Candrawala: Para Penyemai Keabadian
Dikenang adalah keinginan yang mengakar kuat pada manusia. Dan memori adalah lokasi yang, sukarela maupun tidak, paling sering dikunjungi. Dengan merekam, memori terkristalisasi, tersemai oleh banyak pandang, tumbuh dalam fragmen-fragmen ingatan. Lewat proses mengenang hidup berjalan dua kali, tiga kali, empat kali, seterusnya menuju abadi.
Itulah yang saling berbisik antar filem-filem dalam program pemutaran Candrawala: Perpanjangan Hasrat Bertutur di ARKIPEL Garden of Earthly Delights – 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. Program pemutaran ini berlangsung pada hari Sabtu, 31 Agustus 2024 mulai jam 7 malam dan dikuratori oleh Wahyu Budiman Dasta. Ia menyatakan lewat tulisan kuratorialnya bahwa penggunaan kamera dan sosial media adalah perpanjangan hasrat untuk mendokumentasikan realitas sekaligus sebagai sarana untuk membagikan pengalaman hidup dan mempertahankannya lewat memori individual dan kolektif.
Di filem pertama berjudul Difraksi (2024) garapan Sigat Rambito, kita diingatkan bahkan saat diri ini tidak memiliki keinginan untuk merekam keseharian hidup sendiri ada orang lain yang baik sengaja ataupun tidak suatu waktu akan menjadi penutur cerita itu. Kemudahan akses alat perekam dan sarana distribusinya via media sosial membuat semua hal memiliki nilai tambah untuk didokumentasikan, diinginkan maupun tidak, lewat diri sendiri ataupun orang lain.
Subjek kenangan tidak hanya seputar keseharian. Tradisi juga hal yang tidak jarang diletakkan di depan kamera. Filem Lamun (2022) oleh Shelvira Alyya merekonstruksi ulang ritual pernikahan tradisional ditemani dengan tembang-tembang berbahasa Sunda mulai awal hingga akhir. Tuturan-tuturan verbal ini terkristalisasi tiga kali, pertama lewat perekaman wujud soniknya, kedua lewat penerjemahan harfiah oleh subtitle filemnya, dan ketiga lewat rekaan visual dan filem itu sendiri. Namun, tidak hanya tradisi “bahagia” saja yang memantik hasrat seperti yang diujar di awal. Made Virgie Avianthy di Rest in God’s Light (2023) mengabadikan duka lewat prosesi ngaben, sebuah ritual pemakaman di Bali. Linearitas ingatan tidak lagi saklek. Kita tidak hanya dapat mengalami kembali secara progresif—menuju akhir mendekati duka, atau mundur menuju awal saat duka belum hadir, atau secara sekaligus melihat awal bergerak maju dan melihat akhir berpindah mundur seperti visual filem yang disajikan dalam sepasang frame berdampingan.
Di lain sisi, Batu Tinjang (2023) karya Alya Maolani menyatakan bahwa bukan hanya ritual yang wujudnya ditangkap oleh kamera, cerita rakyat pun tidak lepas dari cengkramannya yang semakin luas. Penyebaran cerita yang awalnya oral lewat bahasa Sasak dikristalisasi lintas indra oleh lingua franca sinema, menjadi bentuk visual lewat ilustrasi-ilustrasi penuh warna buatan tangan manusia, melodi yang menguatkan ingatan, dan tambahan bahasa yang dimengerti semua.
Saat merekam sesuatu yang bukan dirinya, perekam sebenarnya memiliki keinginan untuk ikut dikenang lewat subjek rekamannya. Ini seringkali hanya sekadar tersirat, namun dalam filem Outside the Frame (2023) oleh Micko Boanerges hal tersebut menjadi tersurat, tertutur, dan terabadikan. Keinginan tersebut bahkan mengalahkan rasionalisasi pemilihan subjek dokumentasi, yang penting ada wujud yang ditangkap. Perihal mengapa, ia akan hadir sendiri nantinya. Yang dicerna oleh pandang memang hanya sebuah persimpangan, namun yang tak kasat adalah tujuan sebenarnya.
Terlepas dari ingin-tidaknya untuk dikenang, praktik-praktik dokumentasi dan penceritaan yang dilakukan oleh individu-individu di atas adalah praktik pembekuan realitas. Dan mereka, penyemai keabadian.
–
Program Candrawala kemudian dilanjutkan dengan Q&A dengan kelima sutradara, dipandu oleh Wahyu Budiman Dasta sebagai kurator dan diterjemahkan oleh Niskala H. Utami. Q&A dimulai dengan masing-masing sutradara menceritakan pengalaman mereka dalam membingkai karya masing-masing. Pertanyaan pertama dilontarkan oleh Niskala H. Utami, ia merasa filem-filem yang diputar dalam program ini bisa mendefinisikan ulang sinema karena metode narasinya yang berbeda dengan arus utama dan ia ingin mengetahui bagaimana tanggapan masing-masing filmmaker akan hal tersebut. Micko Boanerges menyatakan bahwa karena pengetahuan sinema yang didapatkan dari universitas yang merupakan institusi pendidikan dengan pakem tertentu membuat dirinya ingin mencoba keluar dari pakem tersebut. Shelvira Alyya lanjut merespon bahwa filemnya adalah upaya mendekatkan konteks tutur dan ketidakpahaman tradisi dengan keluar dari bahasa sinema dan lebih menjadikan tutur sebagai tools utama..
