{"id":4896,"date":"2015-09-14T19:50:42","date_gmt":"2015-09-14T12:50:42","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=4896"},"modified":"2017-08-02T19:47:03","modified_gmt":"2017-08-02T12:47:03","slug":"public-discussion-1965-history-in-the-media","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/public-discussion-1965-history-in-the-media\/","title":{"rendered":"Public Discussion: 1965 History in the Media"},"content":{"rendered":"
\u00a0<\/strong><\/p>\n Jakarta, 27 Agustus 2015. Diskusi Publik merupakan salah satu program dari rangkaian acara yang diadakan oleh ARKIPEL Grand Illusion<\/em> \u2013 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, 2015. Diskusi yang berlangsung di Auditorium Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini membahas mengenai sejarah peristiwa 1965 dalam konteks media, yaitu bagaimana peran media (sinema) dalam melihat sebelum dan sesudah tragedi 1965. Acara ini berlangsung pada pukul 16:00 WIB, dihadiri oleh dua narasumber, yaitu Budi Irwanto dan Hilmar Farid.<\/p>\n Acara diskusi publik kali ini dimoderatori oleh Hafiz Rancajale, Direktur Artistik ARKIPEL. Sekilas mengenai Hafiz, ia adalah seorang seniman, kurator dan juga pendiri Forum Lenteng dan ruangrupa Jakarta. Menyelesaikan studi seni murni di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 1994, ia juga memimpin redaksi www.jurnalfootage.net<\/em>, dan pernah menjadi Direktur Artistik pada OK Video \u2013 Jakarta International Video Festival (2003-2011). Saat ini, Hafiz juga menjabat sebagai Ketua Komite Seni Rupa, Dewan Kesenian Jakarta.<\/p>\n Sedikit pengantar dari Hafiz Racajale, sekaligus membuka acara diskusi kali itu, menyinggung sebagian sejarah Indonesia, yakni era Orde Baru, yang menggunakan media sebagai kunci utama untuk membangun perspektif publik mengenai apa itu komunisme, bagaimana tragedi 1965, juga sebagai alat untuk mewujudkan cita-cita imperialisme dari pemerintahan Orde Baru. Beberapa program telah dibuat pemerintah dalam upaya membangun perspektif tersebut, salah satunya melalui filem fenomenal yang berjudul Penumpasan Penghianatan G 30 S PKI<\/em> karya Arifin C. Noer.<\/p>\n Acara dilanjutkan dengan pemaparan materi dari Budi Irwanto yang juga menjabat sebagai Direktur Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Budi meraih gelar Doktor dari Department of Southeast Asian Studies, National University of Singapore. Ia sering ditunjuk sebagai juri di berbagai festival filem, salah satunya ChopShots Documentary Film Festival Southeast Asia (2014). Tulisannya pernah diterbitkan dalam Asian Cinema dan bunga rampai Asian Documentary Today (2012). Di ARKIPEL Grand Illusion<\/em>, Budi adalah salah satu kurator utama.<\/p>\n Dalam pemaparannya, Budi mencoba menjelaskan beberapa pokok pikiran ikhwal sejarah 1965 dalam sinema. Pada era reformasi, menurutnya, ada banyak filem yang diproduksi berkaitan dengan kekerasan yang terjadi pada tahun 1965. Mengutip Ariel Heryanto (2015), Budi menjelaskan bahwa terdapat tiga kategori pembuat filem kekerasan 1965. Kategori pertama, mereka yang dikenal sebagai tahanan politik dan lingkaran terdekat mereka. Kategori kedua, para aktivis dari berbagai organisasi non-pemerintah yang memiliki perhatian khusus pada HAM. Kategori ketiga, mereka yang minat utamanya pada filem sebagai bentuk ekspresi artistik ketimbang pada isu politik. Budi mengerucutkan pembahasannya pada film dokumenter tentang para korban kekerasan 1965. Filem dokumenter sering kali mengklaim dirinya paling dekat dengan kebenaran, namun menurut Budi, pengertian semacam itu harus ditinjau kembali. Filem dokumenter hanyalah suatu ikhtiar merekonstruksi masa lalu dengan menggunakan kaidah sinematografi sementara ada banyak cara kreatif lainnya untuk menyoroti pembunuhan masal yang terjadi tahun 1965 tersebut. Atau, bisa saja mencari kemungkinan lain untuk menguak kekerasan 1965 melalui pendekatan intim lewat sudut pandang yang lebih personal, tanpa mengaitkannya langsung ke wacana besar politik.<\/p>\n Kemudian diskusi dilanjutkan dengan paparan Hilman Farid, seorang sejarah. Farid juga seorang aktivis dan pengajar. Menyelesaikan kuliah S1 di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia pada 1993. Pada tahun 2002 ia mendirikan serta memimpin Institut Sejarah Sosial Indonesia hingga 2007. Fai, sapaan akrabnya, menjadi ketua Perkumpulan Praxis sejak 2012, aktif di Asian Regional Exchange for New Alternatives (ARENA) dan di Inter \u2013 Asia Cultural Studies Society sebagai editor.