{"id":7998,"date":"2014-09-08T00:22:08","date_gmt":"2014-09-07T17:22:08","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=7998"},"modified":"2018-07-28T00:30:00","modified_gmt":"2018-07-27T17:30:00","slug":"crisscrossed-intersection-a-world-without-adequate-windows","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/crisscrossed-intersection-a-world-without-adequate-windows\/","title":{"rendered":"Crisscrossed-Intersection: A World without Adequate Windows"},"content":{"rendered":"[vc_row][vc_column width=”1\/2″][vc_column_text css=”.vc_custom_1532712185468{margin-bottom: 0px !important;}”]Memastikan 29 filem terseleksi \u2014dari seluruh 320 yang masuk\u2014 untuk berpeluang sebagai terbaik dalam empat kategori penghargaan ARKIPEL Electoral Risk<\/i> \u2013 Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival 2014, jelas turut terlibat pandangan pribadi lima kepala dari tim penyeleksi. Kendati pandangan pribadi menunjukkan berbagai poin penting nilai sebuah filem, keragaman kepala-kepala ini pun saling mengisyaratkan adanya selera masing-masing anggota tim dalam mengunggulkan setiap filem agar lolos seleksi. Tahap seleksi menawarkan modus penilaian untuk setiap filem pada image<\/i>, music<\/i>, dan text<\/i>. Inspirasi dicomot begitu saja dari judul antologi esai Roland Barthes tentang berlakunya sistem-sistem konten, baik bentuk maupun ketersejarahan dari ide dan pragmatisme dalam salah satu perkembangan sinema. Barulah kemudian kami merumuskan semacam panduannya berdasarkan pemahaman, anggapan, sikap, pilihan, maupun penghayatan empiris kami \u2014sebutlah, pengalaman visual dan sinematik tim penyeleksi yang pasti subjektif itu\u2014 untuk memberikan semacam definisi tertentu mengapa image<\/i>, music<\/i>, dan text <\/i>\u2014sebagai terma teknis sekaligus estetis, dan bukan lainnya yang mungkin lebih umum.<\/p>\n
Pencomotan ini sempat dikomentari seorang kawan sebagai sikap non-konteks lantaran terma tersebut sebenarnya bukan konsep dari Barthes sendiri, melainkan dari editor bukunya itu. Meskipun demikian, kami tetap menganggap bahwa terma-terma itu dapat dielaborasi sebagai acuan kunci untuk menyaring seluruh filem yang terdaftar. Kami tidak menghindar dari hasrat akan sebuah gaya sewaktu akhirnya menetapkan ketiga terma sebagai asas kerja. Di samping kedengarannya keren dan berkelas, ketiga kata itu rasanya membayangkan semacam tuah mantra karya-karya sinematik dan visual menyangkut medium dan bahasa ungkapnya. Tuah tersebut juga dapat menjaga batas selera masing-masing selektor untuk memandang lebih objektif setiap filem terdaftar. Lantaran hal yang niscaya, seringkali selera dapat menikam dari belakang proses penilaian; karena itu, diperlukan suatu penjelasan bagaimana logika selera, secara etis dan taat asas, memandu kami menentukan filem-filem yang akan diloloskan ke tahap penjurian.<\/p>\n
Prinsip dasar yang kami rengkuh, yaitu bahwa dalam sebuah karya filem, image<\/i>, music<\/i>, dan text<\/i> dalam keseluruhannya tersusun sebagai suatu konstruk yang utuh dan padu dengan masing-masing aspek, memainkan perannya sebagai bahasa yang mengkodifikasikan makna sebuah filem. Image<\/i>, music<\/i>, text<\/i>, pada masing-masing kapasitasnya, terbuka peluang untuk saling teracu dengan setiap lainnya sehingga dalam image<\/i>, misalnya, music<\/i> dan text<\/i> turut tergerak dalam memproduksi sejumlah kemungkinan pemaknaan akan image<\/i>, dan demikian sebaliknya dengan dua aspek lainnya. Dengan kata lain, ketiga aspek saling bergantung dan saling melengkapi karena sama-sama terjalin ke dalam apa yang disiasati sebagai teknik penyampaian sinematik\/visual guna menekankan nilai-nilai atau konten dalam setiap filem.<\/p>\n
Image<\/i> tidak dipahami hanya sebagai serangkaian gambar-gambar yang muncul berurutan dari satu representasi sinematik, melainkan juga segenap strategi visualisasi yang memungkinkan filem menyatakan suatu ide kepada kita. Dalam hal ini, termasuk representasi yang tidak menampilkan gambar apa pun, namun secara mendasar mencerminkan suatu kualitas tertentu untuk turut menciptakan makna setiap filem. Suatu black out<\/i>, misalnya, dalam hal itu adalah juga sebentuk cara berada \u2014atau gampanganya, cara bertutur\u2014 dari salah satu elemen sinematik, dan oleh karenanya ia termasuk sebagai bagian dari bahasa ungkap sebuah filem. Berlaku sama ialah intertitles<\/i> dan subtitles<\/i> (semisal menyangkut bahasa tutur asli dalam filem bukan berbahasa Inggris) sebagai gambar atau image<\/i>\u00a0 oleh karena penempatannya yang spesifik (contoh terbaik di sini adalah Diary of Pamplona<\/i>-nya Gonzalo Egurza.) Baik image<\/i>, music<\/i>, text<\/i>, terepresentasikan sepenuhnya di dalam waktu, dan dalam hal waktu teknis pada karya visual bergerak, yaitu durasi. Di sinilah potensi image<\/i> mampu melampaui keterbatasan durasi untuk kemudian mengkodifikasikan waktu sinematik sebagai gagasan konseptual yang mengandung arti yang lebih kekal.<\/p>\n
