{"id":5949,"date":"2016-08-24T17:56:36","date_gmt":"2016-08-24T10:56:36","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=5949"},"modified":"2017-08-02T19:08:22","modified_gmt":"2017-08-02T12:08:22","slug":"film-life-making-celluloid-film-midst-digital-explosion","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/film-life-making-celluloid-film-midst-digital-explosion\/","title":{"rendered":"Film Your Life! – Making Celluloid Film in the Midst of Digital Explosion"},"content":{"rendered":"[vc_row][vc_column][vc_column_text]\n
Film Your Life!: Membuat Film Seluloid di Tengah Ledakan Digital<\/h2>\n
<\/p>\n
Banyak dari kalangan muda Indonesia adalah penikmat filem dan tak jarang pula yang tertarik untuk membuat filem. Namun, seringkali pikiran tentang sulitnya membuat filem muncul dan menyebabkan kelahiran sineas muda Indonesia tertunda. ARKIPEL social\/kapital – 4th<\/sup> Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival pada kesempatan kali ini menghadirkan sebuah masterclass<\/em> untuk menunjukkan betapa sesungguhnya membuat filem adalah hal yang mudah. Bertempat di @America pada Selasa, 23 Agustus sore, Scott Miller Berry hadir untuk berbagi pengetahuannya mengenai pembuatan filem khususnya filem seluloid.<\/p>\n
Scott Miller Berry.<\/p><\/div>\n
Fokus masterclass <\/em>ini ialah pembuatan filem personal menggunakan filem seluloid. Namun sebelum masuk ke penjelasan teknis, Scott yang tengah memegang posisi Direktur pelakasana organisasi filem dan kesehatan mental Worksman Arts <\/em>ini bercerita mengenai ketertarikan personalnya terhadap filem.<\/p>\n
Kecintaan Scott terhadap pembuatan filem bertumbuh sejak ia masih kecil. Di masa kanaknya, Scott kecil kerap dibawa oleh sang ibu untuk menonton filem. Namun pada usianya yang ke-17, sang ibu meninggal dunia. Hal ini sangat memengaruhi pandangan Scott terhadap banyak hal, termasuk pendekatannya terhadap filem dan kesenian. Menurut tuturan Scott, ada banyak medium yang bisa digunakan untuk mengekspresikan pengalaman pribadi seseorang. Filem merupakan medium yang ia pilih.<\/p>\n
Yuki Aditya, Direktur ARKIPEL, memberikan sambutan. \/ Yuki Aditya, Director of ARKIPEL, gave opening speech.<\/p><\/div>\n
<\/p>\n
Scott muda memulai perkenalannya dengan pembuatan filem melalui suatu kelas fotografi di daerah asalnya di Detroit, Michigan. Menurutnya, filem merupakan kesatuan dari serangkaian foto. Tak heran, ketertarikannya pada filem pun dimulai dari fotografi.<\/p>\n
Salah satu momen sejarah sinema dunia yang menunjukkan kedekatan fotografi dan sinema ialah munculnya sebuah foto karya Eadward Muybridge. Muybridge menggunakan kameranya untuk menangkap gerakan sebuah objek, pada saat itu ialah sebuah kuda yang melompat. Setelah karya Muybridge, hadir filem karya dari Lumiere bersaudara di tahun 1895. Filem hitam putih yang berjudul Train a Ciotat (Kedatangan Kereta)<\/em> menjadi filem pertama di dunia. Sebuah terobosan yang membawa perkembangan baru bagi dunia sinema.<\/p>\n
<\/p>\n
<\/p>\n
Setelah itu, muncul inovasi-inovasi lain yang kian menunjukan hubungan kuat fotografi dalam sinema. Termasuk pula filem-filem karya Georges Melies dari Perancis yang membawa perkembangan di dunia sinema, terutama terkait perkembangan teknik dan narasi dalam filem. Salah satu karyanya yang berjudul A Trip to the Moon (Perjalanan ke Bulan) <\/em>(1902) merupakan inovasinya terkait pewarnaan dalam filem.<\/p>\n
