{"id":5763,"date":"2016-08-20T20:58:51","date_gmt":"2016-08-20T13:58:51","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=5763"},"modified":"2017-08-02T19:23:13","modified_gmt":"2017-08-02T12:23:13","slug":"festival-forum-panel-4","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/festival-forum-panel-4\/","title":{"rendered":"Festival Forum: Panel 4"},"content":{"rendered":"[vc_row][vc_column][vc_column_text]\n
<\/p>\n
Jika sinema ialah bahasa dan filem ialah tulisan, maka mungkinkah Asia merumuskan bahasa bagi sinemanya sendiri?<\/p>\n
Usaha awal ARKIPEL melacak perkembangan bahasa sinema di Asia berlanjut pada Forum Festival ARKIPEL tahun ini. Fenomenanya, bahasa sinema justru kerap muncul hanya dari institut kuratorial di Eropa sehingga menimbulkan kegelisahan di kalangan pengamat filem Asia tentang \u201cbahasa ibu\u201d sinema di Asia. Namun, di era kontemporer ini, agaknya peluang Asia, khususnya Asia Tenggara, sangat terbuka dalam menentukan bahasa sinemanya sendiri. Terutama ketika bahasa baku dalam sinema dunia kini kian runtuh. Setidaknya, begitulah pembuka diskusi Forum Festival, Panel 4, yang dilakukan oleh Akbar Yumni, kritikus seni dan pegiat budaya, selaku moderator pada panel tersebut.<\/p>\n
<\/p>\n
Berlokasi di Goethe Institute pada 19 Agustus, 2016, diskusi Panel 4 di Forum Festival ARKIPEL social\/kapital – 4th<\/sup> Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival itu mengangkat sebuah tema, yakni \u201cPerkembangan Bahasa Sinema di Asia\u201d. Hsu Fang-Tze, Hikmat Darmawan, dan Manshur Zikri, sebagai pengamat sinema Asia, hadir di GoetheHaus dalam rangka menjajaki kemungkinan proposisi-proposisi yang mengkarakterisasi kekhasan Asia dalam bahasa sinemanya.<\/p>\n