Otty Widasari
Kepala Selektor/Head of Selectors
Kompetisi Internasional ARKIPEL Noli Me Tangere:
33 Film Terpilih
Kenyataan keseharian dunia modern menampakkan tanda-tanda kecemasannya. Setidaknya kalau ia tidak kunjung pernah bisa menetapkan diri sekuat tradisi. Sementara sebaliknya, sistem tradisional jadi tampak menawarkan penyelesaian menarik karena kekokohan akarnya sebagai tradisi. Kecemasan yang paling jelas adalah saat dunia secara cepat bermigrasi ke dalam ruang simulasi algoritmis, namun kehidupan masih memijak pada tanah di mana jejak-jejak rezim dari masa lalu tidak pernah bisa terhapus. Langkah masyarakat dunia terdorong kuat oleh arus modernisme yang digerakkan oleh sistem mesin yang bekerja secara selangkah demi selangkah, dan makin cepat. Sistem tersebut menafsirkan persoalan logika deduktif dalam kehidupan. Pada kenyataannya, kerja mesin tersebut jauh lebih cepat daripada usaha manusia dalam penyelesaian luka di masa lalu. ‘Si mesin’, belajar dengan cepat untuk mengklasifikasi kategori-kategori representasi dari “apa yang ada”, membaca dan menalar pola bahasa manusia, hingga penerimaan sensori manusia, lalu mendemonstrasikan kecerdasan sosial, hingga kecerdasan umum yang dimiliki manusia.
Di samping itu, para pembuat film yang masih sangat percaya pada kerja mesin montase konvensional, bersikukuh untuk berbagi lihatan tentang apa yang menurut mereka perlu dilihat. Mereka melakukan semua proses kerja yang berpusat pada dirinya sebagai manusia: melihat fenomena “apa yang ada” dan “apa yang terjadi” di dunia, memahami pola peristiwa-peristiwa, menalar probabilitas, dan mendemonstrasikannya sebagai sinema. Hubungan antara kinerja manusia dan mesin montase konvensional ini cukup bertahan lama sebagai sebuah tradisi, tradisi sinema, karena karakter humanisnya, demikian setidaknya, film-film tahun ini berbicara.
Hamparan film-film dalam program Kompetisi Internasional bertema Noli me Tangere dalam Arkipel-Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2023 ini menunjukkan kecemasan-kecemasan akan perang, jejak-jejak perang dingin yang masih tersisa, kegoyahan modernitas, friksi manusia dan mesin, bahkan kolonialisme yang masih menghantu. Sejak edisi pertamanya pada 2013, kemunculan isu yang paling kerap hadir dalam pembacaan Arkipel akan fenomena isu global adalah gelombang migrasi yang dipicu oleh The Arab Spring. Pembicaraan tentang hal itu terbentang selama 10 edisi Arkipel: potret jurnalistik migrasi penduduk ke kawasan lain, kehidupan para imigran dengan konflik-konflik lanjutan di lokasi baru, dan, khususnya sejak dua edisi terakhir Arkipel, bermunculan film-film yang dibuat oleh para imigran itu sendiri tentang kehidupan di lokasi baru mereka. Pada akhirnya masyarakat (penonton film) bisa terbagikan lihatan tentang dunia melalui kacamata yang sangat berbeda, berdasarkan latar sosial politik yang terpaksa melingkupinya.
Hal yang paling menarik dari menyeleksi ribuan film dalam sebuah festival film internasional adalah, seperti sedang menyaksikan bagaimana kehidupan di dunia berlangsung dari tahun ke tahun, selama satu dekade Arkipel, melalui pernyataan-pernyataan subjektif para pembuat film dari berbagai benua. Sedangkan hal yang paling penting dari itu semua adalah, kesaksian artistik dari perguliran isu global tersebut, yang berkembang ke dalam bentuknya yang terkini.
Namun, ada perihal yang menggugah pula dalam menyeleksi dan menguratori sebuah tema festival film di abad ke-21 ini: mengategori, membaca, dan menalar kinerja mesin montase konvensional dengan kecerdasan manusia, yang sedang dinalar oleh kecerdasan yang terkomputasi oleh mesin. Kesamaan antara kedua karakater tindakan tersebut ada pada penggunaan konvensi umum dalam menalar probabilitas. Artinya, itu bukan sebuah perbandingan, karena kerja kultural manusia, sebagaimana merayakan sinema, bukanlah sebuah simulasi. Kita bukan sedang melempar pertanyaan semacam apakah mesin bisa cerdas, melainkan sedang berdiskusi secara manusiawi.
