Medium, Space, and Interaction
Medium, Ruang, dan Interaksi
Host: Syaiful Anwar
Friday, August 10, 2018 | 07:00 pm | GoetheHaus
Monday, August 13, 2018 | 01:00 pm | GoetheHaus
Praktik-praktik penjukstaposisian gambar untuk menumbuhkan imajinasi tentang sebuah pandangan wilayah atau lokasi yang diklaim dengan suatu penandaan, baik dari perilaku, atribut, maupun lingkungannya, selalu menggugah keinginan mempertanyakan keberadaan eksistensi manusia dalam sebuah interaksi dengan lingkungannya. Narasinya menyertakan suatu gagasan dalam susunan estetika perihal bagaimana mempertahankan atau memperoleh wilayahnya demi keberlangsungan hidup. Dalam relasi inilah, muncul peluang-peluang atau ruang baru yang menjadi skema penting dalam membaca dan memahami kompleksitas yang dibangun antara manusia dengan tempatnya.
Dalam interaksinya, kemunculan ruang-ruang baru ini adalah suatu bentuk konsekuensi proses, yang mulanya dibangun lewat sebuah harapan dan mimpi-mimpi, walau seiring berjalan waktu terjadi perubahan fungsi hingga harapan-harapan itu mulai sedikit memudar. Ruang ini memiliki paralelitas dengan ruang-ruang lain yang hadir sebelumnya. Ia juga turut dipengaruhi oleh insting, yang kehadirannya juga mendapat resistensi dalam proses interaksinya. Upaya-upaya negosiasi menjadi cara jitu untuk menaklukkan; pola-pola hubungan dibangun sedemikian rupa baik secara individu maupun komunal, dengan harapan di dalam ruang ini tercapai tujuan baru.
Membaca kehadiran ruang ini di dalam sinema memberi peluang untuk publik dalam melihat pemahaman baru atas konsep ruang pada peradaban manusia. Peradaban kini tak lagi didominasi oleh elemen-elemen dalam ruang sebelumnya. Ruang artifisial juga turut menghadirkan bentuk baru, semuanya bercampur aduk dan berusaha menerabas sekat di antara dinding-dinding tebal. Perlahan-lahan menjadi realitas baru tempat gagasan dan identitas dibentuk ulang. Pertemuannya menawarkan sebuah permainan dan peradabannya menawarkan mimpi utopia bagi manusia. Maka, eksplorasi medium pun menjadi bagian dari peradaban baru ini untuk melihat bagaimana manusia memainkan peran ekspresi di dalam lokalitasnya.
Pada ARKIPEL Homoludens tahun ini, tiga filem yang masuk dalam program ini cukup representatif dalam melihat kembali bagaimana permainan ruang-ruang itu kembali muncul.
Bukan lagi sebagai ruang fisik, ruang digital artifisial melahirkan pemahaman baru atas konsep ruang dalam konteks kebudayaan manusia. Estetikanya menjalin relasi yang baur antara yang lampau dan yang kini. Pertemuannya dalam interaksi menjadi kelahiran ruang kontemporer baru di dalam sinema. ***
The practice of juxtapositioning images to cultivate imaginations on the outlook of a certain territory or location claimed by a system of sign — a particular behavior, attribute, or its environment—always invites us to question human’s existence in continuous interaction with their surroundings. This narration constructs an aesthetic notion of how they protect or reclaim their territory for the sake of survival. In this relation, new opportunities and spaces arise as an essential scheme in reading and understanding the complexity of human and the space they live in.
Upon their interaction, the emergence of these new spaces is one of the consequences of the process. At first, it was built through hopes and dreams, even though the function itself transforms over time, and the dreams slowly fade. This space is parallel with others that precede it, and it is also influenced by human’s instinct, which presence is resisted in the process of interaction. Attempts of negotiation become a way to overcome this; patterns of relations are built in many ways, individually or communally, in the hope of a new purpose arising in this space.
Reading the presence of this space in cinema gives the public an opportunity to find a new understanding on the concept of space in the human civilization. Elements from the previous spaces no longer dominate the civilization. Artificial space also comes in a new form, mixed and struggles to breach the partition between thick walls. Slowly, it becomes a new reality where ideas and identities are reformed. Its encounter proposes a game and its civilization proposes a utopian dream for humans. Therefore, exploration of the medium becomes a part of this new civilization, to observe how humans play their role of expression in their locality.
In ARKIPEL Homoludens this year, the three films in this program represent the re-examination of how the game of spaces reappears.
No longer a physical space, the artificial digital space brings a new understanding of the concept of space in human civilization. Its aesthetic interweaves a diffusive relation between the past and the present. Its encounter within the interaction gives birth to a contemporary space in cinema. ***
Film List
Grid Corrections
Filmmaker Gerco de Ruijter & Michel Banabila (Spain)
International Title Grid Corrections
Country of Production The Netherlands
Language –
Subtitle –
2 min, color, stereo, MPEG-4 Video, 1:1, 2016
Suatu eksplorasi visual dari hasil pendokumentasian kisi-kisi citra satelit yang mengabstraksikan makna baru yang berubah menjadi bidang-bidang, garis-garis, dan ruang-ruang datar. Pergeseran atau distorsi yang terjadi dan bagaimana semua elemen dasar tersebut membentuk konfigurasi geografis memantik polemik tentang batas-batas wilayah imajiner.
A visual exploration produced from documentation of the grids of satellite’s imagery, illustrating a new changing meaning into fields, lines and flat spaces. The shift and distortion occur and how all those basic elements form geometrical configuration triggering polemic on the boundaries of the imaginary territory.
