Kartografi Keimanan
Cartography of Faith
Host: Luthfan Nur Rochman
Monday, August 26, 2024 | 19:00 | Bioskopforlen
Daya carangan Hieronymus Bosch atas tryptich Surga-Dunia-Neraka tradisi Yudeo-Kristiani dalam Garden of Earthly Delights membuat kita berefleksi akan kelenturan tafsir eskatologi agama. Nubuat-nubuat hari akhir dan tokoh mesias seperti Imam Mahdi atau Kristus yang akan memimpin penyelamatan manusia di hari akhir menjadi narasi yang hadir menjalar ke mitologi lokasi-lokasi di periferi. Semenjak Abad Pertengahan, Kompleks Mesias yang merujuk pada kondisi mental seseorang yang merasa ia perlu menyelamatkan umat manusia, dibedah sebagai emosi keagamaan yang meluap-luap pasca penghayatan manusia atas sebuah pengalaman keagamaan yang intens. Selain permenungan eksistensial dan tafsir genial atas kitab suci, pengalaman keagamaan intens ini tak pelak difasilitasi oleh stimulasi inderawi berbasis material, baik di lokasi suci serta ritual dengan segala rangsangannya sekaligus kondisi sosiopolitik mutakhir di lokasi sang calon mesias.
Kondisi mental tersebut menemukan percabangannya dalam derivasi yang merujuk pada lokasi, seperti Jerusalem complex dan Stendhal complex (emosi sakral yang intens di tanah dengan sejarah yang tinggi, termasuk Mekkah dan Florence). Nubuat akan sosok mesias dalam eskatologi berbagai aliran religi turut mengungkap bagaimana masyarakat mengklaim lokasinya sebagai ground zero dari peradaban bermula maupun akhir dunia. Mengukur sebuah lokasi menjadi memiliki identitas tersebut adalah mengatribusi karakteristik-karakteristik khusus dari kalam-kalam suci ke apa yang terjadi dalam realitas kontemporer lokasi tersebut dengan sedikit banyak suntikan pseudosains. Kita masih bisa ingat klaim-klaim tersohor akan Indonesia sebagai Garden of Eden, tempat Adam dan Hawa bertemu, Atlantis yang hilang dalam teks Platon. Klaim yang dibuat bahkan dengan analisis filologis, geologis dan arkeologis yang dengannya membangun basis ilmiah dari klaim tersebut. Tidak jarang keterpukauan atas lokasi ini menjadi klaim nasionalistis yang bersifat destruktif, seperti kita lihat dari Hitler dengan Germania-nya yang diinspirasi dari kejayaan peradaban kuno yang gemilang.
Penjabaran kondisi ini menemukan perangkat pamungkasnya lewat teknologi media mutakhir. Bagaimana informasi di berbagai belahan dunia hadir secara real-time ke kepala para pengadaptasi mitos: menyaksikan langsung genosida Gaza, krisis ekonomi global dan operasi militer canggih dari negara-negara adidaya. Komunikasi real-time lintas region menginisiasi dialektika langsung dari pola-pola pikir dan keyakinan yang berbeda. Bagaimana perkembangan teknologi media memodifikasi nubuat menjadi kompas untuk menavigasi akhir zaman yang menjadi titik berangkat untuk meneropong religiositas menemukan relevansinya kembali lewat kuratorial ini.
Kuratorial ini menawarkan penjelajahan salah satu peradaban kuno Afrika yang tersentuh oleh penanda kanon besar dunia yaitu Kristiani di masa paling awal dan bagaimana masyarakatnya memaknai kelindan pengaruh ini. Ethiopia sebagai lokasi dengan ekses pasca-kolonial dan Perang Dingin pun menjadi palimpsest (naskah bertumpuk yang terus ditimpa) dari situs arkeologis yang masih dihidupkan umat dengan segala kekhidmatannya dan situs sosial-ekonomi kaum mudanya yang mendamba eksodus ke luar. Konflik etnis yang terjadi lantaran klaim primordial yang tentu memuat adu domba khas Perang Dingin menjadi salah satu narasi pembangun eskatologi kontemporer dalam lanskap pemikiran warganya yang religius. Filem Staying Put (2023) membingkai perjalanan yang dijalani sendiri oleh Abebe, sang penanti dan penafsir nubuat, dalam menarik garis dari titik-titik sakral, interaksi sosial dengan warga kotanya di lokasi nan-polemis: tanah Amharic – Lalibela di konteks geopolitik Ethiopia menjadi penting dalam membaca jejaring mitologi lama dan mitologi in-the-making (yang sedang terjadi). Kuratorial ini mengundang Anda untuk membaca jalinan pilihan seorang warga religius di tengah kusutnya konflik geopolitik dan stimulasi teknologi media.
Hieronymus Bosch’s imagining of the Heaven-World-Hell triptych of the Judeo-Christian tradition in Garden of Earthly Delights makes us reflect on the flexibility of interpretations of religious eschatology. Prophecies of the apocalypse and messiah figures such as Imam Mahdi or Christ who will lead the rescue of humanity on the last day become narratives in the mythology of peripheral locations. Since the Middle Ages, the Messiah complex, which refers to the mental state of a person who needs to save humanity, has been dissected as an overwhelming religious emotion following an intense spiritual experience. In addition to existential contemplation and genial interpretation of scripture, this intense religious experience is inevitably facilitated by material-based sensory stimulation, both in the holy site and ritual with all its stimuli as well as the current sociopolitical conditions in the location of the messiah candidate.
