{"id":2870,"date":"2014-09-13T23:00:26","date_gmt":"2014-09-13T16:00:26","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=2870"},"modified":"2017-08-02T20:26:54","modified_gmt":"2017-08-02T13:26:54","slug":"suara-dari-ombak-kenangan-manis-akan-bencana-11-maret","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/suara-dari-ombak-kenangan-manis-akan-bencana-11-maret\/","title":{"rendered":"Suara dari Ombak: Kenangan \u201cManis\u201d akan Bencana 11 Maret"},"content":{"rendered":"
JAKARTA, ARKIPEL, Forum Lenteng <\/strong>\u2014 Sabtu, 13 September, 2014, hari ini adalah tayangnya filem kedua dari Yamagata Documentary Film Festival (YIDFF) di Kineforum. Berbeda dengan hari sebelumnya, di mana sebagian besar penonton adalah orang Indonesia, ada beberapa orang Jepang yang hadir di hari ini, termasuk Murakami Kenji, sutradara filem Sound Hunting<\/em> yang ditayangkan kemarin. Pukul 19.00, penonton berjalan masuk ke dalam studio dan dengan tenang mengambil tempat duduk.<\/p>\n Filem ini dibuka dengan adegan seorang pria dan seorang perempuan yang duduk saling berhadapan. Pasangan di layar tertawa kecil, mengenang dengan manis sebuah hari yang mengubah hidup mereka.<\/p>\n \u2018Mengenang dengan manis\u2019 memang bukan frase yang langsung terlintas di pikiran ketika sedang membahas mengenai filem dokumenter bencana alam. Tapi, itu sudut yang Sakai Ko dan Hamaguchi Ryusuke sajikan dalam Voices from the Waves<\/em> Shinchimachi <\/em>\u2014 yang bercerita mengenai bencana 11 Maret. Filem tersebut menggambarkan kehidupan warga Shinchi-machi, Soma-gun, Fukushima dan Kesen’numa City, Miyagi, ketika tsunami melanda daerah mereka.<\/p>\n Saya duduk di dalam ruangan, setengah berharap bakal menonton kisah yang menyayat hati mengenai kehilangan dan tragedi ketika para korban bercerita mengenai kenangan mereka. Saya justru terkejut: bukannya penderitaan dan kesedihan, saya malah melihat cerita-cerita mengenai kehormatan, tanggung jawab, kasih sayang dan tekad. Narasi-narasi itu terbentang di hadapan saya.<\/p>\n “Kita berlari ke arah laut,” pria dalam layar terkekeh. “Kenapa kita melakukan itu?” dia bertanya-tanya.<\/p>\n “Aku tidak tahu,” istrinya, yang duduk di seberangnya, menjawab. “Aku selalu percaya padamu. Aku pikir kau tahu apa yang sedang sedang kau lakukan,” ujarnya dengan sayang.<\/p>\n Percakapan antara pasangan tua adalah salah satu dari banyak yang terjadi pada layar. Ada pola, tampaknya, pada orang-orang yang terlibat. Ada ayah dan anak, bos dan karyawan, teman, dan orang asing mewawancarai orang lain. Selama 103 menit, wajah mereka berubah dari korban bencana yang tak bernama menjadi suara-suara individual. Penonton disuguhi humor ketika ayah dan anak bertengkar mengenai ingatan mereka yang berbeda akan tragedi tersebut. Kita disajikan kebahagiaan pahit ketika wajah ceria seorang ayah mengernyit dan menangis di dalam layar, saat ia mengingat betapa menyedihkan anak-anaknya ketika ia dan istrinya menemukan mereka di tempat penampungan darurat. Semburat kesedihan melanda kami, penonton, ketika menyaksikan seorang pria yang mengakui bagaimana ia tidak pernah bisa melihat laut dengan cara yang sama lagi \u2014lautan, menurutnya, telah membunuh keluarganya.<\/p>\n Filem ini pun menjadi sebuah alternatif yang menyegarkan dari musik gesek yang monoton serta narasi yang bersimbah air mata yang biasanya terjadi dalam sebuah filem dokumenter bencana alam.<\/p>\n “Filem ini bertindak sebagai kontras dari filem dokumenter aliran utama pasca bencana 11 Maret,” jelas Makiko Wakai pada akhir filem. “Ada pola tertentu yang melekat pada proses pembuatan filem dokumenter sehingga filem ini, bersama banyak filem lainnya, disajikan sebagai alternatif.\u201d<\/p>\n Waktu penayangan yang berlangsung setengah jam lebih dari waktu yang dijadwalkan, terpotong oleh penonton yang menggigil di dalam dinginnya ruangan. Makiko kemudian tersenyum dan mengundang kami untuk berbicara di luar. Segera kami mulai meninggalkan ruangan, melanjutkan diskusi kami di lorong-lorong sepi Kineforum.<\/p>\n