Menembus Batasan Citra, Meruntuhkan Rezim Sensibilitas
Apakah Anda pernah melihat sebuah gambar yang dapat dilihat sebagai dua hal? Orang-orang menyebutnya sebagai gambar ambigu atau ilusi optik. Salah satu yang terkenal adalah gambar seorang perempuan muda yang juga dapat dilihat sebagai perempuan tua. Satu hal yang unik dari gambar-gambar semacam ini adalah Anda tidak dapat melihat kedua gambarnya secara sekaligus.
Jika Anda memutuskan untuk melihat gambar perempuan muda, maka gambar perempuan tua itu akan menghilang dari pikiran Anda, begitu pula sebaliknya. Kata kunci yang digunakan di sini adalah ‘memutuskan’. Anda memiliki otoritas untuk menentukan imej apa yang ingin Anda lihat. Pun begitu, terkadang Anda harus mempertanyakan apakah otoritas Anda benar-benar milik Anda atau justru konstruksi dari kehidupan sosial yang Anda jalani?
Contoh yang saya sebutkan sebelumnya hanya menjelaskan imej yang secara intensional dibuat untuk dapat dipandang dari dua perspektif berbeda. Pada kenyataannya, sifat dualitas dari imej adalah hal yang senantiasa melekat padanya dalam medium apa pun. Meminjam kata-kata Jacques Ranciere, Akbar Yumni, kurator untuk subprogram Kompetisi Internasional ARKIPEL Penal Colony yang bertajuk “Duality”, menyebut fenomena ini sebagai ‘partisi sensibel’ (partition of the sensible).
Menurut Yumni, kita selama ini telah dipaksa untuk memandang suatu citraan secara satu dimensi. Rezim sensibilitas memutuskan apa yang patut kita lihat dan mengabaikan sifat dualitas dari sebuah imej. Konformitas dan sensibilitas pada dasarnya adalah hal yang serupa. Keduanya mencoba menata masyarakat menuju sebuah rekaan stabilitas mutlak yang di dalamnya segala hal berada pada posisi ‘yang seharusnya’.
Tiga filem yang diputar pada Jumat, 25 Agustus 2017 di studio Kineforum: Housewarming (2016), Two Worlds (2016), dan Backstage (2016) mencoba mengajak kita untuk kembali melihat dualitas dari sebuah imej. Dalam bahasa Yumni, filem-filem ini bertujuan untuk melakukan destabilitasi terhadap sebuah rezim sensibel yang ‘terberi’ (given). Empat belas penonton yang menghadiri acara ini diminta untuk menguak suatu kesedihan di balik kebahagiaan, kerinduan di balik kebencian, dan ketulusan di balik kepura-puraan.
Housewarming menampilkan kedua sutradaranya, Effi Weiss & Amir Borenstein, sebagai sosok inkarnasi Goldilocks dari kisah “Goldilocks and Three Bears.” Dalam filem tersebut, tokoh Effi & Amir digambarkan sedang menginvasi sebuah rumah terbengkalai di wilayah pedesaan Albania. Secara surealis, kedua tokoh tersebut digambarkan sebagai alien yang memiliki teknologi lebih maju daripada warga pribumi. Dalam beberapa kesempatan, Effi & Amir digambarkan mampu duduk dan berbaring di atas sebuah kursi dan kasur yang tidak terlihat. Di mata para pribumi, kedua alien tersebut terlihat menikmati kehidupannya di sebuah bangunan yang dianggap tidak layak huni. Hal ini menimbulkan berbagai reaksi dari warga pribumi.
Reaksi pertama yang muncul adalah penolakan. Sejumlah warga pribumi secara terang-terangan mengaku terusik oleh kehadiran Effi & Amir dan menginginkan mereka untuk pergi. Beberapa mempertanyakan alasan mereka mengokupasi rumah tersebut, mempertanyakan apa untungnya bagi ras maju seperti Effi & Amir untuk tinggal di lingkungan yang lama terbengkalai itu. Pada perkembangannya, sejumlah pribumi mulai merasa penasaran dengan sosok alien ini dan mencoba untuk menjalin komunikasi. Akan tetapi, hal ini tidak membuahkan hasil.