This mental state finds its ramifications in derivations that refer to locations, such as Jerusalem Complex and Stendhal Complex (intense sacred emotions in lands with high history, including Mecca & Florence). The prophecy of a messiah figure in the eschatology of various religious sects also reveals how people claim their location as the ground zero of the beginning and end of civilization. Measuring a location to have such an identity is attributing specific characteristics from the sacred texts to what happens in the contemporary reality of the location with a little injection of pseudoscience. We can still remember the famous claims of Indonesia as the Garden of Eden, the place where Adam and Eve met, and the lost Atlantis in Plato’s text. Claims that were made even with philological, geological, and archaeological analysis with which to build the scientific basis of the claim. It is not uncommon for this fascination with location to become a destructive nationalistic claim, as we saw with Hitler and his Germania inspired by the glorious glory of ancient civilizations.
The description of this condition finds its ultimate tool through the latest media technology. How information in different parts of the world comes in real-time to the heads of myth adapters: witnessing firsthand the Gaza genocide, the global economic crisis, and the sophisticated military operations of the superpowers. Real-time communication across regions initiates a direct dialectic of different mindsets and beliefs. How the development of media technology modifies prophecy into a compass to navigate the end times becomes the starting point to look at religiosity finding its relevance again through this curatorial.
This curatorial offers an exploration of one of Africa’s ancient civilizations touched by the world’s great canon marker of Christianity in its earliest days and how its people interpreted this intertwining influence. Ethiopia as a location with post-colonial and Cold War excesses becomes a palimpsest of archaeological sites that are still alive with all their solemnity and socio-economic sites of young people who yearn for exodus. Ethnic conflicts that occur due to primordial claims that certainly contain the Cold War’s divide and conquer policy become one of the narratives that build contemporary eschatology in the landscape of religious citizens’ thoughts. The film Staying Put (2023) frames the journey that Abebe himself, the prophecy waiter and interpreter, takes in drawing lines from sacred points, and social interactions with his townspeople in a polemical location: the land of Amharic – Lalibela in the geopolitical context of Ethiopia becomes important in reading the network of old mythologies and mythologies in-the-making. This curatorial invites you to read the fabric of a religious citizen’s choices amidst the tangle of geopolitical conflict and the stimulation of media technology.
Film List
Staying Put
Filmmaker Nico Bunnik (Netherlands, Ethiopia)
International Title Staying Put
Country of Production Netherlands, Ethiopia
Language Amharic, English
Subtitle English
120 min, Stereo, Digital, 16:9, Color, 2023
Abebe, seorang pemuda yang hidup di Lalibella, Ethiopia, menjadi simpul dari lapisan sejarah kompleks tanahnya yang bertautan dengan adaptasi lokal dari Kristiani awal dan kekerasan terhadap suku Amharic, imbas perang sipil Ethiopia. Relasi Abebe dengan tanah, teman-temannya, agama, teknologi media sekaligus sang sutradara menjadi zona eksperimentasi di ranah dokumenter dan fiksi. Eskatologi Kristiani dengan segala nubuatnya menjadi titik kegelisahan dan keputusan Abebe untuk tetap tinggal di Ethiopia.
Abebe, a young man living in Lalibella, Ethiopia, becomes a node of the complex historical layers of his land that intertwine with local adaptations of early Christianity and violence against the Amharic tribe, a result of the Ethiopian civil war. Abebe’s relationship with the land, his friends, religion, media technology and the film director become a zone of experimentation in the realm of documentary and fiction. Christian eschatology with all its prophecies becomes a point of anxiety and Abebe’s decision to stay in Ethiopia.
Nico Bunnik, memulai karirnya sebagai seniman/sineas di Cine Workshop, Vrije Academie di Den Haag, Belanda. Menyutradarai berbagai film pendek 16mm, bekerja sebagai sutradara, DOP, produser, editor, dan penata suara.
Nico Bunnik, started as artist/filmmaker at the Cine Workshop, Vrije Academie in the Hague, Netherlands. Directed different 16mm shorts, works as director, DOP, producer, editor and sound designer.
About the Host
Luthfan Nur Rochman merupakan seorang pembuat filem, kurator, dan penulis, Direktur Eksekutif Forum Lenteng dan Direktur Festival ARKIPEL. Ia pun berfokus di Milisifilem, kelompok belajar produksi filem melalui praktik eksperimentasi visual, yang digagas oleh Forum Lenteng dan Candikala, yang mencoba mengontekstualisasikan warisan Hindu-Budha dan kerja arkeologi di Indonesia melalui praktik seni. Luthfan turut mengkurasi beberapa pameran mulai dari pameran tunggal Otty Widasari: PARTISAN (Galeri Nasional Indonesia, 2022), Jogja Fotografis Festival (2023-sekarang), dan Residensi Seniman dan Festival Rakyat Bangsal Menggawe: Montase Air (Pemenang, Lombok Utara, 2024).
Luthfan Nur Rochman is a filmmaker, curator and writer, Executive Director of Forum Lenteng and Director of ARKIPEL. He also focuses on Milisifilem, a film production study collective through visual experimentation practices, initiated by Forum Lenteng, and Candikala, which tries to contextualize Hindu-Buddhist heritage and archaeological work in Indonesia through art practices. Luthfan also curated several exhibitions, including Otty Widasari’s solo exhibition: PARTISAN (Galeri Nasional Indonesia, 2022), Jogja Fotografis Festival (2023-present), and Residensi Seniman and Festival Rakyat Bangsal Menggawe: Montase Air (Pemenang, North Lombok, 2024).