<\/a><\/p>\n[accordion auto=”0″][accordion_item title=”Foreword”]\n[column type=”1\/2″ last=”0″ class=””]\nDokumenter Sebagai Gerakan dan Keberpihakan<\/h1>\n
<\/p>\n
Untuk sekilas memperkenalkan karya-karya sutradara dokumenter Ogawa Shinsuke, setidaknya kita dapat mulai dengan menarik tiga fokus naratif pada masing-masing dari tiga filemnya yang akan ditayangkan dalam program khusus ini. Ketiga filem berikut boleh disebut merupakan dokumenter epik dari antropologi politik perlawanan massa. Antropologis, karena dalam setiap filem itu kita tidak hanya mengiyakan politik sebagai satu-satunya faktor determinan yang mendominasi struktur ketiga filem, tetapi juga terjajakinya suatu pendekatan tentang manusia beserta lingkungannya dalam situasi perubahan sosial yang menjelang. Pada intinya, tiga \u2014dari lima dokumenter seluruhnya\u2014 yang mengungkap radikalisme Sanrizuka antara 1967-1977, itu merupakan studi mengenai keberpihakan kolektif dari sinema politis yang menyongsong perlawanan masyarakat tani yang ditindas oleh kolusi kepentingan korporasi dan penguasa. Poin penting dari hipotesis di atas ialah, fakta bahwa dokumenter tentang gerakan sosial ini tidak berlangsung dalam latar peristiwa dan dengan subjek masyarakat kota, melainkan komunitas warga dari desa-desa resisten di Sanrizuka yang bergerak mengadakan penentangan kolektif terhadap pembangunan Bandara Internasional Narita antara tahun 1967-1973.<\/p>\n
Melalui pola naratifnya, kita amati bahwa fokus pertama adalah aksi demontrasi atau politik perlawanan itu sendiri; fokus kedua ialah komunitas warga tani sebagai massa terorganisir yang dimobilisasi; dan fokus ketiga ialah perenungan atas seluruh aksi kolektif yang dijalankan. Ketiga fokus ditempatkan ke dalam suatu struktur montase melalui berbagai faset dari adegan-adegan nyata, yang berganti-ganti sudut pandang dan subjek, dalam hal mana penerapan metode interupsi pada setiap filem, selain memuat informasi teknis dan penggambaran visual desa resisten, di satu sisi juga menawarkan realitas sinematik dengan nuansa puitis revolusioner tentang gerakan kaum tani. Ketiga dokumenter ini menunjukkan konsep dan praktik sinema konfrontasi dalam artinya yang paling nyata, yang memproduksi sebentuk provokasi keberpihakan manakala representasi medan konflik itu demikian gamblangnya mengungkapkan massa protes versus musuh bersama mereka (wakil-wakil negara dan korporat) saling berhadapan secara frontal di lapangan. Di situlah, barang tentu, simpati, empati, dan aksi keberpihakan sinema terlibat sepenuhnya dengan perjuangan keras warga desa petani Sanrizuka dalam mempertahankan tanah tradisional mereka melawan pembangunan ekonomi raksasa Jepang dengan dalih kemakmuran.<\/p>\n
Bentuk dari fokus pertama, secara umum, terbentang sebagai lanskap-lanskap, dan dalam kesempatan itu, terpampang kontur desa-desa yang menjadi ladang pertempuran, sebagai bagian dari latar sejarah setiap wilayah. Fokus kedua terkonsentrasikan pada berbagai bidikan dekat (close up<\/i>) wajah-wajah individual para demonstran dan penggerak massa aksi, dalam upaya mendekatkan profil para pelaku demonstrasi. Akan halnya fokus ketiga, mewujud sebagai pantulan batin yang menilai ulang sebagian aksi maupun isu yang menjadi inspirasi maupun strategi perlawanan. Pada bagian inilah, sesungguhnya, terletak momen-momen renungan bagi sinema, utamanya mengenai hakikat dokumenter yang menjadi pijakan estetiknya. Dalam hal ini, struktur montase ketiga filem sungguh diniatkan sebagai bentuk ungkapan sinematik yang memetaforkan alur naratif ke dalam: badan\u2013tindakan\u2013jiwa dari dokumenter itu. Karenanya, kita tidak hanya menyaksikan masifnya perlawanan dan kekerasan di antara dua pihak yang bertikai, tetapi juga nilai-nilai sosio-moral yang dapat dipetik dalam momen-momen yang menawarkan sejenis transendensi untuk memberi alasan mengapa radikalisme, di satu pihak, dan kekerasan, di lain pihak, harus terjadi. Di balik segenap upaya mewujudkan suatu strategi dokumenter yang menggetarkan keterlibatan, ini, tak boleh diabaikan peranan media sebagai alat yang, dalam ketiga documenter, tidak ditutup-tutupi. Bahkan, dalam filem yang pertama, kamera yang dituduh turut berfungsi memprovokasi oleh pemerintah, adalah aspek tak terpisahkan dari struktur montase dokumenter ini. Keberpihakan kamera dalam radikalisme ini menghadapi konsekuensi tentang objektifitas sudut pandang suatu dokumenter, ketika bahkan sebenarnya representasi kekerasan itu belum lagi terlihat. Akan tetapi, seperti dinyatakan asisten sutradara Matsumoto Takeaki, posisi objektif kamera juga menuntut argumen yang sama objektifnya atas penggunaan kekerasaan dalam menangani peristiwa demontrasi yang sedang direkam.<\/p>\n
Dengan demikian, teranglah, ketiga fokus naratif tersebut pada pokoknya menjelaskan semacam prosedur strategis akan bentuk representasi yang dipilih untuk membunyikan sinyal-sinyal pesan pada aspek dalaman (internal<\/i>) setiap filem, tanpa perlu mengabaikan aktualitas dari seluruh proses radikalisasi itu. Dengan kata lain, filem-filem ini menjadi berarti, bukan hanya lantaran secara cemerlang berhasil menggerakkan kembali fakta-fakta mendasar dari adegan-adegan nyata yang menegaskan sikap politik atas dokumenter, melainkan juga karena di dalam filemnya sendiri, secara estetik, tersimpul renungan tentang penegasan sikap itu dari suatu mahakarya seni.<\/p>\n
– Ugeng T. Moetidjo<\/em><\/p>\n[\/column]\n[column type=”1\/2″ last=”1″ class=””]\n