{"id":8783,"date":"2018-08-12T14:25:36","date_gmt":"2018-08-12T07:25:36","guid":{"rendered":"http:\/\/arkipel.org\/?p=8783"},"modified":"2018-08-12T14:25:36","modified_gmt":"2018-08-12T07:25:36","slug":"playing-with-arkipel-homoludens","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/arkipel.org\/playing-with-arkipel-homoludens\/","title":{"rendered":"Playing with ARKIPEL: homoludens"},"content":{"rendered":"
Forum Lenteng kembali menggelar ARKIPEL homoludens<\/em> \u2013 6th<\/sup> Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2018. Diproyeksikan sebagai medium pengembaraan konteks sosial, politik, ekonomi hingga budaya global melalui sinema, festival filem dokumenter dan eksperimental ini kembali mengambil tema yang unik dan kontekstual untuk tahun ini. Di tahun keenamnya, ARKIPEL mengambil tema homoludens<\/em>, yang diambil dari kata Homo Ludens <\/em>yang secara harfiah bemakna sebagai \u201cmanusia yang bermain\u201d.\u00a0 Hal ini disampaikan oleh Yuki Aditya, selaku Direktur Festival ARKIPEL, dalam konferensi pers yang diselenggarakan pada Kamis, 09 Agustus 2018 dan bertempat di GoetheHaus, Goethe-Institut Jakarta, Jakarta Pusat. Konferensi pers tersebut juga dihadiri oleh 6 rekan media, seperti Infoscreening, Locker Radio, Whiteboard Journal, Globe Asia, Gatra dan Jakarta Globe.<\/p>\n Dalam konferensi pers tersebut, Yuki juga ditemani oleh Hafiz Rancajale (Direktur Artistik ARKIPEL) dan Anggraeni Widhiasih (salah satu Kurator Program Chandrawala ARKIPEL). Tema homoludens<\/em> terinspirasi dari buku seorang akademisi dari Belanda yang bernama Johan Huizinga (1938), yang juga berjudul Homo Ludens.<\/em><\/p>\n \u201cDari makna \u201cmanusia yang bermain\u201d, kami mengambil makna \u201cbermain\u201d dalam konteks bereksperimentasi, mencoba atau bermain-main melalui penyampaian bahasa visual atau narasinya.\u201d jelas Yuki lebih lanjut terkait tema tahun ini. Sinema sebagai medium ekspresi menjadi bagian dari permainan maupun eksperimentasi yang paling manusiawi dan hakiki. Tema tahun ini juga sedikit banyak dimaksudkan sebagai bentuk refleksi terhadap kompetisi Asian Games yang akan berlangsung di Indonesia, bulan Agustus hingga September tahun ini. Hafiz memaknai Asian Games sebagai momentum langka yang sangat bisa dieksplorasi dari segi ketubuhan, kompetisi, dan unsur bermain di dalam pertandingan.<\/p>\n Tahun ini, ARKIPEL menerima sekitar 1.422 filem melalui submisi terbuka yang telah dilaksanakan oleh Forum Lenteng selama dua setengah bulan, sejak Februari hingga April tahun ini. Telah terpilih 21 filem dari 14 negara yang akan ditayangkan dalam program Kompetisi Inernasional. Untuk program unggulan tahun ini, ARKIPEL mengundang Kidlat Tahimik, seorang seniman dan sutradara penting filem eksperimental dari Filipina yang telah mengukuhkan eksistensinya sebagai seniman dalam skala Asia Tenggara dan global. Kidlat akan mengisi program khusus yang berjudul Focus on Kidlat Tahimik<\/em>, yang akan menampilkan dan mendiskusikan filem-filem hasil karyanya, seperti The Perfumed Nightmare<\/em>. Narasi tentang lokalitas yang dapat dipahami dalam konteks global menjadi gaya penceritaan Kidlat yang jenaka dan subversif terhadap modernitas. Kehadiran karya-karya Kidlat dalam ARKIPEL juga menjadi semacam pengingat bahwa untuk bisa mengglobal, tak melulu soal validasi atau keterlibatan dari festival-festival filem yang berkiblat di Eropa dan lainnya. Indonesia sendiri, bagi Hafiz, sudah memiliki cita rasa internasional yang kuat dalam eksplorasi karya maupun ragam isu yang ada. \u201cMenghadirkan Kidlat adalah statement <\/em>bahwa upaya mengglobal tak perlu jauh-jauh untuk pergi ke sana [ke festival-festival filem internasional lainnya].\u201d tandas Hafiz.<\/p>\n ARKIPEL tahun ini juga kembali menghadirkan program-program kurasi yang akan menampilkan sederet karya filem dari sutradara lokal dan internasional, seperti dalam program penayangan khusus filem Harun Farocki dari Jerman, Takashi Makino dari Jepang, Candrawala, Canadian Experimental Film, Austria Experimental Film, Iranian Experimental Film, British Experimental Film dan Indian Experimental Film. Yang juga tak kalah menarik, masih ada pemutaran filem dari para anggota dari Milisifilem, program belajar produksi filem yang diinisiasi oleh Forum Lenteng. Program pameran yang selalu setia mengisi jajaran program ARKIPEL, Kultursinema, juga kembali hadir di tahun ini dan akan dikuratori oleh Mahardhika Yudha. Yuki menjelaskan bahwa pameran Kultursinema tahun ini juga merespon fenomena Asian Games 2018 dengan menayangkan arsip perhelatan olahraga besar di Asia pada tahun 1960-an, yaitu Asian Games (1962) dan GANEFO (Games of the New Emerging Forces, 1963). Terdapat pula simposium dalam bentuk forum-forum diskusi yang mengangkat tema seputar homoludens<\/em>.