Jadi, teracu dengan music<\/i> maka image<\/i> juga mengalunkan gagasan dan gerak tentang ritme dalam kaitannya dengan penyuntingan gambar. Teracu dengan text<\/i>, image<\/i> akan lebih mengemukakan produksi \u2018pesan\u2019 atau suatu konteks, daripada sekadar menampilkan keindahan atau kecanggihan artistik. Akan halnya music<\/i>, diartikan tidak hanya pada melodi vokal dan instrumen yang mengiringi rangkaian gambar, tetapi juga segenap audibilitas filemis. Bahkan, keheningan, yang dalam karya-karya visual bergerak, acap dihadirkan dengan memperhitungkan tempo lewat satuan birama antargambar dalam konstruk penyuntingan, dapat mengesankan nada-nada tertentu yang menciptakan nuansa emotif. Karena itu, teriakan paling keras yang secara audial tidak terdengar, dalam logika sinematik dapat menggemakan suatu kualitas audial yang mampu mengetuk relung terdalam pengalaman kita. Pencapaian seni filem amat diperkaya dengan berbagai teknik-estetis seperti ini. Acuan yang sama berlaku untuk text<\/i> yang dipandang sebagai kepaduan relasional antara elemen-elemen naratif (dialog, narasi, intertitles<\/i>, subtitles<\/i>, alur keberurutan susunan gambar), teks atau referensi pesan filem itu sendiri sebagai strategi pengucapan sinematik.<\/p>\n
Ringkasnya, dapat disimpulkan satuan binari \u201cimage<\/i>\/visual<\/i>, music<\/i>\/sound<\/i>, dan text<\/i>\/context<\/i>\u201d. Maka, image<\/i>, music<\/i>, text<\/i> pada prinsipnya bekerja sebagai penentu makna atau boleh disebut konten, yang melalui keutuhpaduan aspek-aspeknya, berperan dalam memproduksi keseluruhan pesan, atau secara dasariah merupakan keutuhan estetik sebuah filem.<\/p>\n
Refleksi umum atas beberapa dari keduapuluh sembilan filem terseleksi \u2014juga pada hampir sebagian yang diterima ARKIPEL\u2014 menegaskan fakta baku pemanfaatan ragam media, terutama aneka materi lawas (footage<\/i>, foto, rekaman suara, dan lain-lain sejenisnya) dari arsip (pribadi maupun institusi) atau dari koleksi memorabilia untuk dipakai sebagai penunjang, kalau bukan menjadi sumber dokumenter itu sendiri. Dengan serangkaian dokumen fotografis dari arsip zaman lalu, filem Alles Was Irgendwie Nutzt<\/i> (atau \u201cAll What is Somehow Usefull\u201d, karya Pim Zwier, Belanda) mengkomunikasikan sejarah hasil percobaan medis pada hewan kepada renungan tentang eksperimen serupa yang pernah diprogramkan terhadap manusia. Sedangkan Emak Bakia Baita<\/i> (atau \u201cThe Search For Emak Bakia\u201d, karya Oskar Alegria, Spanyol) menyajikan kasus sinematik yang unik dari pencarian lokasi asli filem Man Ray itu ke dalam jalinan inter-teks antara karya sang avant-garde<\/i> dan sejumlah skena dokumenter untuk membangun sekuen-sekuen pencarian. Sementara itu, kesan spesifik terhadap keseluruhan filem terpilih sangat kuat menunjukkan visi akan waktu (lampau dan kini berikut saling simpang dan silang keduanya) yang melampaui keserbaterbatasan materi mentahnya melalui elaborasi lebih jauh data-data informasional, menjelajahi dan mengeksperimentasikan teknik mediumnya. Tindakan personal dalam mengkomunikasikan kesadaran akan hasrat estetik dan pengetahuan akan kehendak teknis ini penting (dan menandai bahwa Sang Autor tidak benar-benar mati selamanya) karena hal itu mengimplikasikan adanya daya-daya magis (semacam spirit tak terperikan yang secara rumit muncul) pada apa yang kita tetapkan sebagai karya seni \u2014dalam konteks mediumnya, pembicaraan ini adalah tentang filem\u2014 serta secara pragmatis menawarkan suatu logika yang dapat diterima: mengapa kita masih dan tetap menonton karya-karya sinematik, yang dalam lingkup dokumenter dan eksperimental ARKIPEL ini, di situ hadir ke hadapan kita suatu dunia ide yang terepresentasikan.<\/p>\n
Pada penilaian mendalam atas seluruh filem terseleksi, mengemuka beragam ekspresi visual dan pendekatan representasional dengan potensi perbincangan politis. Namun, yang nyata-nyata secara mendasar dan langsung memosisikan persoalan itu adalah Grito<\/i> (atau \u201cScream\u201d, karya Andres Denegri, Argentina), The Park<\/i> (Monika Proba, Polandia-Turki), Asier ETA Biok<\/i> (atau \u201cAsier and I\u201d, karya Amaia & Aitor Merino, Spanyol), dan Playing With Fire<\/i> (Anneta Papathanassiou, Yunani). Khusus pada The Park<\/i>, betapa kamera telah menjelmakan kesaksian politik yang lugas dan berani dalam fungsinya sebagai medium aktivisme melalui keterlibatan yang sangat menggetarkan ke dalam salah satu dari \u201crevolusi-revolusi\u201d Timur Tengah yang tertunda di Turki dengan penyuntingan yang juga bersifat politis. Berbeda dalam gaya pengucapan, gagasan aktivisme Asier and I<\/i> bermain dengan diksi sinikal atas politik sambil tidak menggunakan sepotong footage<\/i> historis pun. Namun, filem ini justru mengingatkan kita akan sejarah diskriminatif atas warga-bangsa Basque lewat skena-skena kecil pemetaan sejarah Basque di atas kertas oleh subjek penutur atau pada skema di atas tanah oleh protagonis.<\/p>\n
