Sketsa Substansi
A Map Of Matter
Host: Valencia Winata
Wednesday, August 28, 2024 | 13:00 | Bioskopforlen
Alam semesta itu adalah sebuah misteri. Ia membuat kita berpikir, bercerita dan berteori. Kuratorial kali ini, Sketsa Substansi mengajak Anda untuk menyelami upaya sinematik dalam merepresentasikan, menginterpretasikan, dan mengonseptualisasikan alam semesta. Kata “substansi” memang mempunyai makna yang luas, terlalu luas mungkin. Namun, substansi merupakan elemen penting dalam program ini; fisik atau non-fisik, substansi dikarakterisasikan, dimitoskan, diselidiki, dimaterialisasikan, dan dispekulasikan. Variasi corak substansi ini dijelajahi oleh kelima filem dalam program ini dengan gayanya tersendiri, dengan berurutan corak ini mengalir dan bermain-main dengan indera kita. Indera, dalam program kuratorial ini dan program festival tahun ini, menjadi alat intuitif dalam merayakan kehidupan, tetapi ia juga menjadi alat supaya kita awas terhadap kehidupan.
Filem pembuka, Això També Passarà (Iñaki Antuñano San Luis & Pepe Ábalos Galcerá, 2023), mendokumentasikan Fallas de Valencia, sebuah perayaan tahunan di kota Valencia, Spanyol, di mana patung-patung dibuat, dipamerkan, kemudian dibakar. Filem ini berbicara tentang substansi fisik sebagai elemen tetap dalam kehidupan, tetapi substansi tersebut hancur pada akhirnya. Sebuah akhir yang tidak terelakkan. Dan ritual ini diulang setiap tahun. Apa yang tersisa dari kekekalan adalah hukum ketidakkekalan dari sesuatu itu sendiri. Jika Això També Passarà menggaungkan narasi besar manusia tentang roda kehidupan, The Seagull (David Lušičić, 2024) beralih kepada narasi yang lebih kecil yang dapat kita raba dan ukur. The Seagull atau Galeb dalam bahasa Serbo-Kroasia adalah nama kapal yang sebelumnya digunakan sebagai kapal perang. Di tangan Josip Broz Tito, Presiden Republik Federal Sosialis Yugoslavia, Galeb di tahun 1950-an diubah menjadi kapal pesiar untuk mengampanyekan diplomasi antara Blok Timur dan Blok Barat. Voice-over seorang kru kapal yang mengenang kegiatan di kapal saat beroperasi di era Tito, dan bentuk visual arsitektur kapal yang matematis; elemen audio dan visual ini menggambarkan kapal sebagai artefak yang tercipta dan terbentuk oleh fenomena politik. Dalam filem ini, Galeb menjadi mitos, Tito menjadi mitos, begitu pula dengan sejarah. Apa yang berlalu dikristalisasikan di masa kini. Beranjak dari filem-filem sebelumnya yang berperspektif manusia, Dust is a Whale, is Sunlight (María Casas Castillo, 2023), berpaling kepada sains alam untuk menyelidiki proses kehidupan. Ia mengikuti seorang ahli paleontologi yang mengumpulkan fosil paus, dan melalui fosil ini, ia bercerita dan berteori tentang interaksi antara benda hidup dan tak hidup yang membentuk arus gerak alam. Sains menjadi alat untuk mengukur dan menjelaskan peta alam semesta, tetapi sains juga memiliki kemampuan yang terbatas untuk merealisasikan peta tersebut. Justru, filem ini menggunakan sains sebagai ruang untuk berspekulasi tentang logika baru untuk mengerti alam–bahwa kehidupan, selain dimaterialisasikan, juga diteorisasikan secara ilmiah.
