{"id":7162,"date":"2017-08-21T15:00:08","date_gmt":"2017-08-21T08:00:08","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=7162"},"modified":"2017-08-23T15:24:02","modified_gmt":"2017-08-23T08:24:02","slug":"resisting-psychological-colonization-refusing-conformity","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/resisting-psychological-colonization-refusing-conformity\/","title":{"rendered":"Resisting Psychological Colonization, Refusing Conformity"},"content":{"rendered":"[vc_row][vc_column][vc_tabs][vc_tab title=”Bahasa Indonesia” tab_id=”1503392228-1-21″][vc_column_text title=”Melawan Kolonisasi Psikologis, Menolak Kenyamanan: Catatan Program Kurator Muda Asia \u201cClosure\u201d”]Warna merupakan salah satu instrumen yang efektif untuk mengendalikan perilaku manusia pada tataran psikologis. Warna yang hangat dapat memberikan ketenangan batin, sementara warna yang mencolok dapat mengakibatkan lonjakan emosi, mulai dari panik hingga geram. Selain warna, suara juga memiliki peranan yang kurang lebih sama. Perpaduan kedua elemen ini akan membentuk sebuah pengalaman audio-visual yang, jika digunakan dengan baik, akan mengkonstruksi sebuah tatanan sosial secara halus. Inilah yang dimaksud dengan \u2018kolonisasi psikologis\u2019.<\/p>\n