Beberapa filem lain dengan tipikal serupa, namun lebih tertuju pada politik identitas, yaitu Tabato<\/i> (Joao Viana, Portugal), Broken Tongue <\/i>(Monica Saviron, Amerika Serikat), dan Ioann & Marfa<\/i> (Nikolay Volkov, Russia). Melalui kerangka gagasan itu, terbersit upaya kuat untuk merekonstruksi jejak keagungan silam tanah asal, mengacu proyeksi besar identitas sebuah negeri, bangsa, dan ras. Agaknya, persinggungan dengan sejumlah momen perubahan sosial-politik di banyak negara mencerminkan suatu urgensi atas pertanyaan klasik bagaimana seni bisa selalu aktual dengan persoalan hari ini. Pendekatan ini, pada hakikatnya, adalah konteks untuk mengedepankan wacana kritis atas sejarah kelam, utamanya dari rezim opresif totalitarian. Dalam konsep itu, kita membaca kembali soal ingatan kolektif yang dengan keras digaungkan melalui Grito<\/i> untuk mengembalikan ingatan-ingatan akan penindasan rezim politik yang didukung dan dirancang oleh adidaya Amerika Serikat lewat detil biografis personal: gambar tangan tentang Donald Duck dan catatan pribadi dari sebuah buku harian. Melalui pengucapan visual luar-biasa yang menyilangsimpangkan medium, terasa betapa kekerasan itu merasuk tubuh saat sosok penyaksi tayangan seluloid sejarah ingatan itu terpapar bayangan-bayangan proyeksi.<\/p>\n
Sebetulnya, pada sejumlah filem kali ini, problem Sejarah dan Identitas dengan S dan I besar, cukup diimbangi oleh gagasan-gagasan yang berbicara di lingkup lebih kecil dan sadar diri dalam menawarkan suatu konteks politik identitas melalui momen-momen ingatan diaspora dan wacana akan tubuh. Keduanya menyentuh apa yang paling tampak sebagai area yang mengadakan kontak langsung dengan berbagai praktik seputar identitas.<\/p>\n
Pokok atas sosial-politik tetap menonjol pada beberapa filem kendati berfokus menelisik sosok individual, dan ini berkaitan dengan jenis ingatan-ingatan kolektif maupun aspirasi-aspirasi komunal. Filem-filem semisal Into The World<\/i> (Christophe Bisson, Prancis), Bois d\u2019Arcy<\/i> (Mehdi Benallal, Prancis), Diary of Pamplona<\/i> (Gonzalo Egurza, Argentina), dan Grandfather Cortico<\/i> (Ricardo Batalheiro, Portugal) menegaskan perihal konstruk bingkaian dokumenter (i.e.<\/i>, penciptaan naratif dan representasi) yang bergerak dalam kerangka itu. Dapat ditambahkan Lembusura<\/i> (Wregas Bhanuteja, Indonesia), imajinasi dokudrama dari praktik naratif kamera pada publik yang memanfaatkan momen aktual untuk mendekonstruk kepercayaan mitologis masyarakat Jawa lewat teknik bolak-balik fiksi\/realitas. Hampir tipis dengan dokudrama tadi, namun berbeda dalam detil-detil fokusnya, yaitu Gundah Gundala<\/i> (Wimar Herdanto, Indonesia). Dengan sengaja menjadi janggal, filem ini telah mengungkai ingatan kolektif dari satu budaya populer tanpa menyediakan informasi dalam bentuk apa pun. Menyimpangkan fiksi komik, muncul pembalikan pemaknaan bahwa bukan naratif (akan) ingatan kolektif, melainkan ingatan kolektif (akan) naratif lah yang bekerja sebagai konten dokumenter yang mereka ulang salah satu ekspresi sub-kultur lokal beberapa dekade silam.<\/p>\n
Di samping konteks luaran, beberapa filem menginternalisasi kontennya lewat eksplorasi medium sebagai pengucapan estetik atau merupakan campuran keduanya, yaitu kecenderungan visual dan beragam konteks luaran. Secara khusus, Lua<\/i> (atau \u201cMoon\u201d karya Miguel Marino, Spanyol) yang mengandalkan representasi pada eksperimentasi medium, sekaligus mendedah persepsi dokumenter akan hakikat objektifitas dan subjektifitas kenyataan. Imaji bulan di situ bukan merupakan bidikan terhadap<\/i> salah satu planet di angkasa raya, melainkan suatu representasi tentang<\/i> bulan menurut persepsi seniman seiring pendekatan konkretnya terhadap materi fisik medium (seluloid) itu sendiri. Subjektifitas seniman adalah aspek penting, bahkan bisa yang terpenting, dalam kaitannya dengan eksperimentasi teknis, kegayaan, dan estetik sebagaimana kuat terasakan dalam Renai no Daikyouen<\/i> (atau \u201cBanquet of Love\u201d Haruka Mitani dan Michael Lyons, Jepang). Dengan titik-tolak itu, eksplorasi atas medium pada pencapaiannya yang sangat imajinal dan menggugah di Eight Decades Without Light<\/i> (Gonzalo Egurza, Argentina) telah mendekonstruk berbagai detil dari aspek teknik dan elemen visual yang murni bentuk pada fisik medium, berbaur dengan naratif sepenggal footage<\/i> yang ditemukan kembali