Selanjutnya, When the Crows Walk Home (Rosa Prosser, 2023) meneliti alam dengan pendekatan yang cukup berbeda. Ia mensketsa lanskap di daerah Cumbria, Inggris. Ia setengah menciptakan, setengah membayangkan wujud dan rasa angin, yang dinamakan di daerah tersebut sebagai Helm Wind. Embusan angin dirasakan lewat gerakan kamera, suara serangannya berdengung lewat pengeras suara, ditambah dengan anekdot penduduk; varian audio dan visual ini menciptakan kehadiran yang betul-betul terasa lewat penginderaan. Indera–diperpanjang oleh tubuh si pembuat filem dan kameranya–mengalami dan memersepsikan substansi serta nilainya. Filem terakhir, Ocean Mud Pickle (Paribartana Mohanty, 2024), memungkasi program ini, di mana rasa ketakjuban, keingintahuan, dan kewaspadaan terhadap alam semesta dirangkum dalam cerita tentang Satabhaya, sebuah kampung pesisir di India yang hampir punah. Penduduk Satabhaya terpaksa pindah dari kampungnya karena erosi, tetapi makhluk hidup lain justru berhasil hidup di sana karena sedimen yang terbentuk akibat erosi. Melalui lantunan lagu rakyat, filem ini berdongeng tentang sebuah tempat yang terpeta, akan tetapi takdirnya tak diketahui. Ketidaktahuan berbicara tanpa bahasa. Pasang surut alam semesta, ia utuh, bersatu dan melampaui kuasa manusia. Manusia, sebaliknya, bercerita dan berimajinasi.
Nature fascinates us. It drives us to think, make stories and theories. Through this curatorial, A Map of Matter, we would like to invite the audience to delve into some of the cinematic attempts at representing, interpreting, and conceptualising the nature of the universe. Here, the word “matter” is a broad yet important element that encompasses the five films presented in this programme. How matter–in its physical and non-physical senses–is characterised, mythicised, investigated, materialised, and speculated. This will be explored through each film in its own style; the sequence of this curatorial itself becomes a particular flow that illustrates the interplay of substances and engages our senses. Senses, in this programme and this year’s festival, become a cautionary celebration of the politics of life.
The first film, Això També Passarà (Iñaki Antuñano San Luis & Pepe Ábalos Galcerá, 2023), chronicles Fallas de Valencia, an annual celebration in which man-made monuments are burnt in Valencia, Spain. The film speaks wholly about material form as one of the characteristics of life, but this very form is burnt, destroyed in the end. An inevitable end that is repeated each year, and the next. What’s left of a permanence is then the underlying sense of the impermanence of it. If Això També Passarà is all about human’s grand narrative of the cycle of life, The Seagull (David Lušičić, 2024) shifts this grand narrative to a minuscule one–making it measurable. The Seagull or Galeb in Serbo-Croatian is the name of a former warship turned into a training ship by the late President of the Yugoslav Republic, Josip Broz Tito, to promote peace and diplomacy between the Eastern and Western blocs in the 1950s. Through the use of nostalgic voice-over testimony from a crew recalling the ship’s activities during Tito’s time, and the use of mathematical lines that visually forms the architecture of the ship, the ship becomes an artefact that is created and influenced by a political phenomenon. The ship is a myth, so is Tito, so is the history. The past is crystallised in the present. Departing from the human perspective, the third film, Dust is a Whale, is Sunlight (María Casas Castillo, 2023), turns to natural science to investigate the process of life. The film follows a marine palaeontologist who collects the fossils of whales, and through these fossils, he tells and theorises the process of interactions between living and non-living components, forming a flowing cycle of natural systems. Here, science is used to measure and describe the picture of the universe, but the film realises that there is a limitation in the capability of science to do so. Instead, the film uses natural science as a room to speculate on a new kind of logic to solve the puzzle that is nature–that life is materialised through and theorised using science.