Housewarming pada dasarnya menggambarkan sebuah fenomena yang disebut dengan ‘liminalitas’, yaitu sebuah situasi dimana suatu objek berada pada kondisi transisi, tidak A dan juga tidak B. Rumah terbengkalai yang diinvasi Effi & Amir tidak sepenuhnya hancur namun juga tidak selesai dibangun. Lanskap Albania yang menjadi tanah mereka berpijak juga masih terombang-ambing antara mempertahankan tradisi komunisme dan menyambut kapitalisme.
Sementara itu, para pribumi juga tidak tahu apakah harus senang atau marah dengan kehadiran Effi & Amir. Dualitas yang ditampilkan oleh Housewarming tidak memberikan kesempatan bagi penonton untuk memilih satu imej. Sebaliknya, mereka justru membuat kita meragukan hasrat kita untuk mendapatkan suatu kebenaran yang absolut. Sebuah upaya yang akan selalu sia-sia.
Two Worlds menggambarkan sebuah kisah mengharukan mengenai suka-duka tokoh Laura dalam menjalani kehidupannya bersama kedua orangtuanya yang tuna rungu. Dalam setiap kesempatan, Laura harus senantiasa menemani kedua orangtuanya untuk menjadi penerjemah bahasa isyarat agar mereka dapat hidup di tengah masyarakat. Laura tidak pernah merasa tenang ketika berada di sekolah, menyatakan bahwa ia selalu khawatir ibunya mengalami kecelakaan di rumah dan tidak dapat memanggil ambulans.
Akan tetapi, Laura senantiasa menunjukkan sikap tegar ketika berhadapan dengan masyarakat. Menurutnya, ia tidak akan memaafkan orang-orang yang menghina orangtuanya. Dalam hal ini, Laura terkesan sebagai sosok anak yang berbakti kepada orangtuanya, rela untuk bertanggung jawab atas nyawa yang bukan miliknya secara altruistik. Namun sebagaimana filem lain yang diputar pada sesi ini, imej yang tergambarkan tidak akan pernah memiliki satu makna.
Di balik topeng ketegaran yang dikenakan Laura, tersembunyi sebuah kerapuhan dimana Laura merasa bahwa hidup tidak adil. Perlu diketahui bahwa Laura dalam filem tersebut digambarkan baru berusia 12 tahun. Keharusannya untuk senantiasa menemani orangtuanya telah berdampak signifikan bagi pertumbuhannya. Laura menjadi kehilangan kesempatan untuk bergaul dengan teman-temannya. Ia sama sekali tidak terpikir untuk mencari pacar karena merasa tidak akan ada laki-laki yang mampu memahami kondisinya. Ketika ditanya apakah ia ingin memiliki seorang adik, Laura dengan tegas menjawab tidak karena tidak mau bebannya semakin bertambah.
Bahasa isyarat yang digunakan Laura untuk berkomunikasi dengan kedua orang tuanya juga menjadi subjek dari dualitas. Dalam sebuah narasi, Laura menyatakan bahwa komunikasi dengan bahasa isyarat tidak pernah semudah yang dibayangkan orang-orang. Bahasa isyarat umumnya tidak benar-benar merepresentasikan bahasa oral. Terdapat banyak kata dan istilah yang tidak dapat disampaikan dengan bahasa isyarat. Hal ini menyebabkan Laura harus memberikan usaha ekstra untuk dapat menjadi penerjemah bagi orangtuanya. Dalam hal ini, Laura menyatakan bahwa ia dan orangtuanya seolah hidup dalam dua dunia yang berbeda. Sungguh sebuah kisah yang memilukan dan membuat saya menjadi sangat emosional.
Setelah menonton Housewarming yang begitu surreal dan Two Worlds yang begitu emosional, penonton dapat bernapas lega karena disuguhi filem Backstage yang lebih gembira dan cenderung jenaka. Filem yang disutradarari oleh Laurie Cohen ini menggambarkan kegiatan latihan akting yang dilakukan oleh pemain-pemain teater dengan beragam latar belakang rasial. Secara umum, teater selalu dikenal sebagai panggung sandiwara. Seorang aktor diminta untuk melepaskan identitas dirinya untuk memerankan seorang tokoh yang sama sekali bukan dirinya. Istilah teater kemudian sering dikontraskan dengan kehidupan sehari-hari yang dianggap lebih sejati dimana orang-orang dapat benar-benar menjadi dirinya. Akan tetapi, anggapan tersebut berhasil dibalik melalui filem ini.