<\/p>\n Forum Lenteng melalui ARKIPEL juga menyadari pentingnya upaya berjejaring dengan komunitas dan lembaga-lembaga yang bisa diajak berkolaborasi dalam upaya pembacaan narasi sinema yang beragam secara global. Namun di sisi lain, menjadi sebuah urgensi pula untuk membaca dan mengarsipkan peta sinema Indonesia.<\/p>\n Sebagai kurator dari program Candrawala, Anggraeni memang lebih banyak membahas tentang program kuratorial yang akan menampilkan 6 filem lokal ini. Program yang telah berjalan selama 3 tahun ini diharapkan mampu untuk menjadi upaya pembacaan situasi lanskap perfileman Indonesia. Kemajuan teknologi yang semakin pesat dan eksistensi generasi digital dewasa ini tentunya mempengaruhi banyak aspek dari proses penciptaan karya filem, mulai dari logika berpikir, medium produksi filem yang digunakan hingga gaya ungkap yang ditawarkan. Filem menjadi lekat dengan konsep berbagi; mulai dari berbagi pengalaman hingga narasi. Kegiatan menonton dan ditonton menjadi keseharian yang lumrah dalam masyarakat kita. Anggraeni mengakui bahwa karya-karya yang ada memang belum sepenuhnya mencapai titik puncaknya. Namun, upaya eksplorasi dari setiap karya yang ada sudah mulai terlihat dari gaya tuturnya.<\/p>\n Selanjutnya, sesi tanya jawab pun dimulai. Panji dari Infoscreening menanyakan soal kemampuan Candrawala dalam membaca lanskap sinema Indonesia yang dinilainya terlalu berat dan tidak representatif. Hafiz mengatakan bahwa memang tidak mungkin untuk menjadikan standar ARKIPEL sebagai standar yang mewakili bahasa sinema Indonesia termutakhir. Upaya seleksi dan pembingkaian isu tetap harus dilakukan agar kontekstual. Yang terpenting adalah proses pembacaan sinema memang tidak bisa berhenti hanya di satu titik saja, namun harus selalu berkelanjutan dan hal ini sudah dimulai serta sedang berlangsung di ARKIPEL melalui program Candrawala. Winona dari Whiteboard Journal menyinggung soal peran ARKIPEL dalam lanskap sinema eksperimental Asia Tenggara maupun global. Yuki mengatakan bahwa ARKIPEL bisa dikatakan sebagai salah satu festival filem dokumenter dan eksperimental yang paling lengkap dari segi konten. Keterlibatan banyak partisipan dari kancah internasional juga program yang ragam mulai dari penanyangan, diskusi hingga pameran menjadi gambaran eksistensi ARKIPEL dalam skala global.<\/p>\n Playing with ARKIPEL: homoludens<\/span><\/p>\n Forum Lenteng returns with ARKIPEL homoludens<\/em> – 6th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2018. Projected to be the medium for exploration of the social, political, economic and global contexts through cinema, this documentary and experimental film festival again takes on a unique and contextual theme for this year. In its sixth year, ARKIPEL took the theme of homoludens<\/em>, which was taken from the word Homo Ludens<\/em> which roughly translates to “the playing human”. This was stated by Yuki Aditya, as the Director of ARKIPEL Festival, in a press conference held on Thursday, August 9, 2018 at GoetheHaus, Goethe-Institut Jakarta, Central Jakarta. The press conference was also attended by 6 media partners, namely Infoscreening, Radio Locker, Whiteboard Journal, Globe Asia, Gatra and Jakarta Globe.<\/span><\/p>\n During the press conference, Yuki was also accompanied by Hafiz Rancajale (Artistic Director of ARKIPEL) and Anggraeni Widhiasih (one of the Curators of Chandrawala ARKIPEL Program). The theme of homoludens<\/em> was inspired by the book of an academic from the Netherlands named Johan Huizinga (1938), also titled Homo Ludens<\/em>.<\/span><\/p>\n “Based on this notion of \u201cthe playing human\u201d, we took the word \u201cplay\u201d in the context of experimenting, attempting or playing through the delivery of visual language or narratives,” said Yuki to elaborate on this year\u2019s theme. Cinema as a medium of expression becomes part of the most humane and essential aspects of game and experimentation. This year’s theme is also intended as a form of reflection on the Asian Games competition that will take place in Indonesia, from August to September of this year. Hafiz interpreted the Asian Games as a rare momentum that could be explored in terms of bodybuilding, competition, and the playing elements in matches.