Kala Jose Rizal melempar bukunya, Noli me Tangere (jangan sentuh aku), pada 1887 kepada publik di dalam dan di luar Filipina, ia sedang mengarikaturkan kolonialisme Spanyol di tanah airnya. Jose Rizal yang juga dokter mata, konon, menggunakan frasa noli me tangere yang kerap digunakan dalam istilah kedokteran sebagai kanker yang tersembunyi, sebagai kritik tidak hanya terhadap bangsa Spanyol yang menjajah Filipina, tapi juga pada kebutaan rakyat terhadap kekuasaan, kanker sosial yang tak tersentuh. Kanker yang kita rasakan semakin memburuk kini.
Sementara waktu kehidupan masih memijak pada tanah di mana jejak-jejak rezim dari masa lalu tidak pernah bisa terhapus, sebuah ruang yang terkategorikan untuk memberi feedback tak instan dan meruah, menjadi ruang diskusi yang sadar akan bias algoritmik yang masih tidak adil dan membuat perjalanan sang kafilah sebagai pelancongan cacat.
ARKIPEL Noli Me Tangere International Competition: 33 Films Selected
The everyday realities of the modern world show signs of restlessness. At least when it can never establish itself as strongly as tradition. On the other hand, traditional systems seem to offer attractive solutions because of the solidity of their roots as a tradition. The most obvious restlessness is when the world is rapidly migrating into the space of algorithmic simulation, yet life still rests on the ground where the traces of past regimes can never be erased. The pace of world society is strongly motivated by the current of modernism driven by a machine system that works step by step, and faster and faster. This system interprets deductive logical problems in life. In fact, the work of this machine is much faster than human efforts to resolve the wounds of the past. ‘The Machine’, learns quickly to classify categories of representations of “what exist”, to read and to reason human language patterns, to human sensory reception, then demonstrates social intelligence, to general intelligence that humans possess.
On the other hand, filmmakers who still strongly believe in a conventional montage machine work, insist on sharing the sight of what they think needs to be seen. They do all the work processes centered on themselves as humans: seeing the phenomena of “what exist” and “what happens” in the world, understanding the patterns of events, reasoning probabilities, and demonstrating them as cinema. This relationship between human and conventional montage machines performances is quite enduring as a tradition, a cinema tradition, because of its humanist character, so at least, this year’s films speak.
The expanse of films under the International Competition program themed Noli me Tangere in the Arkipel-Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2023 shows the anxieties of war, the lingering traces of the cold war, the unsteadiness of modernity, the friction between man and machine, and even colonialism that still haunts. Since its first edition in 2013, the most recurrent issue in Arkipel’s reading of global phenomena has been the wave of migration triggered by The Arab Spring. The conversation about it spans 10 editions of Arkipel: journalistic portraits of population migration to other regions, the lives of immigrants with subsequent conflicts in new locations, and, especially since the last two editions of Arkipel, films made by immigrants themselves about life in their new locations have emerged. Eventually, the public (movie-goers) can have a very different view of the world, based on the socio-political setting in which they are forced to live.
The most interesting thing about selecting thousands of films for an international film festival is that it is like witnessing how life in the world unfolds year after year, over the course of a decade of Arkipel, through the subjective statements of filmmakers from different continents. The most important thing of all, however, is the artistic evident of these global issues evolving into their current form.
However, there is also something intriguing in selecting and curating a film festival theme in the 21st century: categorizing, reading, and reasoning the performance of conventional montage machines with human intelligence, which is being reasoned by machine-computed intelligence. The similarity between the two characters of action is in the use of common conventions in reasoning probabilities. That is, it is not a comparison, because human cultural work, like celebrating cinema, is not a simulation. We are not asking questions such as whether machines can be intelligent, but rather having a human discussion.
When Jose Rizal released his book, Noli me Tangere (touch me not), in 1887 to the public in and outside the Philippines, he was caricaturing Spanish colonialism in his homeland. Jose Rizal, who was also an ophthalmologist, is said to have used the phrase noli me tangere, which is often used in medical terms as a hidden cancer, as a critique not only of the Spaniards who colonized the Philippines, but also of the people’s blindness to power, an untouchable social cancer. A cancer that we feel is worsening now.
