{"id":7290,"date":"2017-08-24T11:00:06","date_gmt":"2017-08-24T04:00:06","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=7290"},"modified":"2017-08-27T20:30:26","modified_gmt":"2017-08-27T13:30:26","slug":"states-counterattack-dawn-freedom-mankind","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/states-counterattack-dawn-freedom-mankind\/","title":{"rendered":"State\u2019s Counterattack in the Dawn of Freedom of Mankind"},"content":{"rendered":"[vc_row][vc_column][vc_tabs][vc_tab title=”Bahasa Indonesia” tab_id=”1503837486-1-53″][vc_column_text title=”Serangan Balik Negara di Fajar Kebebasan Manusia”]Dahulu kala, pernah ada suatu masa ketika manusia dapat menjelajahi seisi bumi ini dengan bebas. Dataran luas membentang di hadapannya, mengusik keingintahuannya, mengajaknya untuk bertualang. Hanya keganasan alam dan hewan buas yang dapat menghentikan langkahnya, namun hal itu pun tidak berlangsung lama. Dengan sebilah tombak dan persenjataan lainnya, para terburu berbalik menjadi pemburu. Ketika Alam sudah tidak lagi menjadi halangan, manusia menjadi ras paling unggul di muka bumi, dan kebebasan sejati sudah dalam genggaman. Namun lagi-lagi, hal ini tidak bertahan lama.<\/p>\n
Entah bagaimana dan sejak kapan, institusi negara berdiri dan menciptakan garis-garis imajiner untuk memisahkan teritori mereka dengan negara lain. Tanpa pernah menandatangani apa yang dikatakan sebagai \u2018kontrak sosial\u2019, manusia dipaksa untuk hidup terpenjara dalam teritori negara. Tidak ada lagi kebebasan berpindah. Demi mengurangi hasrat penduduknya untuk berpindah, setiap negara menyebarkan propaganda bahwa negeri mereka adalah yang terbaik sementara negeri liyan adalah tempat berkumpulnya para penyamun dan orang-orang barbar. Politik identitas berhasil menciptakan sekat-sekat di dunia yang memungkinkan negara menjadi entitas terkuat di muka bumi.<\/p>\n
Akan tetapi, manusia adalah makhluk yang selalu mengikuti hasrat primordialnya. Terlepas dari segala aturan ketat yang diciptakan negara, hasrat ini akan mendorong manusia untuk melanggarnya. Inilah hasrat untuk meraih kebebasan, sebuah hasrat yang tidak akan pernah sirna, apa pun yang terjadi. Memasuki abad ke-21, hasrat ini meluap-luap di seluruh muka bumi. Angka perpindahan manusia melonjak tajam, baik yang melalui jalur formal maupun informal. Tatanan masyarakat terguncang. Negara menjadi kelimpungan, mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk memastikan garis-garis demarkasi tetap dihormati, namun berakhir sia-sia. Gelombang perpindahan yang masif ini meneriakkan satu tuntutan: Kembalikan dunia ke kondisinya semula! Fajar kebebasan telah di ufuk mata. Situasi telah berbalik.<\/p>\n
Filem-filem yang diputar sebagai bagian dari kompetisi internasional ARKIPEL Penal Colony pada Rabu, 23 Agustus 2017, di Goethe Institut, merupakan filem-filem yang menggambarkan perubahan yang terjadi pada tatanan masyarakat sebagai akibat dari lonjakan arus perpindahan manusia. Sesuai urutan tayangnya, filem-filem tersebut adalah Depth of Field<\/em> (2016), Third Floor<\/em> (2016), Estate<\/em> (2016), dan Watching the Detectives<\/em> (2017). Sebelumnya filem-filem ini telah diliput dengan baik oleh Wienda P. Novianty<\/a> sehingga saya tidak akan panjang lebar membicarakan sinopsisnya. Tulisan ini akan lebih berfokus pada apa yang berusaha disampaikan oleh filem-filem tersebut terhadap perubahan situasi yang sedang terjadi hari ini.