Arsip, Sejarah, dan Kebudayaan
Jakarta – Pada hari Minggu (25/8) jam 11:00 siang di Auditorium Hall B, Museum Nasional, telah dilaksanakan diskusi Restorasi Pengetahuan Sinema. Dengan Luthfan Nur Rochman sebagai moderator, diskusi siang ini dihadiri oleh Panji Wibisono dari Pusat Pemgembangan Film atau PUSBANG Film (Subbidang Pengarsipan), Judith Wijaya sebagai Direktur Produksi Film Negara, Agus Santoso sebagai Direktur Layanan & Pemanfaatan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dan Rizka Akbar dari PT. Render Digital Indonesia. Pembahasaan utama dari diskusi ini adalah mengenai arsip sebagai distribusi pengetahuan dan wacana, dan upaya selanjutnya.
Pertama untuk berbicara adalah Judith Wijaya. Walaupun belum lama dilantik sebagai Direktur PFN, Judith sudah mempunyai bayangan terhadap industri perfileman. Judith percaya bahwa perfileman itu bisa menjadi jati diri Indonesia. Dia lebih banyak membahas bagaimana perfileman Indonesia bisa dikembangkan dan sangat menyoroti perkembangan ekonomi dan kerja sama antara lembaga. Semua lembaga pasti mempunyai strategi masing-masing, tetapi agar benar-benar bisa berkembang butuh komitmen yang sungguh-sungguh mulai dari meningkatkan nilai industri pefileman, persaingan positif, dan dukungan dari negara.
Agus Santoso, sebagai perwakilan dari ANRI, lebih berbicara tentang kekurangan dalam pengarsipan. Agus Santoso membahas “strategi perang” yang harus dilakukan dalam upaya penyimpanan data. Selain sumber daya yang kurang, iklim tropis menjadi sebuah tantangan yang besar. Filem yang seharusnya bisa bertahan hingga 150 tahun, justru terancam oleh iklim tropis. Maka filem itu harus dijaga dalam ruangan khusus dan dilakukan proses reklamasi setiap 6 bulan sekali untuk menghindari kerusakan.
Panji Wibisono membahas upaya PUSBANG dalam restorasi dan digitalisasi. Selama ini, PUSBANG baru bisa melakukan restorasi dan digitalisasi 3 filem, yaitu: Darah dan Doa, Pagar Kawat Berduri, dan Bintang Ketjil. Selama ini, mereka hanya bisa melakukan restorasi satu filem per tahun. Hal ini dikarenakan sumber yang banyak dan proses yang lama. Walaupun itu, proses restorasi dan digitalisasi akan membantu memperpanjang umur sebuah filem sekaligus “restore” memori dan sejarah yang terdapat pada filem tersebut.
Rizka Akbar, tanpa banyak basa-basi, langsung menyebutkan masalah-masalah yang dihadapi mengenai penyimpanan filem. Seperti tempat penyimpanan yang buruk yang kerap tidak dianggap prioritas, sehingga kurang mendapatkan dukungan dari negara. Dengan kata lain, terdapat kekurangpedulian terhadap artefak sejarah dan budaya. Rizka Akbar sangat menyinggung filem dan tokoh-tokoh yang terlibat sebagai bentuk peradaban. Media yang paling mudah memberikan informasi yang banyak adalah filem. Maka, filem itu perlu dijaga agar publik punya akses sejarah.
Sesi diskusi ini kemudian dilanjutkan pada pukul 13.00 dengan tema Reproduksi dan Reinterpretasi Arsip Filem. Dengan Dini Adanurani sebagai moderator, diskusi siang itu dihadiri oleh Luthfan Nur Rochman sebagai kurator dan perwakilan Kultursinema, Ruddy Hatumena sebagai seniman dan anggota Tromarama, dan Otty Widasari sebagai seniman. Pembahasan utama dari diskusi ini mengenai arsip yang bisa direproduksi ulang dengan narasi yang baru dalam bentuk seni. Narasi baru ini membuat sejarah lebih signifikan.
Diskusi panel 2 dimulai dengan Luthfan yang berfokus mengenai pemeran Kultursinema. Luthfan menjelaskan singkat tentang Kultursinema, yaitu untuk melacak teknologi sinema di Indonesia. Dalam Kultursinema, arsip diangkat menjadi bentuk lain yang mempunyai konteks yang lebih luas lagi. Banyak yang bisa dibahas dari materi-materi yang ditemukan, seperti pembingkaian, visualisasi, decay, atau teknis digitalisasi yang kemudian bisa dibaca lebih dalam. Misalnya, pada Kultursinema tahun ini, Gelora Indonesia, para kurator mencoba membingkai materi arsip Gelora Indonesia yang bisa ditemukan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan mengkajinya lebih dalam.