<\/p>\n Dalam presentasinya, Farid menyayangkan, mengapa peristiwa besar yang berdampak kepada hidup orang banyak (peristiwa 1965\u2014red) mendapat perhatian yang lebih sedikit, baik di tingkat pemerintah ataupun nonpemerintah. Tentu hal tersebut ada kaitannya dengan otoritarianisme pada masa Orde Baru, semua hal yang ada dinegara dikontrol penuh oleh pemerintah. Dalam pemaparannya Farid menjelaskan,”Ada sebuah mekanisme yang penting perannya dan lebih halus untuk membungkam kebenaran dari peristiwa ini, salah satunya melalui propaganda filem G 30 S PKI yang merupakan mesin propaganda yang efektif dan massif yang telah mencakup seluruh lapisan masyarakat.” Permasalahan jauh lebih kompleks ketika mesin propaganda yang melahirkan kebohongan yang diceritakan dalam bentuk narasi ini telah menjadi bagian dari kehidupan di masyarakat. Akibatnya, batas antara fiksi dan kenyataan kini menjadi kabur. Cara untuk menyelesaikan permasalahan ini, yaitu hanya dengan mengungkapkan kebenaran, namun hal itu tidak mudah untuk dilakukan. Menurut Farid, kekuatan merupakan sesuatu yang hadir bukan untuk ditantang, tetapi justru untuk di bongkar.”Selama ini, kita terjebak dalam narasi Orde Baru, sudah saatnya kita bergerak maju untuk memproduksi sebuah kebenaran (the production of truth<\/em>),” tutur Farid.<\/p>\n Farid mengapresiasi ARKIPEL Grand Illusion<\/em> yang sudah mengadakan diskusi dengan pembahasan yang menurutnya sangat menarik dan berbobot. “Karya kreatif memiliki kekuatan yang tidak bisa dijangkau dengan kekuatan lain. Mungkin, karena karya kreatif memiliki bahasa lain, yaitu bahasa seni,” tuturnya. Farid berharap bahwa suatu saat Forum Lenteng dapat memproduksi kebenaran (the production of truth<\/em>) untuk mengungkapkan ikhwal fakta.<\/p>\n Setelah pemaparan dari kedua narasumber itu, para hadirin diberikan kesempatan untuk bertanya ataupun sekedar berbagi pandangan kepada narasumber. Terdapat lima orang penanya dalam diskusi kali itu, salah satunya ialah Kemal dari Universitas Multimedia Nasional. \u201cMengapa pemerintah begitu seriusnya menangani permasalahan sejarah ini (tragedi 1965) dan juga mengapa hanya terdapat satu perspektif saja?\u201d tanya Kemal.<\/p>\n Farid mencoba menjelaskan kronologi singkat mengenai bagaimana pemerintahan Orde Baru membangun sebuah narasi hingga menjadi kebenaran mutlak di masyarakat. Pada bulan November, dibentuk sebuah tim yang tugasnya menulis sejarah dari peristiwa yang baru saja terjadi dan menghasilkan buku pada bulan Desember. \u201cItu merupakan buku sejarah tersingkat dalam proses pembuatannya yang hanya berselang tiga bulan dari peristiwa tersebut,\u201d tutur Farid. Dengan menyusun narasi yang koheren tanpa ada landasan, dan menyebarluaskan narasi tersebut hingga menjadi faktual dengan hasil yang juga efektif, merupakan pekerjaan raksasa yang dillakukan pemerintah. Filem tentang gerakan 30 September versi pemerintah muncul ketika Orde Baru mulai berjaya. Pemerintah menangani permasalahan ini secara serius disebabkan basis legitmasi dari Orde Baru adalah klaim atas masa lalu dan hal ini sudah pemerintah sadari sejak hari pertama terjadinya peristiwa tersebut.<\/p>\n Meskipun waktu sudah menandakan diskusi harus berakhir, namun sejumlah peserta mencoba untuk mendapat kesempatan bertanya dengan mengangkat tangan. Diskusi yang dihadiri oleh 50 orang tersebut berakhir pada pukul 18:00 WIB.<\/p>\n –<\/p>\n Jakarta, 27 August 2015. Public Discussion is one of the program series from ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, 2015. The discussion that took place in the auditorium of the Jakarta Institute of Arts (IKJ) was to talk about the historical events of 1965 in the context of media, in which how the role of the media (cinema) in seeing the 1965 coup, before and after. This discussion was held at 16:00 pm, with two keynote speakers, namely Budi Irawanto and Hilmar Farid.<\/span><\/p>\n The public discussion was moderated by Hafiz Rancajale, the Artistic Director of ARKIPEL. About Hafiz, he is an artist, curator and founder of the Forum Lenteng and ruangrupa Jakarta. Completed the fine arts studies at the Jakarta Arts Institute (IKJ) in 1994, he also the editor in chief of www.jurnalfootage.net, and once became the Artistic Director of OK Video – Jakarta International Video Festival (2003-2011). Currently, Hafiz also served as the Chairman of the Visual Arts Committee, Jakarta Arts Council.<\/span><\/p>\n A little introduction from Hafiz Rancajale to opened the discussion, was brought up about a part of Indonesian history, the era of the New Order, which used the media as a key to build public\u2019s perspective on what is communism, how the tragedy of 1965 happened, also as a tool to reach the imperialism goals of the New Order government. Several government programs had been created as an effort to build this perspective, one of them through the phenomenal film titled Treachery of G30S\/PKI <\/em>(Penumpasan Pengkhianatan G30S\/PKI<\/em>) by Arifin C. Noer.<\/span><\/p>\n The discussion continued with the presentation from Budi Irawanto, who also serves as the Director of Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Budi earned his doctorate from the Department of Southeast Asian Studies, National University of Singapore. He is often appointed as a jury in various film festivals, one of which is ChopShots Southeast Asian Documentary Film Festival (2014). His writings have been published in Asian Cinema and anthology of Asian Documentary Today (2012). In ARKIPEL Grand Illusion, Budi is one of the main curators.