While the time of life still stands on the ground where the traces of the regime from the past can never be erased, a categorized space to give feedback that is not instant and abundant becomes a discussion space that is aware of the algorithmic bias that is still unfair and makes the wayfarer’s journey a flawed one.
Aqueronte
Manuel Muñoz Rivas
Spain
2023
An Asian Ghost Story
九龍東往事
Bo Wang
Netherlands, Hong Kong
2023
Algorithms of Beauty
Miléna Trivier
Belgium
2022
Beigu Islet
Hsin-Yu Chen
Taiwan
2022
Broken View
Hannes Verhoustraete
Belgium
2023
Cherries
Uogos
Vytautas Katkus
Lithuania
2022
A Companion for Amateur Cinematographers: Vol. I
Manuale di cinematografia per dilettanti – Vol. I
Federico Di Corato
Italy
2022
Death of an Extra
Mikhail Zheleznikov
Israel
2023
Density of Emptiness
Shirin Barghnavard
Germany, France, Iran
2023
Esrever
Hee Sue Kwon
Relublic of Korea
2023
Fatima
Sourabh Kanti Dutta
India, UK
2022
Ghost Light
Timoteus Anggawan Kusno
Indonesia
2021
Horror Vacui
Boris Poljak
Croatia
2023
Imaginary Futures: Tourism
Darko Fritz
Croatian
2022
Ingresso animali vivi
Igor Grubic
Croatia
2023
Jaime's House
Marie Gavois/ Michel Klöfkorn
Germany, Spain
2021
Kim’s Video
David Redmon, Ashley Sabin
USA
2023
Maltournee
Pooya Abassian
Germany, France, Iran
2023
Mangosteen
Tulapop Saenjaroen
Thailand
2022
Manta Ray
Raie Manta
Anton Bialas
France
2022
Otro Sol
Francisco Rodriguez Teare
Chile, France, Belgium
2023
Old Fashion, New Life
女德
Lam Can-zhao
China
2023
Periphery of the Wind
Reza Kutjh
Indonesia
2022
The Porters
Sarah Vanagt
Belgium
2022
R21 aka Restoring Solidarity
Mohanad Yaqubi
Belgium, Qatar
2022
Ritual, Part IV: The Blends
Ritual, Belahan IV: Bauran
Robby Ocktavian
Indonesia
2022
The Secret Garden
الحديقة السريّة
Nour Ouayda
Lebanon
2023
Shokouk
Rouzbeh Akhbari and Felix Kalmenson
Uzbekistan, Canada
2023
Taxibol
Tommaso Santambrogio
Cuba
2023
Will You Look At Me
Dang wo wang xiang ni de shi hou
Shuli Huang
China
2022
Kurator Dini Adanurani
Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap dan lokasi menjadi tema dominan dalam filem-filem yang terpilih dalam program Candrawala. Dalam filem-filem pilihan Candrawala tahun ini, lanskap dan lokasi dibayangkan menjadi sesuatu yang lebih strategis, melekat dalam grid atau kisi-kisi yang terus bertumbuh, dan dapat dibaca sebagai peta terbesar yang pernah ada.
Kisi-kisi mengandaikan adanya posisi, komposisi, kemungkinan untuk bergerak, jarak, dan durasi yang bisa dihitung secara kuantitatif. Makin teranglah di tanah mana kita berpijak, ke mana angin berhembus, dan kepada siapa keberuntungan berpihak di antara garis-garis yang saling berpotongan dan terus merangkai dirinya.
Beberapa filem dalam Candrawala tahun ini berupaya mengenal kembali dan mengurai kompleksitas lanskap alam dan sosial di sekitar para seniman; meletakkan wilayah mereka dalam kisi-kisi peta peristiwa sosiopolitik terkini melalui tangkapan-tangkapan citra. Beberapa filem secara spesifik meletakkan lanskap mereka dalam eksperimen kisi-kisi yang terkait dengan hakikat sinema dan kerja-kerja media—antara gambar diam dan gambar bergerak, hingga proses saling menerjemahkan yang ulang-alik.
Ininnawa: An Island Calling
Arfan Sabran
Indonesia
2023
Ghost Light
Timoteus Anggawan Kusno
Indonesia
2021
Periphery of the Wind
Reza Kutjh
Indonesia
2022
Ritual, Part IV: The Blends
Ritual, Belahan IV: Bauran
Robby Ocktavian
Indonesia
2022