ARKIPEL
Jakarta
Documentary
&
Experimental
Film Festival
2024

Garden
of
Earthly
Delights

“Society of the spectacle”, a verdict that thinkers have been pronouncing since capitalism exploited the development of media technology, seems to have reached its saturation point these days. The sight, considered the primary receptor in Western knowledge production and technological innovation, is challenged to absorb a multitude of information in milliseconds. Landscape-object-human: real, mediated or artificial, in a wide spectrum, compete for human reflection and empathy. The speed of visual stimuli is increasingly regulated by algorithmic enclaves owned by media conglomerates that can block them if they do not suit their interests. The power of the frame claimed by the bodies on site must compete with the aggregate power of media patterns and their gatekeepers for being heard and trigger the momentum of a collective movement.

 

It is this bodily mediated experience that yearns for encounters with other affective bodies that triggers other languages and strategies. The sensory turn to counter the linguistic turn, which claims the phenomena of life as signs that can be “read”, emerged in intellectual debates. “I sense therefore I am,” said David Le Breton. Before concepts are formed, the human body already perceives the world through its senses, forming the basis of human experience that is inseparable from the processes of thinking and memory. The body and the world come together through sensory experience, forming an inseparable unity between the senses and the surroundings. Within the sensory matrix, meanings about the world are formed. Rational logic with standardized measures can coexist with the logic of the senses relating to bodily experiences and feelings, presupposing open-ended and affective measurement. The confluence of various sensations of temperature change (climate and weather, or people gathering), sound (rhythmic, melodic, atmospheric or cries of protest), smell-taste-touch from the interaction of human and non-human agents, conditions another entry point for us to make sense of our reality and then plan agenda ahead.

 

The noun “garden”, and the phrase “earthly delights”, invite us to imagine a massive attack on the sensory apparatus. We borrow the tentative title of Hieronymus Bosch’s phenomenal and subversive 15th-century work, which presents vulgar and enigmatic visual codes. We draw the relevance of Bosch’s sensual interpretation of the Western canon (the Bible) to modes of sensual experimentation in the “peripheral” realm. An examination of local wisdom, Javanese for example, which equally suggests the management of pleasure receptors such as babahan hawa songo (nine orifices of lust), and sharpens them with the knowledge of katon (deep observation) and titen (prediction), and then goes beyond, also finds its actualization in the material world and its performativity in rituals, social events, and artifacts. An all-night wayang performance, for example, with its combination of natural-music sounds, ritualistic aromas, the presence of non-human agents and food and drink from local produce completes the sensory assault on the audience’s bodily experience. If the cinematic experience of an all-night wayang is considered a mode of thinking, predating Lumiere’s Cinematograph device, then it can include the active engagement of all human senses in the durational situation of the event.

 

In its eleventh edition, the challenge of ARKIPEL is no longer just navigating the discourse of form development and how global issues mutate in the aesthetic experimentation of documentary and experimental cinema. We have reached the point of contemplating how cinema, in its current phase, can offer filmmaker-film-audience encounters to unravel the deepest layers of multisensory stimuli (visual, auditory, taste and smell, haptic/touch, and others), and the memories that emerge from them that are all related to the reality of location, and undoubtedly political. The embodied and poetic knowledge of the filmmakers holds a unique offer in seeing reality, both in its location, and in the world. For this reason, this year’s ARKIPEL offers various modes of exhibition to see multisensory and durational possibilities in exploring the language of cinema, global issues, and the possibilities of activism that arise from them.

“Masyarakat spektakel”, sebuah vonis yang disematkan para pemikir, sejak kapitalisme mengutilisasi perkembangan teknologi media, bagai menemui titik jenuhnya hari-hari ini. Indera lihat, yang dianggap sebagai reseptor utama dalam produksi pengetahuan dan inovasi teknologis Barat, ditantang untuk menyerap serbaneka informasi dalam hitungan milidetik. Visual lanskap-objek-manusia: riil, termediasi maupun artifisial, dengan spektrum yang luas, berebut daya refleksi dan empati manusia. Kecepatan stimuli visual itu kian diatur oleh kantong-kantong algoritmis yang dimiliki konglomerat media yang dapat memblokirnya jika tidak sesuai dengan kepentingannya. Kuasa bingkai yang diklaim oleh tubuh-tubuh di lokasi harus berkompetisi dengan kuasa besar agregat pola-pola media dan penjaga gerbangnya untuk berbunyi nyaring dan memicu momentum gerakan bersama.