The fourth film, When the Crows Walk Home (Rosa Prosser, 2023), approaches nature rather differently. It is a sketch of the landscape in Cumbria, England, that partly recreates and imagines what and how wind–named the Helm Wind–looks and feels like. The breath of nature that is felt through the movement of the camera, the erratic sound of the wind shivering through the speakers, plus the anecdotes from the locals; all these audio and visual elements become a visceral presence that engages our senses. How senses then experience and perceive–through the filmmaker’s and the camera’s body–matter and its materiality. The last film, Ocean Mud Pickle (Paribartana Mohanty, 2024), ties up this programme, in which the fascination, curiosity, and cautious approach toward nature comes in the form of a tale of Satabhaya, a sea village in India that is on the brink of extinction. The people of Satabhaya have long been displaced due to sea erosion, yet other living creatures prosper due to the sediments formed in the area. Accompanied by folk songs, the film tells the story of a place found on the map but its fate is unknown. This unknown speaks without language. Nature fluctuates, unites and transcends beyond our reach. We, humans, speculate and make stories.
Film List
Això També Passarà
Filmmaker Iñaki Antuñano San Luis, Pepe Ábalos Galcerá (Spain)
International Title Això Tambré Passarà
Country of Production Spain
Language Spanish
Subtitle English
19 min, Stereo, DCP, ProRes, H264, 16:9, HD, Color, 2023
Sebuah dokumentasi perayaan tahunan di kota Valencia, Spanyol, yang bernama Fallas, di mana patung-patung dibuat, dipamerkan, kemudian dibakar. Ia menggambarkan sebuah akhir yang tak terelakkan bagi substansi fisik–sebuah cerita tentang kekekalan dan ketidakkekalan yang menghantui kehidupan.
A chronicle of the annual celebration known as The Fallas, in Valencia, Spain, where statues are built, paraded, and burnt. It represents an inevitable end to their existence in material form–a tale of permanence and impermanence.
Setelah bertahun-tahun bekerja sama dalam proyek periklanan dan klip video serta mengembangkan karier yang dekat dengan format naratif non-fiksi, Iñaki Antuñano dan Pepe Ábalos mempersembahkan kolaborasi pertama mereka dalam genre dokumenter: Aixó també passarà (2023). Sebelumnya, Iñaki Antuñano telah menyutradarai film dokumenter #Indestructible (2018) dan film pendek Primer Domingo de Mayo (2008), pemenang Mostra de València dan Cinema Jove dan diputar di festival internasional (Los Angeles, Trieste, Toulouse). Salah satu karya dokumenter terbaru Pepe Ábalos adalah film pendek Renaixem (2020), yang direkam selama pandemi dan hadir di banyak festival nasional dan internasional.
After years working together on advertising projects and video clips and having developed careers close to the non-fiction narrative format, Iñaki Antuñano and Pepe Ábalos present their first collaboration in the documentary genre: Aixó també passarà (2023). Previously, Iñaki Antuñano has directed the documentary #Indestructible (2018) and the short film Primer Domingo de Mayo (2008), winner of the Mostra de València and Cinema Jove and present at international festivals (Los Angeles, Trieste, Toulouse).
One of the latest documentary works by Pepe Ábalos, the short film Renaixem (2020), recorded during the pandemic and with a presence at many national and international festivals.
Galleb/The Seagull
Filmmaker David Lušičić (Croatia)
International Title Galleb/The Seagull
Country of Production Croatia
Language Croatian
Subtitle English
29 min, Stereo, Digital, 16:9, Black & White and Color, 2024
Sebuah kapal yang sebelumnya digunakan sebagai kapal perang diubah menjadi kapal pesiar untuk mengkampanyekan diplomasi antara Blok Timur dan Blok Barat di tahun 1950-an. Diceritakan lewat tangkapan kamera yang matematis yang dipadu dengan ingatan kru tentang kegiatannya selama di kapal, The Seagull menjadi sebuah artefak dengan mitos yang melampaui dirinya sendiri.