<\/p>\n Depth of Field<\/em> karya Alex Gerbaulet & Mareike Bernien merupakan filem yang mengutuk serangan balik negara terhadap hasrat manusia untuk mendapat kebebasan. Berlatarkan di Nuremberg, Jerman, filem ini menarasikan kebrutalan kelompok National Socialist Underground (NSU) terhadap kaum pendatang di Jerman. Dalam hal ini, NSU tidak bisa tidak dipandang sebagai kepanjangan tangan negara. Mereka adalah orang-orang yang menelan bulat-bulat propaganda negara mengenai superioritas ras mereka dibandingkan ras asing. Mereka pun menjadi tereduksi sebagai alat negara untuk mempertahankan kedaulatannya.<\/p>\n Keberadaan orang-orang seperti NSU merupakan hambatan terbesar bagi kebebasan berpindah. Kaum pendatang tidak akan dapat merasa aman jika kelompok-kelompok semacam ini dapat berkeliaran bebas di lingkungannya. Sayangnya, kelompok-kelompok ini telah menjadi semakin populer dalam beberapa tahun terakhir. Jika kita lihat fenomena Brexit di Inggris, kemenangan Donald Trump di Amerika, dan bangkitnya kelompok \u2018anti-Cina\u2019 di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa upaya membalikkan situasi hari ini akan menghadapi tantangan serius.<\/p>\n Third Floor <\/em>karya Luciana Fina merupakan filem yang menunjukkan bagaimana perbedaan bahasa dapat menjadi penghalang bagi kebebasan berpindah. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, namun juga menjadi kebudayaan, dan identitas yang senantiasa dibanggakan oleh penggunanya. Inilah alasan mengapa kebanyakan warga Prancis menolak menggunakan Bahasa Inggris. Sama juga halnya dengan warga Indonesia yang senang mengolok-olok Bahasa Melayu dari Malaysia. Dalam hal ini, perbedaan bahasa dapat menimbulkan relasi superior-inferior.<\/p>\n Dalam filem Third Floor<\/em>, kehadiran tokoh Aissato mengundang tawa dari penonton karena pelafalan Bahasa Inggrisnya yang \u2018unik\u2019. Hal ini berlangsung secara tidak sadar dan harus diakui bahwa saya sendiri pun melakukannya. Tanpa disadari, kita telah dikonstruksi untuk meremehkan orang-orang yang tidak mampu berbicara dengan suatu bahasa tertentu. Sebagai akibatnya, banyak kaum pendatang yang terasingkan semata-mata karena \u2018aksennya yang aneh\u2019.<\/p>\n Estate <\/em>karya Ronny Trocker memberikan penyampaian visual yang secara metaforik menunjukkan bahwa pribumi dan pendatang tinggal di dunia yang berbeda. Meskipun berbagi ruang yang sama, seorang tokoh berkulit hitam dalam filem tersebut terlihat begitu mencolok di tengah-tengah warga kulit putih yang sedang menikmati liburannya di pantai. Di mata sang tokoh kulit hitam, warga-warga pribumi seolah membeku dalam ruang dan waktu. Kehadirannya sama sekali tidak dianggap dan apapun yang ia lakukan tidak akan memberinya kesempatan untuk berinteraksi dengan warga pribumi.<\/p>\n Sementara itu, kamera dan polisi senantiasa mengawasi gerak-gerik si tokoh kulit hitam, seolah meyakini bahwa ia akan menimbulkan masalah bagi para pribumi. Sama seperti Third Floor<\/em>, filem ini menunjukkan bahwa kita telah dikonstruksi untuk memisahkan diri dengan \u2018yang liyan\u2019. Apapun yang terjadi, para pendatang adalah alien yang tidak pantas berbaur dengan kita. Biarkan polisi dan aparat keamanan negara yang mengurus mereka. Begitulah kiranya mentalitas masyarakat kita hari ini.<\/p>\n Terkhusus filem terakhir, Watching the Detectives<\/em> karya Chris Kennedy, terdapat perlakuan spesial yang diberikan pada malam pemutaran itu. Scott Miller Berry, seorang kawan dari sutradara Kennedy, memutuskan untuk mentransfer filem ini dari media digital ke medium seluloid. Banyak penonton yang menyatakan tertarik untuk datang ke pemutaran malam itu karena penasaran dengan pengalaman menonton filem seluloid a la <\/em>tahun 40-an. Akan tetapi, penggunaan medium seluloid ini bukan sekadar gimmick <\/em>untuk menarik minat penonton, namun memiliki makna tersendiri yang memperdalam pesan yang ingin disampaikan oleh Watching the Detectives<\/em>.<\/p>\n