Apa Jang Kau Tjari, Pak Misbach?
Pada saat ibadah sholat Jumat di Masjid Mal Pasar Festival-Kuningan, aku duduk di ruangan besar yang sehari-harinya dipakai sebagai gedung olahraga, lantainya kini dilapisi dengan karpet sajadah, muadzin mengumandangkan adzan. Bersama para pegawai lembaga Arsip filem Nasional-Sinematek, yang berlokasi di gedung sebelahnya, Budi, Sandas, dan beberapa yang lainnya, dengan kepala tertunduk dan mata setengah terbuka, aku mendengarkan kiai berkata: “Allah telah memasang sebuah kamera CCTV di dalam kehidupan manusia. Segalanya telah terekam, bahkan walau itu hanya berupa bisikan dalam hatimu yang tak terucapkan. “
Sebagai seorang umat yang secara aktif berpartisipasi mendengarkan cerama dalam sholat Jumat itu, aku mengeluarkan buku catatan kecilku dan mulai menuliskan: Sejarah dan pengalaman manusia di dalamnya, sepenuhnya ditangkap dan dipreservasi di sebuah server yang sangat besar, yang mana hidup kita akan ditinjau dan dievaluasi. Karena Tuhan selalu ‘men-shoot’ kita, apa yang telah kita perbuat, Sang Penceramah berargumen—melalui perilaku yang melekat pada suara kita, pikiran kita—pasti merefleksikan tujuan yang lebih besar. Bahkan perpaduan yang paling personal dalam diri kita pun merupakan elemen kunci dalam sebuah proses tajam dari sebuah pembentukan imajinasi kolektif. Kalau kita bisa mengkonseptualisasi jaman baru di mana kesalahan-kesalahan masa lalu tidak diulang, kemudian kita dapat menerapkannya ke dalam sebuah praktek.
Namun kata-kata Si Kiai ini mengandung paradoks. Kita diharapkan belajar dari sebuah ‘arsip’ masa lalu kolektif yang terwacanakan secara ketubuhan yang kita, sebagai individu, hanya dapat serpihan akses sangat terbatas. Jadi sebenarnya kita tinggal menunggu firman Allah yang membimbing kita, dan kiai dan ulama yang berperan sebagai penerjemah dan gurunya. Mungkin sebetulnya ini hal yang wajar: arsip itu, dengan ketidakterbatasan kemampuannya untuk menyimpan dan melestarikan, pasti akan berisi kesan sisi gelap jiwa kita yang mungkin berjumlah sangat besar. Semata bagi manusia, melihat ke dalam masa lalu yang direkam secara persis dan total justru mungkin juga membuka jurang keputusasaan karena kemustahilan mengubah karakter manusia dari waktu ke waktu akan menjadi sangat jelas. Dengan demikian batas-batas memori perseorangan juga dapat melindungi kita dari diri kita sendiri, dari melihat sebagaimana “manusia” kita sebenarnya.
Dalam Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan, 2013, sebagaimana dalam kehidupannya, Misbach Yusa Biran adalah seorang penjaga dan pemandu spiritual Sinematek, sebuah ‘ruang penyimpanan’ di mana bisikan hati yang filemis dan kolektif dari negeri ini—dari masa pasca kemerdekaan—dikumpulkan. Melalui wajahnya Misbach, pada suaranya, melalui surat-suratnya, dan pada gerak tubuh rentanya, terlukiskan dinamisasi ketegangan antara sifatnya apa yang dia sebut sebagai “rekaman sejarah yang paling akurat mungkin” dan ideal penggunaan koleksi rekaman/impresi itu sebagai alat untuk melayani konsep yang sangat spesifik dari harta karun publik. Anak Sabiran sendiri bergulir di dalam ketegangan ini, dan menanggapinya. Daripada sekedar hanya menyajikan narasi audio-visual mengenai kehidupan dan kelahiran Misbach beserta arsipnya (yang mana juga dilakukan oleh filem ini), dengan perlahan, hati-hati dan meraba-raba dengan rasa, menjalani hubungan yang rumit Indonesia kini dengan masa lalunya, dan, yang lebih penting, dengan sejarahnya yang kaya dan kurang dijelajahi sebagai sebuah negara yang memproduksi sinema.
Apa Jang Kau Tjari Palupi (1970) karya Asrul Sani bukan hanya sebuah filem Indonesia favorit saya, tapi salah satu yang saya letakkan di antara karya-karya sinema papan atas secara general. Rasa harapan yang dimunculkan, walaupun, bukan hasil ending yang bahagia atau kata-kata bijak yang dituturkan oleh aktor karismatik. Sebaliknya, sumbernya adalah pandangan sejarah dan pengalaman manusia yang tak tergoyahkan serta keterusterangan yang keras, meskipun tidak terlalu ‘dingin.’ Menerjemahkan pengulangan kesalahan manusia yang sudah pasti ke dalam bayangan kelabu yang pergeseran, goresan dan mengharukan: tidak pernah benar-benar hitam atau putih, dan selalu berwarna.
What Are You Looking For, Pak Misbach?
