengen<\/em> tahu Das Kapital dalam versi filem,\u201d jawab Benny, ketika ditanya alasannya menonton News from Ideological Antiquity: Marx\u2014Eisenstein\u2014Capital<\/em>. \u201cDan gak nyangka<\/em> ternyata seperti itu. Ekspektasi gue<\/em> awalnya, filem ini cuma kayak ngegambarin <\/em>kaum pekerja. Ternyata, ini alurnya bermetamorfosa, memang benar-benar dikorek habis human nature<\/em> dan esensi dari Das Kapital itu.\u201d<\/p>\n Ketika ditanya pandangannya mengenai distribusi pengetahuan soal Marxisme di Indonesia, Galang berpendapat bahwa pembahasan soal Marxisme masih tabu di lingkungan masyarakat.<\/p>\n \u201cBahkan di wilayah akademik sekalipun,\u201d serunya berpendapat. \u201cDi jurusan ekonomi sendiri, sangat jarang. Dan upaya-upaya untuk memindahkannya ke dalam bentuk filem, menunjukkan kalau ternyata berbicara soal kapital itu tidak hanya soal komunis, tapi lebih dari itu, bisa ngomong soal cinta, air, jiwa, dan lainnya.\u201d<\/p>\n Benny (kiri) dan Galang (kanan), dua mahasiswa Universitas Bakrie yang datang menyaksikan filem karya Kluge.<\/p><\/div>\n Pendapat yang tak kalah menarik, datang dari Ucu, seorang warga Jakarta dan pembuat filem dokumenter independen. Dia mengaku tahu ARKIPEL dari seorang temannya, bernama Florian Kunert, seorang filmmaker<\/em> independen yang tinggal di Jerman, yang datang ke ARKIPEL tahun 2013.<\/p>\n \u201cDia bilang ke saya kalau festival ini bagus dan menarik. Berhubung namanya \u2018arkipel\u2019, terasa bernuansa etnografis itu, saya berpikir untuk datang, kali saja bermanfaat untuk proyek saya,\u201d terang Ucu. \u201cTeman saya sendiri juga berniat akan mengirim (karya) ke ARKIPEL nantinya.\u201d<\/p>\n Ucu, salah seorang filmmaker<\/em> yang datang ke ARKIPEL Electoral Risk untuk menyaksikan filem karya Kluge.<\/p><\/div>\n \u201cSaya puas untuk pemutaran kali ini, karena dapat melihat karya Kluge di Indonesia,\u201d lanjut Ucu. \u201cDulu saya pernah lihat karya Kluge, tahun 2012, sewaktu ikut seminar di Frankfurt. Jujur, di sesi ini, saya puas. Sewaktu menonton itu, berasa ingin nonton lagi, nonton lagi.\u201d<\/p>\n \u201cKenapa, tuh<\/em>, kok<\/em> punya kesan begitu?\u201d tanya saya.<\/p>\n \u201cKarena menurut saya, Kluge itu cerdas,\u201d jawab Ucu. \u201cDia bisa memberikan tafsir tentang Marxisme dengan sederhana, tidak dingin. Tapi juga memasukkan momen-momen puitis, terutama pada sepertiga terakhir dari 3 jam di sesi pertama tadi.\u201d<\/p>\n Ucu juga sempat menyampaikan kritiknya tentang perhelatan acara Malam Pembukaan ARKIPEL Electoral Risk<\/em>. Menurutnya, presentasi enam karya pilihan yang diputar pada Malam Pembukaan, terasa sedikit berat bagi penonton awam.<\/p>\n \u201cKarena memang formatnya sangat berbeda dengan bioskop. Saya justru berekspektasi, seharusnya, formatnya seperti bioskop sehingga akan menghindari kemungkinan penonton meninggalkan ruangan ketika filem diputar.\u201d<\/p>\n Sementara itu, Akbar Yumni sendiri mengaku bahwa pemutaran pada hari ini cukup lumayan.<\/p>\n \u201cUntuk filem seperti Kluge, hingga akhir sesi pertama, masih ada sekitar beberapa orang yang bertahan, itu lumayan,\u201d ujarnya. \u201cSebab, minat penonton untuk menyaksikan filem eksperimental itu memang masih minim, apalagi dengan durasi yang sangat panjang.\u201d<\/p>\n<\/a>
<\/a>
<\/a>