Dari “Korosif” Menuju “Kecemasan”
“Pada siang ini, di slot ke-8 ini akan diputar selama 148 menit ke depan, tiga filem,” ujar kurator program Kompetisi Internasional 8: Korosif, Ugeng T. Moetidjo, yang merupakan seorang penulis dan peneliti senior di Forum Lenteng.
Senin siang, 22 Agustus, 2016, saya berkesempatan menonton dua program Kompetisi Internasional secara berturut-turut. Yang pertama dari pukul 13:00, sampai 148 menit kemudian saya menonton Kompetisi Internasional 8: “Korosif”, dan yang kedua dari pukul 16:00 sampai pukul 18:00, saya menonton Kompetisi Internasional 9: “Kecemasan” yang dikuratori oleh Akbar Yumni, kritikus yang juga anggota Forum Lenteng.
Saya mengurungkan niat untuk makan siang terlebih dahulu karena saya tiba di GoetheHaus tepat pukul 13:00. Namun, pemandangan pertama yang saya lihat saat itu adalah pintu GoetheHaus yang masih tertutup manis menunggu untuk dibuka teman-teman sesama volunteer ARKIPEL di meja registrasi. Ternyata, saya sedang beruntung hari ini. Dua orang juri, Scott Miller Berry yang datang menyusul Ruth Noack yang sudah berada di GoetheHaus, akan ikut menonton dan menilai tiga filem yang akan dibawakan program siang itu.
Setelah kurator menyelesaikan kata pengantarnya dan menyapa 4 orang penonton bersama dengan Scott, Ruth, dan seorang yang duduk di sebelah kanan Ruth, filem pun dimulai. Filem pertama berjudul Postcard to Godzilla (2015) karya Louis Fried. Awalnya saya berharap mendengarkan dialog-dialog dalam bahasa Jerman mengingat filem ini berasal dari negara yang bahasa, kebudayaan, dan sastranya sedang saya pelajari. Namun, harapan itu sirna ketika saya mendapati filem berdurasi 6 menit ini tanpa dialog. Hanya terdapat instalasi katrol-katrol di dalamnya. Meskipun dibuat tahun 2015, filem ini memberikan kesan ‘jadul’ lewat kehitam-putihannya. Sesekali selama filem masih berjalan, saya memperhatikan Scott dan Ruth yang berdiskusi sambil berbisik atau tertawa pada beberapa adegan di filem.
Filem kedua adalah karya Vladimir Todorovic berjudul Karst (2015). Sebuah filem berdurasi 80 menit yang menurut saya unik dan mengesankan, yang menunjukan hubungan antarmanusia dan suasana hangat keluarga di pedesaan. Beberapa dialog menunjukan perbedaan dulu dan sekarang, seperti sebuah kota yang tergerus oleh zaman. Aracati (2015) yang merupakan karya dari Aline Portugal dan Julia de Simone yang keduanya berasal dari Brazil, menjadi penutup untuk program Kompetisi Internasional siang ini. 62 menit durasi filem ini menceritakan kisah tentang angin dari warga setempat: apakah angin dianggap sebagai teman yang membantu mereka melangsungkan kehidupan atau sebagai lawan karena dianggap sebuah kekuatan mistis.
Sementara itu, pada pukul 16:00, saya kembali menonton sebuah filem berdurasi 2 jam 8 menit, berjudul My Talk with Florence (2015). Karya dari Paul Poet ini menceritakan tentang kehidupan Florence Burnier-Baeur. Filem yang sederhana, namun mampu membuat semua orang membayangkan kejadian kelam yang dialami melalui jawaban dari Florence yang menanggapi pertanyaan dari crew filem.
Beberapa bagian dari monolog Florence terkadang mampu membubuhkan senyum besar di wajah ke-17 penonton meskipun isinya menceritakan tentang ‘luka’ yang didapat Florence. Tak jarang pula, Scott dan Ruth ikut terkekeh ketika Florence menceritakannya dengan sangat santai dan terbuka dengan crew filem. Namun, meskipun Florence nampaknya biasa saja menceritakan kisah kelamnya, sebuah gambar kecemasan secara tersirat muncul di setiap ekspresi yang ditampilkannya.
From “Corrosive” to “Angst”
“In this afternoon, in the 8th slot will be screened three films with the total duration is 148 minutes,” said the curator of International Competition 8: “Corrosive”, Ugeng T. Moetidjo, who is a writer and senior researcher at the Forum Lenteng.
Monday afternoon, August 22nd 2016, I attended two programs of International Competition in ARKIPEL, in a row. First screening was started at 1 pm, and the second one was at 4 to 6 pm. I also watched the International Competition 9: “Angst”, curated by Akbar Yumni, a Forum Lenteng member and also film critics.
At exactly 1 pm, the gate of GoetheHaus was still closed waiting for ARKIPEL volunteers to open it. I was a bit lucky that day since Scott Miller Berry and Ruth Noack, acting as the judges for this film competition, were also there.
The film started once speech from curator was given. There were Scott Miller Berry, Ruth Noack, and another four people in the room waiting for screening. Postcard to Godzilla (2015), directed by Louis Fried, was screened first. At first, I expected German dialogues in this film, since it was originated in German, and I still studied German Literature in university. However, I had to accept the fact that German dialogue was none to find in Postcard to Godzilla. There were only some blocks of pulleys. Even though this film was made in 2015, Postcard to Godzilla gave very ‘oldy’ nuance to its audience, with black-and-white coloring. I noticed that sometimes Scott and Ruth discussed the film with each other and laughed at some scenes.
Screened next after Postcard to Godzilla, I had Karst (2015) by Vladimir Todorovic. His film was 80-minute long, of which was quite unique and impressive. Karst depicted human interrelation and warmth in village. Several dialogues in this film showed the difference between the past and presence, like a city that was passed by the time. Aracati (2015) which was directed by Aline Portugal and Julia de Simone from Brazil closed the program. This 62-minute film portrayed people’s narration about wind in their place; was wind your friendly neighbor to help your life? Or was the wind your enemy for it was so mystical?
On 4 pm, I came back to the cinema room to watch My Talk with Florence (2015), its duration was 2 hours and 8 minutes. This film documented Florence Burnier-Baeur’s simple life, but she was able to make people imagine the hardship of her life through her answers, responding film crew’s questions.
Some of Florence’s monologues made seventeen people in the room grin, although it told tale about ‘scars’ that Florence had. Scott and Ruth also chuckled for the way Florence carelessly answered each question given. Although Florence kept her calm demeanor when she narrated her turbulent past, anxiety was still on her expressions, and we, as the audience, received that signal very clearly.