<\/p>\n
Kemudian, sutradara dan pegiat budaya yang tinggal di Toronto ini menampilkan sebuah video tentang cara proyektor bekerja. Di video yang ditampilkan, seluloid yang masih berantakan dirapikan menggunakan roda rol filem. Kemudian rol tersebut akan diputar dan diproyeksikan ke layar dengan bantuan cahaya, lubang lensa, dan shutter.<\/em> Menurut Scott, video dan filem adalah dua hal yang sangat berbeda, terutama terkait cara ia dibuat dan diproyeksikan.<\/p>\n
Namun, Scott meyakinkan bahwa untuk membuat sebuah filem bukanlah hal yang sulit. Terutama untuk membuat sebuah filem personal. Filem personal bisa mengambil beragam bentuk tanpa batasan apa pun. Ia kerap menyebut jenis ini sebagai filem diary.<\/em> Salah satu bentuk filem personal yang paling sering dijumpai ialah home movies <\/em>(filem rumahan). Ia merupakan salah satu jenis tradisi filem yang kuat dalam sinema dan kerap dibuat oleh banyak orang. Ia juga merupakan contoh filem personal yang baik sebab sifatnya yang personal dan spontan. Definisi filem personal pun berpusat pada segala sesuatu yang bersifat personal.<\/p>\n
<\/p>\n
<\/p>\n
Untuk membuat sebuah filem personal yang sederhana, seseorang bisa menggunakan sebuah kamera Super 8, stok filem, dan cahaya. Menurut tuturan Scott, satu detik dalam filem terdiri dari 24 foto pada lembar filem seluloid. Ia kemudian menunjukkan \u2018amunisi\u2019 yang ia gunakan untuk membuat filem. Kali ini kita dibawa untuk berkarya tanpa menggunakan teknologi digital alias hanya mengandalkan kamera Super 8 dan stok filem seluloid.<\/p>\n
Pertama-tama ia mengeluarkan sebuah kamera Super 8 dan menunjukkan cara pemakaiannya. Jenis ini dipilih karena penggunaannya yang terhitung mudah dan sederhana. Kemudian Scott menunjukkan sebuah filem ukuran 16 mm. Menurutnya, seluloid filem bersifat sangat fisik dan dapat dipegang. Informasi yang ada pada seluloid filem membutuhkan emulsi kimia untuk dapat terbaca. Kedua benda ini kemudian diulurkan pada peserta mastercalss<\/em> untuk dipegang secara bergantian.<\/p>\n
<\/p>\n
Scott sempat menyebutkan harga-harga dari peralatan yang ia tunjukkan baik dalam dolar maupun dalam rupiah. Sebuah kamera Kodak Super 8 bisa didapat dengan harga sekitar $35 AUS atau Rp. 250.000,-. Sedangkan Kodak 3378 ukuran 16 mm dapat dibeli dengan harga sekitar Rp. 150.000,- per 30 meter rol filem. Untuk developer <\/em>dan fixer <\/em>dengan pengerjaan DIY (Do It Yourself<\/em>) bisa didapat seharga sekitar Rp. 250.000,- . Untuk bertemu dengan orang-orang yang bekerja di bidang ini di wilayah Jakarta, kita bisa menghubungi Lab Laba-Laba. Ia adalah organisasi independen yang bekerja di wilayah produksi filem seluloid. Sedangkan untuk menampilkan karya yang telah dibuat, pembuat filem bisa ikut serta pada berbagai festival filem atau mengunjungi berbagai tempat pemutaran filem alternatif. Untuk Jakarta, Kinosaurus bisa menjadi contoh pilihan yang menarik.<\/p>\n
Scott pun bercerita bahwa di Toronto ia mengasuh sebuah loka karya pembuatan filem seluloid bernama Film Farm Workshop. <\/em>Loka karya ini dilakukan setiap tahun di musim panas dengan pendaftaran yang berlangsung pada bulan Januari hingga akhir Februari. Loka karya ini mengajak serta para pembuat filem baik yang sudah berpengalaman maupun yang belum berpengalaman untuk membuat filem menggunakan seluloid hitam-putih berukuran 16 mm.<\/p>\n