<\/span><\/p>\n In his presentation, Budi tried to explain some main ideas regarding to 1965 history in cinema. In the reformation era, he said, there were many films produced related to violence that occurred in 1965. Quoting Ariel Heryanto (2015), Budi explained that there are three categories of 1965 coup filmmaker. The first category, they are known as political prisoners and their closest circles. The second category is the activists from various non-governmental organizations who have special attention to human rights. The third category is people who treat film as a form of artistic expression rather than raising political issues. Budi took documentary films about the victims of 1965 violence as his main topic. Documentary films often claim to be closest to the truth, but according to Budi, such understanding should be reviewed. Documentary film is just an effort to reconstruct the past using the rules of cinematography while there are many other creative ways to highlight the massacre that occurred in 1965. Or, it could be looking for other possibilities to uncover violence in 1965 through an intimate approach with a more personal viewpoint, without referring directly to the big political discourse.<\/span><\/p>\n Then, the discussion followed by Hilmar Farid\u2019s session, a historian. Farid is also an activist and teacher. He finished his undergraduate degree at Department of History of the University of Indonesia in 1993. In 2002 he founded and led the Indonesian Institute of Social History to 2007. Fai, his nickname, has been sitting as the chairman of the Praxis Association since 2012, works in the Asian Regional Exchange for New Alternatives (ARENA) and in Inter – Asia Cultural Studies Society as an editor.<\/span><\/p>\n In his presentation, Farid regretted that why the major event that affects the lives of many (1965 coup-ed) received less attention, both at the level of government or non-government. Of course it is nothing to do with authoritarianism under the New Order, where all the things were fully controlled by the government. In his presentation Farid explained, “There is a mechanism that has an important role and more subtle to silence the truth of this event, one of them is through the G30S PKI propaganda film, which is an effective and massive propaganda machine that has touched the whole level of society.” The problem is much more complex when the propaganda machine that gave birth to a lie told in narrative form has become part of life in society. As a result, the boundary between fiction and reality has become blurred. The way to solve this problem, it is only by revealing the truth, but it is not easy to do. According to Farid, power is something that exists, not to be challenged, but rather to be dismantled. “All of this time, we get caught up in the New Order\u2019s narration, it’s time we move forward to produce a truth (the production of truth<\/em>),” said Farid.<\/span><\/p>\n Farid appreciated ARKIPEL Grand Illusion for hosting the discussion with such interesting and insightful talks. “Creative work has a power that cannot be reached by other forces. Perhaps, because creative work has another language, the language of art,” he said. Farid hoped that someday Forum Lenteng will able to do \u201cthe production of truth\u201d to reveal the matters of fact.<\/span><\/p>\n After the two speakers gave their presentations, the audience was given the opportunity to ask questions or just to share their views to the speakers. There were five questions in the discussion, one of them was from Kemal (National Multimedia University). “Why is the government so seriously addressing this history issue (the tragedy of 1965) and also why there is just one perspective available?” asked Kemal.<\/span><\/p>\n Farid tried to explain a brief chronology of how the New Order government building a narration to became the absolute truth in society. In November (after the coup on September), was formed a team whose task was to write a history of the events that had just occurred and resulted in a book in December. “That is the shortest history book production ever, which is just three months after the incident,” said Farid. By compiling a coherent narration without any foundation, and disseminated such narration to be factual with effective results, was the giant work done by the government. A government’s version of the 30th September movement film arose when the New Order began to prosper. The government addressed this issue seriously because the basis of New Order legitimization is the claim of the past and this has been realized by the government from the first day of the event.<\/span><\/p>\n Although time had signaled that discussion must come to an end, a number of participants tried to get a chance to ask by raising their hand. The discussion was attended by 50 people ended at 18:00 pm.<\/span><\/p>\n <\/p>\n