setelah delapan puluh tahun terpendam. Momen pengungkapan kembali ini menawarkan kemungkinan representasi estetik sebuah medium dan materi kearsipan untuk memproyeksikan lagi ingatan-ingatan mekanis yang pernah bekerja pada biografi personal dan mungkin sekaligus biografi publik. Refleksi ingatan biografis oleh berbagai pengalaman subjektif maupun kolektif tentang tempat-tempat dan pengasingan personal menjadi tema dasar dalam Diary of Pamplona<\/i> (Gonzalo Egurza, Argentina). Di antara bahasa subjektif itu, boleh disebutkan Today\u2019s Walk\u2014Concrete Aluminum<\/i> (Paul Agusta, Indonesia), satu image<\/i> bidikan tunggal lanskap sebuah kota dalam bentuk yang mengeksperimentasikan sifat-sifat medium dan representasi visual; juga Genre Sub Genre<\/i> (Yosep Anggi Noen, Indonesia) yang melakukan pendekatan serupa melalui tafsir piktogramatik, guna mengungkai biografi kolektif tentang tanah asal suatu masyarakat komunitas.<\/p>\n
Mewacanakan media berikut segenap praktik konvergensinya akan menyertakan peranan publik sebagai pengguna dan penanggap atas beragam konten media yang melibatkan mereka. Lebih jauh, posisi ini juga menyediakan kontrol berupa tindakan swasensor oleh publik sendiri di balik mekanisme sensor yang dioperasikan negara. Media sebagai wacana teknologi sensor, dalam kaitannya dengan politik representasi, tampak dalam Code of Senses\u2026<\/i> (Roser Teresa Gerona-Ribas, Spanyol); dan pada The Shadow of Your Smiles<\/i> (Alexei Dmitriev, Russia) praktik tersebut berlanjut ke ranah hubungan media-sensor-publik dengan memanfaatkan footage<\/i> filem pornografi untuk lebih jauh menggugat representasi dominan yang melakukan kontrol akan batas-batas apa yang boleh diperlihatkan. Pendekatan ini tak ayal menyentuh konflik beragam ranah representasi, mulai dari seni, sosial, politik, hingga media itu sendiri manakala satu representasi tertentu mengundang rasa tak jenak umum. Kita mengetahui bagian-bagian eksplisit dari tabu yang dihapus (dan itu sebabnya, karya ini menunjukkan tafsir sosio-politis seniman atas masalah media dan konten representasi dalam kaitannya dengan sensor medium itu sendiri maupun sensor publik). Sementara itu, publik negara maju, yang bebas dan sadar akan hak-haknya, berani mempertanyakan aktifitas video yang mencoba merekam tanpa persetujuan mereka. Une Histoire Seule<\/i> (atau \u201cOnly The History\u201d karya Aguinaldo Fructuoso, Spanyol), antara lain menyinggung soal praktik kamera di ranah publik berikut ekspektasi akan pelarian representasionalnya. Dari situ, kita jumpai sejenis elaborasi intelektual tentang politik representasi dalam makna luasnya melalui pertemuan intim dengan sensor, pencarian, dan kenangan dalam semacam tualang kecil \u2018ulysses\u2019 kamera dan tentu saja, sinema. Kesan pokok mengenai tema atau pendekatan filem-filem semacam itu, ialah pembebasan aspek-aspek representasi naratif, sementara image<\/i>, music<\/i>, dan text<\/i> yang terjalin sebagai keutuhan estetik telah berkembang sebagai \u201cide\u201d ketimbang \u201ccerita\u201d. Demikian halnya signifikansi tematis dalam 5 to 9<\/i> (Ulf Lundin, Swedia), akan menguji sejauh mana teknologi mampu melakukan pertimbangan etis soal praktik representasi dan kehidupan publik.<\/p>\n
Untuk bingkaian dokumenter bertemakan kepublikan yang lebih berpihak ke sejenis realisme sosial, tersua Historias de Balcones<\/i> (atau \u201cBalcony Tales\u201d karya Helle Windel\u00f8v-Lidz\u00e9lius, Denmark), potret konfigurasi sosial penghuni Havana yang amat tergantung pada budaya komunikasi dalam sosialisme arsitektural dari balkon-balkon arkaik di satu sudut kota itu. Juga kemudian Sun Song<\/i> (Joel Wanek, Amerika Serikat), yang mengalun sebagai tembang senyap potret-potret sekilas sosok-sosok warga Afro-Amerika. Menambahkan perbincangan tentang seluruh filem yang lolos seleksi, adalah kenyataan bahwa karya-karya tersebut diproduksi dalam situasi perubahan menyeluruh masyarakat melalui tatanan baru global yang sarat pertarungan ekonomi, strategi politik, aspirasi-aspirasi sosial dan ekspresi-ekspresi budaya, terkait suatu gambaran yang belum mampu menjelaskan hasil akhir pertarungan tersebut dengan masa depan dunia. Adalah suatu alasan yang logis bila filem-filem seperti Gli Immacolati<\/i> (atau \u201cThe Immaculates\u201d karya Ronny Trocker, Prancis) bersama Post Scriptum<\/i> (Santiago Perres, Spanyol) dan Uyuni <\/i>(Andres Denegri, Argentina), dengan caranya sendiri-sendiri, menyampaikan wacana kaotik sebagai distopia dunia hari ini dengan mengekplorasi bermacam ekperimentasi naratif dan visual, baik melalui alegori hororisme maupun alusi fiksi ilmiah. Keduanya seperti sama-sama meyakini dunia kelam mendatang saat ini dengan menyisakan pertanyaan mengganggu tentang hubungan representasi media dalam praktik estetik dengan dunia nyata kita sehari-hari. ***[\/vc_column_text][\/vc_column][vc_column width=”1\/2″][vc_column_text css=”.vc_custom_1532712209470{margin-bottom: 0px !important;}”]\n