<\/span><\/p>\n This year, ARKIPEL received around 1,422 films through an open submission by Forum Lenteng for two and a half months, from February to April of this year. 21 films from 14 countries have been selected and will be screened in the International Competition program. For this year’s highlighted program, ARKIPEL invited Kidlat Tahimik, a prominent artist and director of experimental films from the Philippines who has established himself as a leading artist in South East Asia and globally. Kidlat will host a special program entitled Focus on Kidlat Tahimik, which will present and discuss his films, such as The Perfumed Nightmare<\/em>. Narratives on the locality that can be understood in a global context have become Kidlat’s humorous and subversive style of telling modernity. The presence of Kidlat’s works in ARKIPEL is also a kind of reminder that to be relevant at the global level, it is not only a matter of validation or involvement of European oriented film festivals and other similar things. For Hafiz, Indonesia already has a robust international taste in the exploration of works and various issues. “Presenting Kidlat is a statement that the efforts to globalise do not need to go far away [to other international film festivals]” said Hafiz.<\/span><\/p>\n This year ARKIPEL also returns with curatorial programs that will feature a series of film works from international and local directors, such as the special screening program of films from Harun Farocki from Germany, Takashi Makino from Japan, Candrawala, Canadian Experimental Film, Austria Experimental Film, Iranian Experimental Film, British Experimental Film and India Experimental Film. In addition, there is also film screening from members of Milisifilem, film production learning platform initiated by Forum Lenteng. The exhibition program, which has been a constant part of ARKIPEL program, Kultursinema, is also returning this year and will be curated by Mahardhika Yudha. Yuki explained that this year’s Kultursinema exhibition is also related to the 2018 Asian Games phenomenon where it will present the archives of major sports events in Asia in the 1960s, namely the Asian Games (1962) and GANEFO (Games of the New Emerging Forces, 1963). There is also a symposium in the form of discussion forum which raised the theme concerning homoludens<\/em>.<\/span><\/p>\n Forum Lenteng through ARKIPEL also realises the importance of networking with communities and institutions that can be invited to collaborate in the reading of globally diverse cinema narrative. But on the other hand, there is also a necessity to read and archive the map of Indonesian cinema.<\/span><\/p>\n As the curator of Candrawala program, Anggraeni discusses more the curatorial program which will feature six local films. The program that has been running for three years is expected to be an effort to read the situation of Indonesian film landscape. Today\u2019s increasingly rapid technological advance and the existence of digital generation certainly affects many aspects of film-making, from the logic of thinking, the film production medium being employed, and also the style of expression being offered. Films have become attached to the concept of sharing; ranging from sharing experiences to narratives. Watching and being watched have become the something pervasive in our society. Anggraeni acknowledged that the works have not yet arrived at its culmination point. However, the attempt to explore in the way of telling in these existing works already showed this tendency.<\/span><\/p>\n Then, the question and answer session began. Panji from Infoscreening asked about Candrawala’s ability to read Indonesian cinema landscape which he considers too heavy and unrepresentative. Hafiz said that it was indeed impossible to make the ARKIPEL standard as a standard that represents the latest Indonesian cinema language. Efforts to select and frame issues must be done contextually. The most important thing is that the cinema reading process cannot stop at just one point, as it must be done continuously and this has already begun and is ongoing at ARKIPEL through the program of Candrawala. Winona from the Whiteboard Journal touched on the role of ARKIPEL in the Southeast Asian and global experimental cinema landscape. Yuki said that ARKIPEL could be said to be one of the most comprehensive documentary and experimental film festivals, in terms of content. The involvement of many participants from the international arena as well as a variety of programs ranging from writing, discussion to exhibitions is evidence of the existence of ARKIPEL on a global scale.<\/span><\/p>\n***<\/h4>\n