During Friday prayers at the Pasar Festival Mall in Kuningan, I sat in a large room normally used for sports, the floor now covered with prayer rugs, the scorekeeper’s speakers broadcasting the adzan. Along with Budi, Sandas, and ____, staff members of Sinematek, the national film archive housed in the building next door, I listened, head bowed and eyes half open, to the kiai: “God (Allah) has installed a CCTV camera inside each human being. Everything is recorded, even the inner whispers of your heart that remain unspoken.”
As an active participant in Friday prayers, I took out my notebook and began to write: History and human experience in its totality, then, is captured and preserved somewhere in a massive server from which our lives will be carefully reviewed and evaluated. Because God is always “filming” us, what we make, the kiai argued – with our voices, our thoughts, and the actions attached to them – must reflect a greater purpose. Even the most private stirrings within us are key elements in the delicate process of building a collective imagination. If we can conceive of a new era in which the mistakes of the past are not repeated, then we can put it into practice.
Yet the kiai’s words contain a paradox. We are meant to learn from a collectively embodied “archive” of the past to which we, as individuals, have at best fragmented access. So we are left with God’s words to guide us, and with our kiai and ulama as interpreters and teachers. Perhaps this is for the best: the archive, with the limitlessness of its ability to store and preserve, will inevitably contain impressions, maybe billions of them, of the darker sides of our souls. For a mere mortal, a look into the precisely recorded past might well open an abyss of hopelessness at the very impossibility of altering human character over time. Thus the limits of individual memory may also protect us from ourselves, from seeing how “human” we really are.
In Anak Sabiran, Dibalik Cahaya Gemerlapan (‘Sabiran, Behind the Flickering Light 2013), as in his life, the late Misbach Yusa Biran is the keeper and spiritual guide of Sinematek, the vault where the collective, filmic whisperings of the heart of a nation – post independence Indonesia – are stored. On his face, in his voice, his letters, and the movements of his aging body, is written the dynamic tension between the nature of what he calls “the most accurate recording of history possible” and the ideal of using such a collection of impressions as a tool to serve a very specific conception of the greater public good. Anak Sabiran is itself embroiled in this tension, and responds to it. Instead of merely providing a visual-aural narrative of the birth and life of Misbach and his archive (which it also does to some extent), it slowly, carefully feels its way through the tangled relationship of Indonesia with its recent past, and, more important, with its rich and underexplored history as a nation that produces cinema.
Asrul Sani’s Apa Jang Kau Tjari, Palupi (What is it You’re Looking for, Palupi 1970) is not only a favorite Indonesian film, but one I would place among the masterworks of cinema in general. The sense of hope it produces, however, is neither the result of a happy ending nor words of wisdom recited by a charismatic actor. Rather, its source is a view of history and human experience that is unwavering and brutally frank, although rarely cold. It renders the inevitably repeated mistakes of mortals in shifting, flickering, and poignant shades of Gray: never quite black nor white, and always in color.
Country of Production: Indonesia
Language: Bahasa Indonesia
Subtitles: English
160 min, Color, 2013
Synopsis
Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) mencoba membaca gagasan pengarsipan filem yang ada di dalam pikiran Misbach Yusa Biran sebagai seorang tokoh yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk mengawetkan wacana dan memaknainya kembali sebagai sumber sejarah perfileman Indonesia yang disimpannya di Sinematek Indonesia.
A documentary about an important figure in filem archiving in Indonesia, or in Indonesian cinema in general. Hajji Misbach Yusa Biran was a former filem director who dedicated most of his lives to preserve materials regarding Indonesian cinema to record history, This filem is much about his personal lives as an archivist as it is about him as the founding father of Sinematek Indonesia.
Language: Bahasa Indonesia
Subtitles: No Subtitle
156 min, Color, 1969
Synopsis
Haidar adalah pengarang yang sedia melarat demi mempertahankan kejujuran dan kebenaran. Sebaliknya sang isteri, Palupi (Farida Syuman) adalah wanita yang tak bisa memberikan cintanya kepada siapapun, kecuali kepada dirinya sendiri. Karenanya, Palupi merasa tidak bahagia, walau telah diizinkan bermain filem. Di situ dia merasa iri kepada Putri, kekasih Chalil, sang sutradara. Palupi mendekati Chalil begitu rupa, sehingga sutradara itu jadi menjauhi Putri. Kemudian Palupi tertarik kepada seorang pengusaha muda, Sugito. Melihat hal itu Chalil menjauhi Palupi, dan kembali ke kekasih lamanya, Putri. Apa sesungguhnya yang dicari Palupi?
Haidar is a writer who can embrace poverty for the sake of an honest and truthful life. On the contrary, Palupi is a woman who cannot love anyone but herself. This makes Palupi unable to feel happiness, even when she is given a role in a movie. During the shooting, she becomes jealous of Putri, the director Chalil’s lover. Palupi makes a move on Chalil so that the director would turn away from Putri, Then Palupi is attracted to a young businessman, Sugito. After witnessing this, Chalil decides to stay away from Palupi and returns to his former girlfriend, Putri. What is actually Palupi looking for?