{"id":3052,"date":"2014-09-14T23:15:57","date_gmt":"2014-09-14T16:15:57","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=3052"},"modified":"2017-08-02T20:19:59","modified_gmt":"2017-08-02T13:19:59","slug":"the-songs-of-rice-nyanyian-perayaan-bagi-beras","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/the-songs-of-rice-nyanyian-perayaan-bagi-beras\/","title":{"rendered":"The Songs of Rice: Nyanyian Perayaan bagi Beras"},"content":{"rendered":"
JAKARTA, ARKIPEL, Forum Lenteng \u2014 <\/strong>Kurang lebih 22 orang mengisi bangku penonton di Studio 1 XXI, Taman Ismail Marzuki (TIM) pada hari Minggu, 14 September, 2014, pukul 14.30. Filem yang ditayangkan hari ini merupakan salah satu rangkaian Program Presentasi Khusus ARKIPEL Electoral Risk<\/em> \u2013 Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival 2014, bekerja sama dengan Bangkok Experimental Film Festival (BEFF). Program ini diadakan untuk melihat bagaimana perkembangan para filmmaker<\/em> mancanegara, khususnya Asia Tenggara, mengembangkan dan mempresentasikan sinema dokumenter eksperimentalnya.<\/p>\n Berdurasi 75 menit, filem berjudul The Songs of Rice<\/em> (Uruphong Raksasad, Thailand) berjalan tanpa narasi sedikit pun. Premisnya cukup sederhana, yakni proses penanaman padi hingga musim panen, serta kegiatan sehari-hari para petani beras di Thailand. Sinematografi yang apik membuat hamparan padi yang menguning terlihat begitu indah. Seringkali gambar terlihat buram karena diambil ketika langit sedang mendung. Seorang petani tampak menikmati pekerjaannya menanam padi di bawah derasnya hujan. Beberapa orang anak dan seekor anjing bermain kejar-kejaran di sawah ketika sawah tersebut sedang disiangi. Di luar pekerjaan, anak-anak dan petani menunggangi kerbau-kerbau mereka dalam lomba balapan kerbau. Kerbau-kerbau itu juga dimanfaatkan dalam berbagai festival tradisional. Mereka menarik gerobak yang dihias sedemikian rupa dengan bunga-bunga dan pita-pita beraneka warna, berkeliling desa.<\/p>\n Di sepanjang cerita, sangat terlihat bahwa beras begitu dirayakan di sana. Mereka mengadakan festival pada musim panen sacara besar-besaran. Wanita-wanita menari sementara prianya menyalakan kembang api raksasa yang terbuat dari bambu. Bahkan pendeta-pendeta di kuil setempat memberkati umat mereka dengan nasi, dan mengungkapkan betapa pentingnya nasi bagi kehidupan manusia. Dalam satu adegan, seorang wanita memanggang segumpal nasi yang dililitkan pada batang seperti sate, sambil mendendangkan lagu tentang jerih payah seorang ibu yang membesarkan anaknya sampai dewasa namun dilupakan. Nyanyian tersebut diumpamakan dengan memberi makan sang anak dengan nasi hingga ia menuju kedewasaannya.<\/p>\n Bagi saya, sangat menyenangkan untuk melihat bagaimana makanan dirayakan dan dihargai sedemikian rupa. Saya menyadari bahwa nasi bukanlah sekadar nasi, namun makanan pokok bagi banyak orang, termasuk Indonesia. Seketika saya teringat nasihat ayah saya ketika saya masih kecil, “Habiskan nasinya, kalau dibuang nanti mereka nangis!”<\/p>\n