To make sure that 29 films selected \u2013out of 320 entries\u2014having an equal chance to be the best in four award categories at ARKIPEL Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2014, certainly involves personal investments and a certain degree of subjectivity from the selection team. Although personal opinions have pointed to certain important value of a film, the diversity of opinions inevitably indicates a certain taste from each team member in favor of certain film to pass the selection. The selection itself is conducted through various considerations: image<\/i>, music<\/i>, and text<\/i>. We take these from Roland Barthes\u2019s \u201cImage-Music-Text\u201d which proposes an argument for validity of systems of content. Then, we formalize a set of guidelines and criteria based on our understanding, assumption, stance, choice, and our empirical appreciation \u2014in other words, the definitely subjective visual and cinematic experiences of the selection team members. We define and use the words image<\/i>, music<\/i>, and text as <\/i>technical as well as aesthetic terms.<\/span><\/p>\n While a friend rightly points out that these terms did not come from Barthes himself but of his editor, we found that these terms can be used and elaborated productively. These terms can become a key reference, a set of guidelines to select the films. We don\u2019t pretend that we are not compelled by the \u2018coolness\u2019 of this diction. Its classiness and elegance makes these three words sound like a magical spell for cinema itself. A spell that can set certain criteria, a spell that can guard the selection committee from falling into a mere subjective judgment. In many cases, taste plays a dominant role in the evaluation yet explanations are needed so that taste ethically and justly guides us to evaluate the merit of the films and to select it for the festival.\u00a0<\/span><\/p>\n Basic principles that we embrace are that in a good cinematic work, the image<\/i>–music<\/i>–text<\/i>, in its entirety construct a solid and sound whole, with each aspect playing its role, conveying a message that the film wishes to deliver. Image<\/i>–music<\/i>–text<\/i> by itself or together work and open up a potential for various readings, various possibilities of meanings. Music and text for instance, can create a set of different understandings and readings of the image and vice versa.\u00a0 In other words, the three aspects are interdependent and complementary because all of them are equally intertwined. All of them are crucial in the technical delivery of cinematic\/visual works. All of them are important in determining the value and content of the film.\u00a0<\/span><\/p>\n Image<\/i> is not understood merely as a set of pictures, moving in a succession from one particular cinematic representation, but also an entire visualization strategy which makes it possible for the film to express an idea or meaning to us. This includes a representation which does not display any image whatsoever, but in principle reflects a certain quality that participates in creating a meaning from each film. A black out<\/i>, for instance, is also a way of being of a certain cinematic element\u2014or simply, a way of telling. Therefore it is a filmic language as well. The same goes with intertitles<\/i> and subtitles <\/i>(e.g. for films whose original language is not English) which by virtue of its placement, can function as a picture or image<\/i> as well (The best example here is the work of Gonzalo Egurza, Diary of Pamplona<\/i>). Image<\/i>, music<\/i>, and text<\/i> are entirely represented in time, and in terms of technical form in moving image, they are represented in duration. Here an image is able to surpass the limit of duration and subsequently to codify the cinematic time as conceptual ideas that presuppose the more eternal sense.<\/span><\/p>\n In regard to music<\/i>, <\/i>an image <\/i>can also convey an idea about rhythm particularly during the editing process. In regard to text, an image tends to create a message or a context, instead of a mere beauty or artistic sophistication. Music is not limited to a melody of vocal and instrument that accompanies a set of pictures, but also filmic audibility. Even, the silence, which in cinematic works is often presented by counting the tempo in the editing process, is a sound. It creates an emotion. A loudest scream that might not be heard may echo a sentiment, may hit our deepest feeling. A cinematic work accomplishes its goal by considering these technical-aesthetic aspects. The same thing goes with text<\/i>, which is frequently viewed as a narrative coherence among different elements (dialogue, narration, intertitles, subtitles, sequence flows). Text is part of filmic strategy of telling. \u00a0<\/span><\/p>\n In short, we can summarize the binary unit \u201cimage\/visual<\/i>, music\/sound<\/i>, and text\/context<\/i>\u201d. Thus, in principle the image, music, and text operate to determine the meaning (or content), which plays a role in producing the overall message through the cohesion of their respective aspects, which fundamentally are the aesthetic integrity of film.