Dalam filem Backstage, para aktor bertestimoni bahwa justru di atas panggung teaterlah mereka dapat menjadi dirinya sendiri. Ketika berada di atas panggung, seorang aktor dapat melupakan segala ekspektasi masyarakat dan menyatu dengan tokoh yang diperankannya. Ketika seorang aktor marah-marah di atas panggung, maka mereka sungguh-sungguh merasa kesal. Ketika seorang aktor menangis di atas panggung, mereka sungguh-sungguh bersedih. Sebaliknya, para aktor justru merasa bahwa kehidupan sehari-harilah yang lebih dipenuhi oleh kepura-puraan. Demi memenuhi suatu ekspektasi tertentu dari masyarakat, setiap orang dipaksa untuk memerankan suatu tokoh yang sesungguhnya tidak ingin ia perankan.
Backstage pada dasarnya menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara panggung teater dan kehidupan sehari-hari. Setiap orang, di setiap kesempatan, senantiasa bersandiwara. Perbedaannya hanyalah aktor memiliki otoritas untuk menentukan peran yang ingin ia perankan, sementara orang biasa tidak memiliki pilihan selain menjadi ‘penjilat’ untuk menaiki tangga karir. Sebab jika seseorang tidak mau memainkan suatu peran yang diekspektasikan kepadanya, dapat dijamin bahwa mereka tidak akan mampu bertahan hidup di tengah masyarakat.
Sebagai penutup, saya ingin menyatakan bahwa tidak ada yang namanya kebenaran mutlak. Suatu objek atau peristiwa selalu dapat dilihat dari berbagai sisi. Layaknya dua wajah pada sebuah koin, kita harus menyadari bahwa kita memiliki suatu otoritas untuk menentukan sisi mana yang ingin kita lihat. Jangan biarkan suatu kekuatan eksternal mendikte keputusan Anda.
Pada awalnya, hal ini mungkin akan sulit. Sama halnya seperti seekor ngengat yang tidak mampu menolak untuk terbang mendekati api, diperlukan kekuatan mental yang kuat untuk mengatakan “Tidak, api ini akan membunuhku!” Membangkitkan kesadaran adalah langkah pertama yang dibutuhkan untuk menciptakan mentalitas semacam itu. Saya kira, filem-filem yang diputar pada sesi ini telah berhasil untuk menggiring kita menuju langkah pertama tersebut. ***
Beyond the Boundary of Image, Breaking the Regime of Sensibility
Have you ever seen a picture that can be seen in two ways? People calls it an ambiguous picture or optic illusion. One of the most famous example is a picture that can be seen as a young woman as well as an old woman. One thing that is unique to this kind of pictures is that you cannot see both of the pictures at the same time.
If you decided to see a picture of a young woman, then the picture of an old woman will disappear from your mind, and vice versa. The keyword used in this statement is “deciding.” You have an authority to decide which image you want to see. However, sometimes you must also question whether your authority truly belongs to you or instead a construction of your daily social life?
The example I mentioned above is only explaining about images which is intentionally made to be seen in two different perspectives. But in reality, the duality nature of image is something that will always be prevalent in images, no matter the medium. Borrowing the words of Jacques Ranciere, Akbar Yumni, the curator for ARKIPEL Penal Colony international competition program themed “Duality,” called this phenomenon a ‘partition of the sensible’.
According to Yumni, all this time we have been forced to see an image in one dimension. The regime of sensibility decides on what we should see and disregards the duality nature of an image. Conformity and sensibility is basically the same thing. Both tries to arrange the society into a fictive stability where everything is ‘where it should be’.
The three films screened on Friday, August 25th, 2017, in studio Kineforum: Housewarming (2016), Two Worlds (2016), dan Backstage (2016) tries to invite us to recapture the duality of an image. In Yumni’s words, this films are made to destabilize a given regime of sensibility. The fourteen audience attending this session were asked to find a sadness behind a happiness, a yearning behind a hatred, and a sincerity behind a pretense.
Housewarming stars both of its directors, Effi Weiss & Amir Borenstein, as an incarnation of Goldilocks from the tale of “Goldilocks and Three Bears.” In that film, the character played by Effi & Amir, is portrayed as an invader of an abandoned house in the suburban area of Albania. In a surrealistic way, the two characters were portrayed as an alien who has a far advanced technology compared to the natives. In some sequence, Effi & Amir is shown able to sit and lie on an invisible chair and bed. In the eyes of the natives, the two aliens seem to enjoy their life in a building which is considered not habitable. This causes many reactions from the natives.