A former warship was converted into a training ship that promoted diplomacy between the Eastern and Western blocs in the 1950s. The mathematical architecture of the ship, the recollection of the ship’s operation; The Seagull becomes a myth that is larger than life.
David Lusicic lahir pada 1976 di Rijeka, Kroasia. Ia bekerja sebagai pembuat film independen, dosen dan manajer proyek budaya interdisipliner. Ia memiliki gelar MA dalam bidang penyutradaraan TV dan Film dari Academy of Dramatic Art di Zagreb, gelar master dalam bidang Scenography dari Central Saint Martins College of Arts and Design di London, dan gelar MA dalam bidang Arsitektur dari Fakultas Arsitektur di Ljubljana.
David Lusicic was born in 1976 in Rijeka, Croatia. He works as an independent filmmaker, lecturer and interdisciplinary culture project manager. He holds an MA in TV and Film directing from the Academy of Dramatic Art in Zagreb, a master’s degree in Scenography from Central Saint Martins College of Arts and Design in London, and an MA in Architecture from the Faculty of Architecture in Ljubljana.
Dust is a Whale, is Sunlight
Filmmaker María Casas Castillo (Croatia)
International Title Dust is a whale, is sunlight
Country of Production Belgium, Portugal, Hungary
Language English
Subtitle English
21 min, Stereo, DCP, ProRes, 1.85:1, HD, Color, 2023
Sebuah teori siklus proses alam semesta dengan mengamati fosil paus. Alurnya begini, cahaya matahari, fitoplankton, udang, dan paus; paus memakan udang, udang memakan fitoplankton, fitoplankton memakan cahaya matahari. Sains menjadi alat untuk mengukur dan menjelaskan, tetapi ia juga dapat digunakan untuk berimajinasi dan berspekulasi tentang alam semesta.
An investigation into the life cycle process through whale fossils, which goes like this: sunlight, phytoplankton, krill, whales; whales eat krills, which eat phytoplanktons, which eat sunlight. Science is used to measure and describe, but it can also be used to imagine and speculate about nature.
María adalah seorang sineas dan seniman visual asal Meksiko. Dia lulus dari Docnomads Joint Masters dan Universitas Manchester. Ketertarikannya pada alam membawanya untuk menyutradarai film pendek pertamanya “como Ver A Noite” pada tahun 2022 (Sheffield Docfest), dan “The Whales I Don’t See But Are Out There” pada tahun 2023 ( International Documentary and Short Film Festival of Kerala). Saat ini ia tinggal di Brussel, di mana ia membuat film sebagai alasan untuk mencari dunia tersembunyi dan makhluk-makhluk yang menghuninya, yang membantunya untuk memahami kehidupan dan mimpi.
María is a Mexican filmmaker and visual artist. People say that she’s a ‘closet biologist’ because she loves science and grew up around biologists, even though she studied art. She graduated from the Docnomads Joint Masters and The University of Manchester. This fascination for nature took her to direct her first short film “como Ver A Noite” in 2022 (Sheffield Docfest), and “The Whales I Don´t See But Are Out There” in 2023 (International Documentary and Short Film Festival of Kerala). She currently lives in Brussels where she makes films as an excuse to look for hidden worlds and the creatures who inhabit them, helping her to understand life and dreams.
When the Crows Walk Home
Filmmaker Rosa Prosser (United Kingdom)
International Title When the Crows Walk Home
Country of Production United Kingdom
Language English
Subtitle English
14 min, 5.1, Digital / 2K DCP, 16:9, Color, 2023
Helm Wind adalah namanya; angin kencang yang berhembus di bukit di Cumbria, Inggris. Melalui indera kamera dan tubuh kita, filem ini menangkap, menciptakan, dan membayangkan wujud dan rasa angin tersebut.
The Helm Wind is its name; the strong wind that sweeps through the landscape of Cumbria, England. What and how the wind as a material feels is captured, recreated, and imagined through senses of the camera and our bodies.