<\/span><\/p>\n Our general consideration for some of the 29 selected films \u2014as well as for majority of all films received by ARKIPEL\u2014 confirmed the raw fact of utilization of various media, especially such old materials\u00a0 (footages, photos, sound recordings, etc.) from archive (private or institutional) or memorabilia collection, which use as complementary if not as primary source of documentary itself. With a set of photographic documents from the past, the film Alles Was Irgendwie Nutzt<\/i> (or \u201cAll What is Somehow Useful\u201d, Pim Zwier, The Netherlands) reflects on a history of animal testing to a personal meditation on the same method applied to humans.\u00a0 Emak Bakia Baita <\/i>(or \u201cThe Search For Emak Bakia\u201d, Oskar Alegria, Spain) presents a unique cinematic case of a search of original location of Man Ray\u2019s films into the interwovenness of inter-text between the avant-garde<\/i>\u2019s and a number of documentary scenes, in order to construct the \u2018searching\u2019 sequences. Meanwhile, the specific impression that we got from all selected films suggests a vision of time (both the past and the present together with their crisscrosses and intersections) which get beyond the limit of its raw material through the further elaboration of informational data, exploring and experimenting the technique of the medium. Personal performance to communicate the awareness of aesthetic desires and the knowledge of technical will is very important \u2014it suggest that The Auteur is not dead at all\u2014 because it implicates significantly the exisxtence of magical power, such an unspeakable spirit which compexly emerged on what we constitute as an art work \u2014in this regard, film. It pragmatically offers a logical rationale as well:\u00a0 why we still and will watch cinematic works in which we encounter a represented ideological realm, whithin the scope of documentary and experimental films in this ARKIPEL.<\/span><\/p>\n When it comes to the evaluation of all selected films, we notice various visual expressions and representational approaches with a potential for political conversations. However, the films that consciously position themselves in that matter in a direct manner are Grito<\/i> (or \u201cScream\u201d, Andres Denegri, Argentina), The Park<\/i> (Monika Proba, Poland-Turkey), Asier ETA Biok <\/i>(or \u201cAsier and I\u201d, Amaia & Aitor Merino, Spain), and Playing With Fire<\/i> (Anneta Papathanassiou, Greece). In The Park<\/i> especially, we can see how the camera personifies a political witness, being straightforward and bold in its function as a medium for activism through its thrilling engagement in one of the suspended Middle East \u201crevolutions\u201d in Turkey and its politically-driven editing. Different in its storytelling method, the activism idea of Asier and I <\/i>plays with a cynical diction of politics by not using any historical footage at all. Yet, the film reminds us the history of discrimination of Basque through narrator\/protagonist\u2019s little scenes of mapping the history of Basque on paper and on the ground.<\/span><\/p>\n Some other films with a similar type, but more directed towards politics of identity are Tabato<\/i> (Joao Viana, Portugal), Broken Tongue <\/i>(Monica Saviron, United States) and Ioann & Marfa<\/i> (Nikolay Volkov, Russia). Through this framework, there emerges a strong attempt to reconstruct the past glory of the original land. It refers to a grand identity project of one nation, country, and race. It seems that an intersection of a number of moments of socio-political changes in many countries reflects an urgency of a classical question, namely arts can be relevant in our today\u2019s moment. This approach essentially is an attempt to bring a critical discourse on dark history, especially from those of oppressive totalitarian regimes. We can reread a collective memory issue which is echoed loudly through Grito<\/i>. The film refreshes our memories of a repression by a political regime which is supported and designed by the superpower United States of America through personal biographical details: the image of Donald Duck\u2019s hand and personal notes from a diary. Through a remarkable visual expression which intercrosses the medium, we can feel how the violence penetrates the body when the audiences exposed to projection\u2019s radiance of history of memories from the celluloid screen.