Gerco de Ruijter adalah seniman visual yang berbasis di Rotterdam, bekerja di bidang fotografi dan filem. Karyanya mengeksplorasi sejauh mana penyajian lanskap dapat direduksi namun tetap dapat dikenali.
Gerco de Ruijter is a Rotterdam-based visual artist working in the field of photography and film. His art explores how far presentation of the landscape can be reduced and yet still remain recognizable.
Michel Banabila merilis musik sejak tahun 1983 dan telah menghasilkan musical scores untuk sejumlah filem, dokumenter, teater dan koreografi. Karyanya telah dirilis secara internasional oleh label seperti Bureau B (DE) dan Séance Center (CA).
Michel Banabila releases music since 1983 and has produced musical scores for numerous films, documentaries, theatre plays and choreographies. His work has been released internationally by labels like Bureau B (DE) and Séance Centre (CA).
GIVE
Filmmaker David de Rozas (Spain)
International Title GIVE
Country of Production Nama Negara
Language English
Subtitle English
17 min, color, stereo, HDV, HD, 16:9, 2017
Melalui pendekatan fiksi dan dokumenter, hadir sebuah kolase monumental—yang dikumpulkan dari berbagai kliping oleh seorang pendeta kulit hitam bernama Roland Gordon—yang telah serupa monumen memorial tentang peran dan pencapaian kaum Afro-Amerika. Narasi visual alternatif, ribuan potongan foto anonim, surat kabar, majalah, dan poster yang ditempelkan di dinding-dinding oleh sang pendeta, merupakan upayanya untuk mengkonstruksi dan mempertahankan warisan genealogi budaya ingatan kaumnya akan identitas.
Through fiction and documentary as an approach, a monumental collage – collected from various clippings by a blacked-skin priest named Roland Gordon – has resembled a memorial monument about the roles and achievements of the Afro-American. Alternative visual narratives, thousands of anonymous photograph snippets, newspaper, magazine and poster pasted on the walls by the priest, is his attempt to construct and defend the cultural heritage of his people’s memory on identity.
David de Rozas adalah pembuat filem independen dan produser yang berbasis di California, AS. Ia lahir di Eropa Selatan dan memperoleh MFA di Cinema di San Francisco State University, dan BA di bidang Fine Arts dari Complutense University di Madrid. Minatnya berhubungan dengan politik sejarah, ingatan, dan identitas melalui berbagai medium dan format.
David de Rozas is an independent filmmaker and cultural producer based in California, US. He was born in Southern Europe. He earned an MFA in Cinema at the San Francisco State University, and BA in Fine Arts from the Complutense University in Madrid. His interests relate to the politics of history, memory, and identity through a range of mediums and formats.
Overnight Flies
Filmmaker Georg Tiller (Austria)
International Title Overnight Flies
Country of Production Austria
Language Swedish
Subtitle English
97 min, color, stereo, 4K RED, 1:1.85, 2016
Gambaran sunyi tentang potret imigran Afrika di sebuah pulau kecil yang terisolasi di Swedia. Berteman dengan warga lokal yang tinggal dalam hutan serta dikelilingi suara-suara burung, dirinya menjelajahi tiap-tiap jalan, pohon-pohon, semak, padang rumput, untuk mengingat kembali momen-momen yang direkamnya ke dalam kamera hanya untuk menemukan makna perpindahan.
A quiet depiction on a portrait of an African immigrant living in a small isolated island in Swedia. Being friend with a local, living in the wood surrounded by the sound of birds, he explores every road, trees, bushes and meadows, to commemorate the moments he recorded in the camera to find the meaning of displacement.
Georg Tiller mempelajari filem dan televisi di Akademi Seni Rupa Vienna, penyutradaraan filem dan sinematografi di Film Academy Vienna dan penyutradaraan filem di German Film and Television Academy Berlin (dffb). Tiller telah memproduksi dan menyutradarai beberapa filem layar panjang, dokumenter, dan filem eksperimental.
Georg Tiller studied film and television at the Academy of Fine Arts Vienna, film directing and cinematography at the Film Academy Vienna and film directing at the German Film and Television Academy Berlin (dffb). Tiller has produced and directed several feature films, documentaries and experimental films.
About the Host
Syaiful Anwar (Lahir di Jakarta, 1983) adalah seorang pembuat filem dan penata kamera. Golden Memories (2018) merupakan filem fitur keempatnya. Sebelumnya ia menyelesaikan Dongeng Rangkas (2011), Elesan deq a Tutuq (2013), dan Harimau Minahasa (2015). Ia juga banyak terlibat sebagai penata kamera di dalam filem-filem fitur produksi Forum Lenteng, seperti Naga yang Berjalan di Atas Air (2012), Anak Sabiran Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) (2013), dan Marah di Bumi Lambu (2014).
Syaiful Anwar adalah salah satu anggota tim selektor ARKIPEL homoludens.
Syaiful Anwar (Born in Jakarta, 1983) is a filmmaker and cinematographer. Syaiful Anwar (Jakarta, 1983). A filmmaker, has made three feature documentary before Golden Memories: Dongeng Rangkas (2011), Elesan deq a Tutuq (2013), and Harimau Minahasa (2015). He was also cinematographer in many Forum Lenteng feature documentary such as Naga yang Berjalan di Atas Air (2012), Anak Sabiran Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) (2013), and Marah di Bumi Lambu (2014).
Syaiful Anwar is one of the selector members of the ARKIPEL homoludens.