Rosa Prosser adalah seorang pembuat film dari Lake District, Inggris. Praktiknya berusaha mengeksplorasi intra-aksi manusia/lebih dari manusia melalui metodologi “sensori etnografi ekologi”, sebuah pendekatan yang spesifik pada lokasi dan bersifat indrawi yang dikomunikasikan melalui medium gambar bergerak. Lulus dari University of Cambridge dengan gelar First Class BA di bidang Sejarah dan Filsafat Ilmu Pengetahuan, saat ini ia sedang menyelesaikan program MFA di bidang Creative Documentary by Practice di University College London.
Rosa Prosser is an artist filmmaker from the Lake District, UK. Her practice seeks to explore human/more-than-human intra-actions through the methodology of “sensory ecological ethnography”, a site-specific and embodied approach communicated predominantly through the medium of moving image. Having graduated from the University of Cambridge with a First Class BA in the History and Philosophy of Science, she is currently finishing an MFA in Creative Documentary by Practice at University College London.
ସମୁଦ୍ର ପଙ୍କ ଆଚାର / Ocean Mud Pickle
Filmmaker Paribartana Mohanty (India)
International Title ସମୁଦ୍ର ପଙ୍କ ଆଚାର / Ocean Mud Pickle
Country of Production India
Language Oadia
Subtitle English
40 min, Stereo, 4K, 16:9, Color, 2024
Penduduk Satabhaya terpaksa pindah dari kampung pesisir mereka, tetapi makhluk hidup lain bertahan dan bahkan dapat berkembang di sana. Ini adalah sebuah cerita keramat tentang sebuah tempat yang terpeta, akan tetapi takdirnya tak diketahui.
The people of Satabhaya have been displaced, but other living creatures could survive in that former sea village, some prosper even. This is the singing tale of a place found on the map, yet whose fate remains not known.
Paribartana Mohanty (lahir 1982, Odisha) adalah seorang seniman multimedia, yang bekerja dengan media baru, video, performans dan lukisan. Karya terbarunya mengeksplorasi lanskap lingkungan-bencana baru yang muncul di dekat pesisir Teluk Benggala di Odisha, mempelajari dampak yang mendalam dari angin topan yang berulang, tsunami dan erosi tanah pada masyarakat marjinal, alam dan budaya. Minat dan penelitian Paribartana adalah meneliti bagaimana teknologi jaringan algoritmik, digitalisasi, penggalian data, akses dan pengawasan membentuk persepsi publik tentang bencana “alami”, dan bagaimana kebijakan pemerintah yang baru mengubah lanskap pedesaan di Odisha.
Paribartana Mohanty (b.1982/Odisha) is a multimedia artist, working with new media, video, performance lecture and painting. His recent work explores new environment-disaster-landscapes emerging near the coast of Bay of Bengal in Odisha, studies deep impacts of recurring cyclones, tsunamis and land erosion on marginal communities, nature and culture. Paribartana’s interest and research is in examining how technologies of algorithmic networks, digitalization, data mining, access and surveillance are shaping public perception about “natural” calamity, and how new government policies are changing the rural landscapes in Odisha.”
About the Host
Valencia Winata adalah seorang sarjana filem yang telah membuat beberapa video pendek. Dia bagian dari tim database yang mengelola koleksi filem dokumenter Indonesia di Forum Film Dokumenter di Yogyakarta. Saat ini ia sedang melanjutkan pendidikannya di bidang Kajian Budaya di Universitas Sanata Dharma. Penelitiannya berfokus pada sejarah, estetika, dan budaya filem.
Valencia Winata is an aspiring film scholar who has made several short videos. She is part of the database team that manages the Indonesian documentary film collection at Forum Film Dokumenter in Yogyakarta. She is currently furthering her education in Cultural Studies at Sanata Dharma University. Her research focuses on film history, aesthetics, and culture.