{"id":5977,"date":"2016-08-25T12:50:10","date_gmt":"2016-08-25T05:50:10","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=5977"},"modified":"2017-08-02T19:06:39","modified_gmt":"2017-08-02T12:06:39","slug":"nation-memoria-passionis-cinema","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/nation-memoria-passionis-cinema\/","title":{"rendered":"After Nation: A Memoria Passionis in Cinema"},"content":{"rendered":"[vc_row][vc_column][vc_column_text]\n
<\/p>\n
Malam sebelum Rabu, 24 Agustus 2016, saya sudah bersiap-siap untuk tidur yang cukup agar bisa bangun bugar. Maklum saja, siang di hari Rabu tersebut akan menjadi pengalaman pertama saya menonton sebuah filem Asia Tenggara sepanjang 8 jam 8 menit. Tepat 10 menit sebelum filem dimulai, saya sudah memasuki teater 1 bioskop XXI Taman Ismail Marzuki. Kagum juga saya dengan pemandangan 53 orang lainnya yang sudah siap sedia dalam ruangan untuk menonton A Lullaby to the Sorrowful Mystery<\/em> karya Lav Diaz.<\/p>\n <\/p>\n Filem ini dibuka dengan sebuah narasi revolusionis Filipina yang tengah menulis surat kepada kekasihnya tentang eksekusi mati Jose Rizal. Kemudian dalam adegan yang berbeda, seorang pemuda bernama Isagani tampak begitu puitis dalam kegilaannya meratapi hari kematian Jose Rizal. Eksekusi matinya muncul dalam sebuah adegan tanpa sosok, hanya suara letusan senapan dan wajah-wajah penduduk lokal Filipina sebagai saksi. Dalam warna hitam-putih, melankoli terasa begitu kental membuka karya sutradara asal Filipina ini. Sebuah penderitaan yang terbahasakan melalui visual.<\/p>\n <\/p>\n Filem ini mengambil latar Revolusi Filipina di tahun 1896-1897. Berbagai mitos, tradisi lokal, dan keseharian penduduk lokal Filipina di masa lampau hadir dalam ekspresi yang artistik namun nyata. Sebuah bagian dari sejarah perjuangan pembentukan identitas bangsa Filipina yang dibungkus dalam pengembaraan beberapa sosok. Ada dua cerita dalam filem ini yang bagi saya begitu mencuri minat. Yang pertama ialah tentang Simoun yang penuh enigma dan menjadi musuh semua pihak. Dan yang kedua ialah tentang Gregoria de Jesus yang begitu menderita dalam pencariannya untuk menemukan tubuh sang suami sekaligus Bapak Revolusi, Andreas Bonifasio. Baik Simoun maupun Gregoria menyajikan kisah-kisah tragis yang lahir setelah eksekusi mati Jose Rizal.<\/p>\n <\/p>\n <\/p>\n <\/p>\n <\/p>\n <\/p>\n Adegan yang paling saya ingat ialah adegan ketika Caesaria Belarmino memohon ampun pada Gregoria dan meminta dibunuh, sedangkan Gregoria histeris dan sempat nyaris membunuhnya. Caesaria Belarmino ialah wanita yang menyebabkan kemenangan Spanyol atas para revolusionis di Pertempuran Silang serta menyebabkan Andreas Bonifasio tertangkap. Gregoria secara tak sengaja telah bersahabat dengan wanita yang menjadi pemicu kematian suaminya. Sebagai perempuan, saya pun terbawa untuk merasa dari posisi Gregoria yang kehilangan suaminya dan dari posisi Caesaria yang berkhianat pada bangsanya karena situasi. Betapa keduanya sama-sama menjadi bagian dari tragedi yang menimpa bangsa Filipina di era kolonialisme Spanyol.<\/p>\n Pada program ini, A Lullaby to the Sorrowful Mystery<\/em> diputar menjadi 2 bagian dengan interval 1 jam setiap 4 jam pemutaran. Pada sesi kedua, jumlah penonton tak jauh berbeda dari sesi pertama, yaitu sejumlah 43 orang. Tentu saja sebagian telah berganti namun sebagian adalah penonton yang menonton sejak menit pertama filem dimulai. Saya sempat berbincang dengan Bunga Siagian yang telah setia menonton filem ini sejak menit pertama hingga menit terakhir di jam ke-delapan. Menurutnya, filem ini bicara soal hal-hal yang terpinggirkan. Terutama kaitannya dengan pelaku sejarah yang kerap tak disebutkan dalam sejarah. Narasinya dimulai dari cerita tentang Jose Rizal yang akan dieksekusi mati namun tak sekalipun menampilkan sosoknya. Seolah ingin menggeser penokohan dalam sejarah Filipina.<\/p>\n