<\/span><\/p>\n Actually, in some films, the problem of History and Identity with capital H and I is offset by ideas that discuss in a smaller scope and more humble in offering a context for politics of identity through memories of diaspora and discourses of the body. Both touch what is seemingly space that provides a direct contact with various practices surrounding identity.<\/span><\/p>\n The core of socio-politics are still prominent in some films even though focusing on individual figures. This kind of films still attempt to address collective memories or communal aspirations. Films such as Into The World<\/i> (Christophe Bisson, France), Bois d\u2019Arcy<\/i> (Mehdi Benallal, France), Diary of Pamplona<\/i> (Gonzalo Egurza, Argentina), and Grandfather Cortico<\/i> (Ricardo Batalheiro, Portugal) confirm the matter of the construction of documentary frames. We can engage the Lembusura<\/i> (Wregas Bhanuteja, Indonesia), an imagination of docudrama of camera\u2019s narrative practice on public, which exploits the actual moment to deconstruct the mythological beliefs of Javanese society using the technique of reciprocal relationship of fiction-reality. Almost similar with Lembusura<\/i>\u2019s docudrama, but different in its focus, is Gundah Gundala <\/i>(Wimar Herdanto, Indonesia). Deliberately being \u2018weird\u2019, the film unfolds a collective memory of a popular culture without providing any form of information. It bends the fiction of comics so that an inversion of meaning then appear: it is not a narrative (of) collective memory but a collective memory (of) narrative that works as a content of the documentary, which reconstructs one of local subculture expression a couple decades ago.<\/span><\/p>\n In addition to their external context, some films have internalized its content through medium exploration as an aesthetic expression, or as a mix of both ( visual tendency and various external contexts). In particular, Lua<\/i> (or \u201cMoon<\/i>,\u201d Miguel Morino, Spain), which relies its representation on medium experimentation, at the same time exposes a documentary perception on the nature of objectivity and subjectivity of reality. The image of the moon within the film is not a shot of celestial object in the universe but a representation about moon according to the artist\u2019s perception along with his concrete approach on the physical material of the (celluloid) medium itself. The subjectivity of the artist is an important aspect, and even the most important, in relation to technical experimentations, styles, and aesthetics as strongly felt in Renai no Daikyouen<\/i> (or \u201cBanquet of Love,\u201d Haruka Mitani and Michael Lyons, Japan).\u00a0 With that point of departure, the exploration of medium with its achievement in imaginal and evocative Eight Decades Without Light<\/i> (Gonzalo Egurza, Argentina) has deconstructed various details of every technical aspects and visual elements which are purely a form on the physic of medium, blended with the narrative of rediscovered footage that has been eighty years hidden. This moment of revealing offers a possibility of aesthetic representation of a medium and archival material to once more project mechanical memories which have worked on personal biography and perhaps public biography as well. The reflection of biographical memory from various subjective or collective experiences about places and personal alienation become the basic theme in Diary of Pamplona<\/i> (Gonzalo Egurza, Argentina). Among those subjective languages, it is worth to mention Today\u2019s Walk\u2013Concrete Aluminum<\/i> (Paul Agusta, Indonesia), a single shot image of a town landscape in the form that experiments of the nature of medium and visual representation; also Genre Sub Genre<\/i> (Yosep Anggi Noen, Indonesia) which has a similar approach through pictogramatic<\/i> interpretation to unfold collective biography of an origin of a community.