Pembicara kedua ialah Ruddy Hatumena. Dia menceritakan pengalamanya ketika mendengar bahwa ada sel animasi dari Produksi Film Negara (PFN) yang sedang dibakar karena sudah dimakan rayap. Mengetahui ini, ia mencoba mengais yang tersisa dan membuat sesuatu darinya. Ia mengambil sel animasi yang terbakar itu dan mengombinasikannya dengan footage dia sendiri. Hasilnya adalah interpretasi baru terhadap data atau materi yang hilang sebagian.
Pembicara terakhir adalah Otty Widasari. Otty Widasari sudah melakukan beberapa proyek dan program berdasarkan arsip, seperti Akumassa, Diorama, serial the Presence, dan Performance Art. Otty mengatakan bagaimana masyarakat juga perlu mempunyai inisiatif sendiri untuk membangun arsip sendiri bersama-sama, karena tidak bisa selalu mengandalkan negara. Arsip itu adalah akses terhadap pengetahuan, dan membangun itu akan membangun pengetahuan bersama.
Archives, History, and Culture
Jakarta – the discussion on Restoration of Cinema Knowledge was held on Sunday (25/8), 11 AM in Auditorium Hall B, National Museum of Indonesia. The discussion was moderated by Luthfan Nur Rochman. The speakers were Panji Wibisono from Centre of Film Development or PUSBANG Film (Archives Subdivision); Judith Wijaya, the director of National Film Production (PFN); Agus Santoso, the head of Services and Utilisation division of National Archives of the Republic of Indonesia (ANRI); and Rizka Akbar from PT. Render Digital Indonesia. The main topic of the discussion was archives as a distributor of knowledge and discourse, and the organisations’ future efforts regarding archives.
The first speaker was Judith Wijaya. Although she had just been appointed as the director of PFN recently, Judith already had a vision of film industry. Judith believed that films could become the identity of Indonesia. She emphasised how Indonesian cinema could be developed, and highlighted the economic development and cooperation between institutes. All institutes had their own strategy; yet in order to develop, they really needed to fully commit in increasing the value of film industry, the positive competitions and the support from the government.
Agus Santoso, as the representative of ANRI, talked about the difficulties in archiving. He described their “war strategy” in storing data. Besides the lack of resources, the tropical climate became the big problem. Films that were supposed to live for 150 years, they were at risk due to the climate. To avoid that damage, the films had to be stored in a special room and underwent the process of reclamation for every 6 months.
Panji Wibisono talked about PUSBANG’s effort to restore and digitize. PUSBANG had restored and digitized 3 films: Darah dan Doa (The Long March), Pagar Kawat Berduri, and Bintang Ketjil. They could only restored one film per year because of the large number of film source and the long restoration process. Despite that, the restoration and digitalisation would help extend the films’ lives and restore the memory and history ingrained in those films.
Rizka Akbar directly addressed the problems of storing films such as the poor state of storage rooms, which indicated that preserving film was not a priority thus it did not receive an adequate support from the government. In other words, there was a lack of concern regarding historical and cultural artefacts. Rizka Akbar talked about films and film figures as a form of civilisation. The media that provided the most information was films. Therefore, films should be preserved so that the public could have the access to history.
Another discussion session is Reproduction and Reinterpretation of Film Archives started at 1 PM with Dini Adanurani as the moderator. The speakers were Luthfan Nur Rochman, a curator and Kultursinema representative; Ruddy Hatumena, an artist and Tromarama member; and Otty Widasari, an artist. The discussion mainly talked about the archives that could be reproduced with a new narrative in the form of art, and this new narrative increased the importance of history.
This second panel discussion began with Lutfhan’s presentation that focused on the Kultursinema exhibition. He briefly described Kultursinema, whose aim was to trace the cinema technology in Indonesia. In Kultursinema, archives became a form that had a wider context. From the materials they had found, they further discussed about framing, visualisation, decay or digitalisation techniques. For example, in this year’s Kultursinema exhibition Gelora Indonesia, the curators tried to frame and study the Gelora Indonesia archives found in ANRI.
The second speaker was Ruddy Hatumena. He shared the story of the animation cells of PFN that were burned because they had been infested with termites. He then looked for the scraps and made something of them. He collected the burned cells and combined them with his own footages. The result was a new interpretation of the partly lost data and material.
The last speaker was Otty Widasari. She did a number of archives-based projects and programme such as Akumassa, Diorama, the Presence series, and performance art. Otty said that the people needed to have an initiative to build their own archives together because they could not always depend on the government. Archives was an access to knowledge, and building archives meant building a collective knowledge.