{"id":7208,"date":"2017-08-23T15:00:54","date_gmt":"2017-08-23T08:00:54","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=7208"},"modified":"2017-08-23T16:49:48","modified_gmt":"2017-08-23T09:49:48","slug":"becoming-subversive-watching-film","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/becoming-subversive-watching-film\/","title":{"rendered":"Becoming Subversive by Watching Film"},"content":{"rendered":"[vc_row][vc_column][vc_tabs][vc_tab title=”Bahasa Indonesia” tab_id=”1503479574-1-49″][vc_column_text title=”Menjadi Subversif dengan Menonton Filem”]Selepas lulus kuliah, saya sempat dihadapkan pada situasi kejenuhan yang mungkin pernah dirasakan banyak orang. Tidak ada pekerjaan, tidak ada uang, tidak ada pasangan. Bukan, saya bukannya jenuh dengan kondisi tersebut. Saya hanya jenuh pada orang tua saya yang terus-menerus mempertanyakan kondisi saya, mempermasalahkan bahwa saya terlihat tidak punya tujuan hidup. Saya punya tujuan hidup tentunya: saya ingin duduk bersantai di sofa sambil menonton filem seharian. Sayangnya, kita tidak dapat bersepakat soal apakah itu merupakan tujuan yang baik.<\/p>\n
Viru Sahastrabudhhe dalam filem 3 Idiots<\/em> (2009) pernah berkata: \u201cHidup adalah sebuah balapan, jika kamu tidak berlari kencang maka kamu akan terinjak-injak<\/em>.\u201d Inilah realita dunia hari ini. Menghadapi perkembangan teknologi yang semakin cepat, manusia dituntut untuk berlari lebih cepat. Mereka yang lambat akan ditinggalkan sebagai pecundang, sebagai orang yang tidak pantas untuk berbaur dalam masyarakat. Layaknya seekor hamster di atas treadmill<\/em>, kita dipaksa untuk terus berlari, berlari, dan berlari.<\/p>\n