Namun, membuat sebuah filem tak selamanya harus menggunakan kamera. Sebuah karya berjudul Free Radicals<\/em> yang dibuat tahun 1955 oleh Len Lye menampilkan garis-garis radikal warna putih yang bergerak dan bermunculan di layar yang hitam pekat. Alih-alih membuat gambar menggunakan kamera, Lye justru mengguratkan pisau bergerigi di permukaan seluloid secara langsung untuk menciptakan gambar.<\/p>\n
<\/p>\n
Penggunaan kamera Super 8 sendiri, menurut Scott, masih menjadi sebuah opsi, terutama bagi mereka yang berkomitmen tinggi pada filem seluloid. Meskipun demikian, secara nyata industri filem telah berhasil mencuri eksistensi filem seluloid dengan kemunculan Digital Cinema Package <\/em>atau DCP. Pembuatan filem menggunakan media seluloid dan pemutaran yang masih menggunakan proyektor pun sudah banyak berkurang. DCP di satu sisi membuka peluang pada pembajakan, namun di sisi lain ia mempermudah distribusi dan pengarsipan filem. Hal ini pun diamini oleh Rizki dari Lab Laba-Laba yang sempat bercerita tentang kegiatan yang dilakukan Lab Laba-Laba.<\/p>\n
<\/em><\/p>\n
Masterclass<\/em> yang dihadiri oleh 48 peserta ini berjalan dengan dinamis. Beberapa pertanyaan sempat ditanyakan peserta terutama terkait pembuatan filem di era digital. Tidak dipungkiri sekarang ini, teknologi digital berkembang makin pesat dan pilihan media untuk membuat filem semakin banyak. Perkembangan teknologi saat ini membuat orang bisa merekam apa saja dan mengunggahnya ke media sosial. Bahkan, seseorang bisa merekam kisah cintanya, mengunggahnya ke YouTube <\/em>dan lalu membuat seluruh dunia menontonnya. Seorang peserta bertanya apakah hal semacam ini kemudian bisa menurunkan nilai dari karya filem.<\/p>\n
Scott menjawab pertanyaan ini dengan merujuk pada Bigo; sebuah aplikasi yang baru ia ketahui pada pembukaan ARKIPEL. Aplikasi ini membuat orang bisa secara real-time<\/em> menyiarkan kehidupannya pada khalayak. Fungsi yang sama juga bisa kita temukan pada jejaring sosial yang lain. Scott beranggapan bahwa aplikasi semacam ini adalah ide jenius tapi di sisi lain membuat hidup para penggunanya menjadi narsis dan terlalu terbuka. Tidak buruk, tetapi terlalu berlebihan.<\/p>\n
Fakta bahwa semua orang memiliki kamera di sakunya dan bisa membuat filem adalah hal yang luar biasa, apalagi jika video yang dihasilkan unik dan bernilai seni. Tapi, lain halnya jika yang direkam adalah video pertengkaran dengan ibu sendiri atau hal-hal lainnya yang bersifat terlalu pribadi. Perkembangan digital ini pun mengubah perspektif Scott tentang bagaimana ia menonton filem. Barangkali kritisisme terhadap sinema pun turut berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi. Ruth menambahkan bahwa sering kali teknologi media sosial justru hanya menghasilkan hal-hal yang sama saja sehingga minus nilai kritik. Sehingga dunia kita malah menyempit dan bukannya meluas.<\/p>\n
Yuki Aditya dan Scott Miller Berry berbincang dengan Karen Schinnerer, Direktur @America. \/ Yuki Aditya and Scott Miller Berry wa discussing with Karen Schinnerer, Direcotr of @America.<\/p><\/div>\n