 

Pengalaman termediasi ketubuhan yang mendamba pertemuan-pertemuan dengan tubuh-tubuh afektif lainnya inilah yang memicu bahasa dan strategi lain pula. Belokan inderawi (sensory turn) untuk menandingi belokan linguistik, yang mendaku fenomena kehidupan sebagai tanda-tanda yang dapat “dibaca”, muncul dalam perdebatan intelektual. “Saya mengindera, maka saya ada,” ungkap David Le Breton. Sebelum konsep-konsep terbentuk, tubuh manusia sudah merasakan dunia melalui inderanya, membentuk dasar pengalaman manusia yang tak terpisahkan dari proses berpikir dan memori. Tubuh dan dunia saling bersatu melalui pengalaman keinderaan, membentuk kesatuan tak terputus antara indera dan lingkungan sekitarnya. Dalam matriks keinderaan, makna-makna tentang dunia terbentuk. Logika rasional dengan ukuran-ukuran terstandarisasi dapat bersandingan dengan logika indera yang berkaitan dengan pengalaman ketubuhan dan rasa, mengandaikan pengukuran yang terbuka dan afektif. Pertemuan dari ragam sensasi akan perubahan suhu (iklim dan cuaca, maupun orang berkumpul), bunyi (ritmik, melodius, atmosferik maupun seruan protes), bau-rasa-sentuhan dari interaksi manusia dan agen-agen bukan-manusia, mengondisikan pintu masuk lain untuk kita memaknai realitas kita dan lalu beragenda ke depan.

 

Nomina “kebun”, dan frasa “kenikmatan duniawi”, mengundang kita untuk membayangkan serangan akbar terhadap perangkat inderawi. Meminjam judul tentatif karya fenomenal nan subversif Hieronymus Bosch abad 15, yang menyajikan kode-kode visual yang vulgar dan mengundang teka-teki. Kami menarik relevansi interpretasi sensual Bosch atas kanon Dunia Barat (Injil) kepada moda-moda eksperimentasi sensual dalam ranah “periferal”. Pemeriksaan akan falsafah lokal, Jawa sebagai contoh, yang sama-sama mengemukakan manajemen atas reseptor-reseptor kenikmatan seperti babahan hawa songo (sembilan lubang nafsu), dan mempertajamnya dengan ilmu katon (observasi mendalam) dan titen (prediksi), lalu melampauinya, turut menemukan aktualisasinya dalam dunia materi dan performativitasnya dalam ritual, perhelatan sosial, maupun artefak. Pertunjukan wayang semalam suntuk, sebagai contoh, dengan kombinasi bebunyian alat musik-alam, aroma ritualistik, kehadiran agen-agen non manusia dan makanan-minuman dari hasil bumi setempat melengkapi serangan inderawi pada pengalaman ketubuhan para penonton. Jika pengalaman sinematik wayang semalam suntuk dianggap sebagai moda berpikir, mendahului perangkat Cinematograph-nya Lumiere, maka ia dapat mencakup keterlibatan aktif dari segenap indera manusia-manusia dalam situasi durasional perhelatannya.

 

Pada edisi kesebelasnya, tantangan dari ARKIPEL bukan hanya lagi menavigasikan wacana perkembangan bentuk dan bagaimana isu global bermutasi dalam eksperimentasi estetika sinema dokumenter dan eksperimental. Kami sudah sampai pada titik perenungan bagaimana sinema, dalam fase dewasa ini, dapat menawarkan pertemuan sineas-karya-penonton untuk mengurai lapisan-lapisan terdalam dari stimuli multi-inderawi (visual, auditori, rasa dan bau, haptik/sentuhan, dan lainnya), dan memori yang muncul darinya yang serba-terkait dengan kenyataan lokasi, dan niscaya politis. Pengetahuan yang menubuh nan puitik dari para pembuat filem menyimpan tawaran unik dalam melihat kenyataan, baik di lokasinya, maupun di dunia. Untuk  itu, ARKIPEL tahun ini menawarkan berbagai moda eksebisi untuk melihat kemungkinan-kemungkinan multisensory dan durasional dalam mengeksplorasi bahasa sinema, persoalan global, dan kemungkinan-kemungkinan aktivisme yang muncul darinya.

Contact Us

We're not around right now. But you can send us an email and we'll get back to you, asap.

Not readable? Change text. captcha txt

Start typing and press Enter to search

X