The first reaction is rejection. Some of the natives blatantly said that they were disturbed by the presence of Effi & Amir and demand them to leave. Some questions their reason to occupy that house, asking what is the benefit for an advanced race such as Effi & Amir to live in a building which has been long abandoned. In the end, some of the natives are beginning to feel curious about these aliens and they decide to start a communication. However, all of their effort went in vain.
Housewarming basically depicts a phenomenon known as ‘liminality’, that is a situation where an object is in a state of transition, neither A nor B. The abandoned house which was invaded by Effi & Amir is not fully destroyed but it is also not finished. The landscape of Albania where they stand is also still walk the line between communism and capitalism.
Meanwhile, the natives don’t know whether to be happyor mad with the presence of Effi & Amir. The duality presented in Housewarming does not give the audience a chance to choose between the two images. Instead, they made us questions our desire to get the so-called absolute truth. An effort which will always be in vain.
Two Worlds tells a heartbreaking story of the ups and downs of the character Laura who lives with her deaf parents. In every sequence, Laura must always accompany her parents in order to translate their sign language so they can live in the society. Laura always feels anxious when she is at school because she is afraid that her mother would fall on an accident and could not call an ambulance.
Nevertheless, Laura always shows her tough side when she face the society. She said that she will never forgive someone who insults her parents. In this case, Laura gives an impression of a good girl for her parents, altruistically willing to be responsible for the lives of others. But just like the other films screened in this session, the image we see can’t possibly have one meaning only.
Behind the mask of toughness that Laura wore, a fragility is hidden that makes her feel that life is unfair. It should be noted that Laura is portrayed as a 12-years old girl. Her obligation to always accompany her parents has done significant effect to her growth. Laura is seen losing her chance to hang out with her friends. She does not even think of having a boyfriend because she thinks that no guy will ever understand her condition. When asked whether she wants to have sibling, Laura immediately said no, because she does not want to have another burden.
The sign language used by Laura to communicate with her parents is also a subject to duality. In a narration, Laura said that communicating with sign language is not easy as people thinks. Sign language in general does not really represent oral language. There are many words missing from sign language and there are many things that can’t be communicated with it. This made Laura has to put up an extra effort to become a translator for her parents. In this case, she said that she feels as if her parents and her live in a totally different world. It was such a heartbreaking story that makes me very emotional.
After having a surrealistic experience with Housewarming and getting emotionally heartbroken by Two Worlds, the audience can take a breath because the next film Backstage is much more fun and energizing. The film directed by Laurie Cohen depicts an acting training activity done by theatrical actors with different racial background. In general, a theatre is always considered to be a stage of pretense. An actor is asked to release their identity in order to play a character which is not themselves at all. The term theatre is then contrasted with everyday life which is considered to be truer where people can truly be themselves. However, such assumption is reversed in this film.
In the film Backstage, the actors testify that it is on the stage where they can truly be themselves. When they play on the stage, an actor can forget all of the society’s expectations and merge with the character they play. When an actor is angry on a stage, they are truly feeling furious. When an actor cries on a stage, they are truly feeling sad. On the contrary, the actors actually believe that it is everyday life which is full of pretense. In order to fulfill a certain expectation from the society, every individual is forced to play a character that they actually despise.
Backstage basically says that there is no difference between theatre and everyday life. Every person, in every situation, is always acting. The only difference is that an actor has an authority to decide what character they want to play, while common people have no choice but to be a ‘sycophant’ in order to get a raise in their career. Because if one does not want to play a part that the society expect them, it can be guaranteed that they won’t be able to survive in the society.
As a closing statement, I want to say that there is no such thing as absolute truth. An object or a phenomenon can always be seen from different perspectives. Just like the two faces of the same coin, we must always be aware that we have an authority to decide which side we want to see. Don’t let an external force dictate on your decision.
In the beginning, this must be hard. Just like a moth who can’t refuse to fly into a flame, a strong mental fortitude is required to be able to say “No, this flame will kill me.” Raising an awareness is the first step required to create such mentality. I believe that the films screened in this session has succeeded to bring us to that first step. ***