\u00a0<\/span><\/p>\n To bring media and its convergence into critical conversations requires public\u2019s roles as users and responder of various media contents in which they engage. Moreover, this position also provides a space of control in the form of self-censorship beyond the mechanism of censorship that is operated by the state. Media as a discourse of censorship technology, in relation to political representations, appear in Codes of Senses\u2026<\/i> (Rrose Present, Spain); and in The Shadow of Your Smiles<\/i> (Alexei Dmitriev, Russia) where the practice continues to the domain of media-censorship-public using footage from pornographic films to further criticize the dominant representation which controls what is allowed to be shown. This approach inevitably touches various conflicts in the domain of representations, from arts, social, politics, to the media itself whenever certain representation has invited the feeling of general discomfort. We can see explicit parts from erased taboos (and that is why, this work shows an interpretation of the artist\u2019s socio-political stance on media issues and the content of representation in relation with the censorship of the medium itself or the censorship of the public). Meanwhile, publics in the developed countries who are free and aware of their rights, critically ask any video recording activity that tries to record without their consent. Une Histoire Seule<\/i> (or \u201cOnly The History,\u201d Aguinaldo Fructuoso, Spain), inter alia, touches upon the practice of public recording and expectation of its representational escape. From there, we see a sort of intellectual elaboration about politics of representation in its broader sense through an intimate encounter with censorship, search, and memory, in some kind of \u2018Ulysses\u2019 little odyssey of camera and, of course, cinema. The core impression regarding theme or approach of such films is the liberation of the narrative\u2019s representational aspects, while image, music, <\/i>and text <\/i>which are intertwined as an aesthetic wholeness have evolved as an \u201cidea\u201d rather than a\u201cstory\u201d. Similarly, the thematic significance in 5 to 9<\/i> (Ulf Lundin, Sweden) will test the technology\u2019s capabilities to do an ethical consideration regarding the practices of representation and public life.\u00a0<\/span><\/p>\n For the documentary frames whose theme is public[ity] and which is more aligned to such a social realism\u2019s style, we have Historias de Balcones (or \u201cBalcony Tales\u201d, Helle Windel\u00f8v-Lidz\u00e9lius, Denmark). It is a portrayal of social configuration of Havana dwellers which are so dependent on the culture of communication in architectural socialism from archaic balconies in one corner of the town. Also then Sun Song<\/i> (Joel Wanek, United States) that swings as a silent song of the flash portraits of Afro-American citizens. In addition, all selected films, in fact, are produced in the situation of radical transformation of the global new order that is full of contests over political and economic interests, social aspirations and cultural expressions. Some depictions are yet to be able to explain the outcome of these contestations in the future. It would be a logical motive if films, such as Gli Immacolati<\/i> (or \u201cThe Immaculates\u201d, Ronny Trocker, France) together with Post Scriptum<\/i> (Santiago Parres, Spain) and Uyuni<\/i> (Andres Denegri, Argentina), have their own ways to deliver the chaotic discourses of the world\u2019s dystopia today by exploring various visual and narrative experimentations, either through an allegory of horrorism and allusion of science fiction. They all equally believe in the bleak future of this day by leaving some disturbing questions about the relationship between media representation in aesthetic practices and our everyday life. ***<\/span><\/p>\n[\/vc_column_text][\/vc_column][\/vc_row]\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":" [vc_row][vc_column width=”1\/2″][vc_column_text css=”.vc_custom_1532712185468{margin-bottom: 0px !important;}”]Memastikan 29 filem terseleksi \u2014dari seluruh 320 yang masuk\u2014 untuk berpeluang sebagai terbaik dalam empat kategori penghargaan ARKIPEL Electoral Risk \u2013 Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival 2014, jelas turut terlibat pandangan pribadi lima kepala dari tim penyeleksi. Kendati pandangan pribadi menunjukkan berbagai poin penting nilai sebuah filem, keragaman kepala-kepala […]<\/p>\n","protected":false},"author":79,"featured_media":0,"comment_status":"open","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"_jetpack_memberships_contains_paid_content":false,"footnotes":"","jetpack_publicize_message":"","jetpack_publicize_feature_enabled":true,"jetpack_social_post_already_shared":true,"jetpack_social_options":{"image_generator_settings":{"template":"highway","enabled":false},"version":2}},"categories":[362,344],"tags":[165,173],"class_list":["post-7998","post","type-post","status-publish","format-standard","hentry","category-festival-theme-arkipel-2014-electoral-risk","category-international-competition-program","tag-arkipel","tag-electoral-risk"],"jetpack_publicize_connections":[],"yoast_head":"\n