{"id":2801,"date":"2014-09-12T23:50:18","date_gmt":"2014-09-12T16:50:18","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=2801"},"modified":"2017-08-02T20:29:31","modified_gmt":"2017-08-02T13:29:31","slug":"kritik-terhadap-media-dalam-dokumenter-fragmen","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/kritik-terhadap-media-dalam-dokumenter-fragmen\/","title":{"rendered":"Kritik Terhadap Media dalam Dokumenter FRAGMEN"},"content":{"rendered":"
JAKARTA, ARKIPEL, Forum Lenteng \u2014 Suasana aula GoetheHaus di Goethe Institut Jakarta, Jalan Sam Ratulangi, lebih sepi pada pukul 20:00 WIB, 12 September, 2014. Malam itu, giliran filem berjudul FRAGMEN!<\/em> (2005) produksi ruangrupa yang dipresentasikan kepada publik untuk pertama kalinya di perhelatan ARKIPEL Electoral Risk<\/em> \u2013 Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival 2014. Terlihat, hanya lima orang yang mengisi bangku penonton.<\/p>\n Hafiz, Direktur Artistik ARKIPEL, yang kali itu berperan sebagai penyaji, memberikan sedikit pengantar tentang latar belakang isu dibuatnya FRAGMEN!.<\/em><\/p>\n \u201cFilem ini, sedikit banyak, mengangkat fenomena kontemporer yang berkembang saat itu, terutama fenomena media yang menjadi satu persoalan yang lekat dengan masyarakat,\u201d jelasnya. \u201cFilem ini menjadi kritik bagi media tersebut.\u201d<\/p>\n Penjelasan itu pun terbukti ketika penonton menyaksikan bagaimana subjek-subjek di dalam filem mem-performa-kan gaya membaca koran, tetapi kita sadari bahwa yang dianggap sebagai koran oleh tokoh-tokoh di dalam filem hanyalah lembaran-lembaran kertas lebar berwarna cokelat tanpa satu pun huruf di dalamnya. Adegan ini ditingkahi oleh audial yang melafalkan separagraf dua paragraf isi berita dari suratkabar.<\/p>\n Isu tentang bagaimana kerja media telah mengkonstruksi cara berpikir masyarakat juga ditegaskan pada adegan percakapan antara tiga orang yang membahas asal-muasal dan alasan kemunculan fenomena \u201cmalam minggu\u201d, serta adegan seseorang di balik komputer yang sedang membalas surat pembaca \u2014yang dapat ditebak bahwa rubrik surat pembaca tersebut berasal dari koran-koran kuning yang umum mengangkat persoalan seputar seks. Selain itu, filem ini juga menyinggung soal stereotipe \u2018kata-kata kotor\u2019 atau umpatan, semacam \u201cngentot\u201d, \u201ctaik\u201d, dan lainnya, yang identik dengan pemaknaan negatif publik terhadap lingkungan pertemanan geng atau preman.<\/p>\n Namun, di awal filem kita telah diberi semacam kode, bahwa media adalah suatu soal yang begitu intim pada keseharian kita, yang membuat memori tak lekang oleh waktu, melalui adegan perbincangan tentang suatu lokasi di Depok dan Serang melalui corat-coret peta di atas kertas. Rangkaian fragmen-fragmen ini seolah menjadi metafor yang mengingatkan kita bahwa media akan menjadi arif ketika publik mampu mengkritisinya.<\/p>\n