Tahun ini, ARKIPEL bromocorah– International Documentary & Experimental Film Festival 2019 dengan bangga mengabarkan empat juri yang akan berperan dalam menentukan dan memutuskan penghargaan terhadap empat filem terpilih. Kami mengundang empat kolega yang kredibilitas dan kontribusinya telah diakui di bidang perfileman dan wacana seni saat ini.
This year, the ARKIPEL bromocorah– International Documentary & Experimental Film Festival 2019 proudly announces our four festival juries who will decide the award of the four best films. We invite four colleagues whose credibility and contributions have been internationally recognized in the field of cinematography and art discourse today.
Our Festival Juries
Akbar Yumni (Jakarta, 1975) adalah kritikus, kurator filem, dan anggota Forum Lenteng. Ia adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Footage (www.jurnalfootage.net). Sedang menempuh pendidikan Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Ia juga bekerja sebagai peneliti lepas di Dewan Kesenian Jakarta. Saat ini ia tengah mengerjakan proyek performan dan arsip filem-filem yang hilang di era kekuasaan otoriter.
Akbar Yumni (Jakarta, 1975) is a film critic and curator, and a member of Forum Lenteng, as well as Editor in Chief of Jurnal Footage (www.jurnalfootage.net). He studies Philosophy at Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. He is also a freelance researcher at Jakarta Arts Council. He is currently working on a performance project and archives of the lost films in the authoritarian era.
HAFIZ RANCAJALE (Pekanbaru, 1971) adalah seniman, pembuat filem, kurator, dan salah satu pendiri Forum Lenteng. Menamatkan pendidikan Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan kini menjadi Ketua Forum Lenteng dan juga Direktur Artistik ARKIPEL. Agustus tahun 2018, ia akan menjadi kurator Pekan Seni Media 2018 yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Forum Lenteng.
HAFIZ RANCAJALE (Pekanbaru, 1971) is an artist, filmmaker, curator, and co-founder of Forum Lenteng. He graduated from the Art Institute of Jakarta (IKJ), and is now the Chairman of Forum Lenteng and the ARKIPEL Artistic Director. In August 2018, he will be the curator of Pekan Seni Media 2018 organized by the Ministry of Education and Culture in cooperation with Forum Lenteng.
Mahardika Yudha (Jakarta 1989). Filem pertamanya yang berjudul Rangjebor (2014) disutradarai bersama Mohammad Fauzy. Ia juga membuat karya seni video dan merupakan kurator berbagai pameran seni rupa maupun seni media. Karyanya juga telah dipresentasikan pada berbagai pameran internasional seperti di Singapore Biennale 2013 dan Videobrasil 2013.
Mahardika Yudha (Jakarta 1989). Made his first film Rangjebor (2014), co-directed by Mohammad Fauzy. He also made video art and curator of many fine art and media art exhibitions. Some of his works have been presented in many international art exhibitions such as Singapore Biennale 2013 and Videobrasil 2013.
Scott Miller Berry adalah seorang sutradara dan aktivis kebudayaan yang tinggal di Toronto. Ia adalah Managing Director di Worksman Arts, sebuah organisasi seni dan kesehatan mental yang menyelenggarakan Rendezvous With Madness Film Festival. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Direktur di Images Festival dari tahun 2005 sampai 2015. Ia menerima Rita Davies Margo Bindhardt Award atas dedikasi kerja kebudayaan yang ia lakukan di Toronto dan ia pun menjabat sebagai Dewan Direksi Toronto Media Arts Center. Filem-filemnya kebanyakan dibuat pada medium film 16mm dan/atau Super 8 film. Biasanya ia mengangkat isu tentang kematian, duka, memori dan sejarah kolektif. Kadangkala semua hal tersebut ia olah secara manual.
Scott Miller Berry is a filmmaker and cultural worker who lives in Toronto. He is Managing Director at Workman Arts, an arts and mental health organization that presents the Rendezvous With Madness Film Festival. Previously, he was Director at the Images Festival from 2005-2015. Recipient of the Rita Davies Margo Bindhardt Award for cultural service in Toronto, he sits on the Board of Directors of Toronto Media Arts Centre. Most of his films are shot on 16mm and/or Super 8 film, and address themes of mortality, grief, memory and collective histories and sometimes are processed by hand.