Yuki Aditya kemudian bertanya apakah dalam membuat filem-filem dengan lokasi spesifik karena ingin membicarakan yang telah mereka ketahui atau karena ingin lebih tahu? Made Virgie Avianthy menceritakan bahwa dirinya bertujuan untuk membandingkan persepsi pengalaman prosesi ngaben antara Bali dan Jawa. Sigat Rambito menjawab bahwa karena filemnya scripted maka sudah seharusnya ia tahu merefleksikan pengalaman pribadinya saat melihat orang-orang di lokasi filemnya, yaitu Blok M, namun saat proses post-production muncul keinginan untuk membicarakan lebih jauh tentang pengalaman tersebut. Alya Maolani setelah melalui proses riset yang intensif, filem yang diniatkan hanya fokus pada aspek suara, mendapatkan temuan bahwa ada budaya lain yang melengkapi budaya tutur oleh karena itu lahirlah gambar-gambar latar belakang seperti yang ada dalam bentuk akhir filemnya. Shelvira Alyya memberitahu bahwa aspek mitos dalam filem sudah ia ketahui dan ia ingin ketahui lebih lanjut adalah bagaimana respon ibu, nenek, dan perempuan lainnya terhadap gambaran kekerasan simbolik dalam filemnya.
Phoebe Wong bertanya kenapa Made Virgie Avianthy memutuskan untuk menggunakan dua frame, yang dijawab karena keinginannya untuk mendefinisikan ulang siklus hidup-mati berdasarkan persepsi budaya Bali yang menganggap kematian bukanlah akhir namun merupakan awal. Alifah Melisa bertanya kepada Alya Maolani, apa pertimbangannya dalam memilih Batu Tinjang di antara cerita-cerita rakyat lain yang telah dikumpulkan? Yang kemudian menjelaskan bahwa saat ia melakukan survei lokasi untuk cerita rakyat tersebut, ketiadaan batu yang menjadi sentral cerita mengintensifikasi ketertarikan untuk memfilemkan cerita rakyat itu.
Selengkapnya dapat dialami kembali lewat reels instagram @arkipel .
Candrawala: Sowers of Eternity
To be remembered is a deeply rooted desire in humans. And memory is the place that, willingly or unwillingly, is revisited most often. Through the act of recording, memory is crystallized, sown by many gazes, and grown into fragments of memory. Through the process of reminiscing, a life is lived twice, three times, four times, and so on into eternity.
That is what whispers between the films in the Candrawala screening program: The Extension of the Desire to Tell at ARKIPEL Garden of Earthly Delights – 11th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. This screening took place on Saturday, 31 August 2024 starting at 7pm and was curated by Wahyu Budiman Dasta. He stated in his curatorial writing that the use of cameras and social media is an extension of the desire to document reality as well as a means to share life experiences and preserve them through individual and collective memory.
In the first film titled Diffraction (2024) by Sigat Rambito, we are reminded that even when we do not have the desire to record our own daily lives, there are other people who, intentionally or unintentionally, will one day become the storytellers. The convenience of access to recording devices and its distribution via social media makes all things have additional value to be documented, whether wanted or not, through oneself or others.
The subject of memories is not only about daily life. Tradition is also something that is often put in front of the camera. Shelvira Alyya’s film Lamun (2022) reconstructs a traditional wedding ritual accompanied by Sundanese songs from start to finish. These verbal utterances are crystallized three times, first through the recording of its sonic form, again through the literal translation by the film’s subtitles, and three times through the visual recreation and the film itself. However, it is not only “happy” traditions that stir the desires mentioned earlier. Made Virgie Avianthy in Rest in God’s Light (2023) captures mourning through the procession of ngaben, a funeral rite in Bali. The linearity of memory is no longer binding. We can not only re-experience progressively-toward the end of approaching grief, or backward to the beginning when grief is not yet present, or simultaneously see the beginning move forward and the end move backward as the film visuals are presented in a pair of frames side by side.
On the other side, Alya Maolani‘s Batu Tinjang (2023) states that it is not only rituals whose form is caught by the camera, but also folklore that is not immune from its ever-widening grip. The transmission of stories that were originally orals via the Sasak language are crystallized cross-sensory by the lingua franca of cinema, becoming visual forms via colorful illustrations made manually, melodies that reinforce memories, and additional languages that all can understand.
When recording something that is not themselves, the recorder actually has a desire to be remembered through its subject. This is often only implied, but in Micko Boanerges‘ Outside the Frame (2023) it becomes explicit, articulated, and preserved. The desire even defeats the rationalization in choosing the subject of documentation, as long as there is a form that is being recorded. As for the whys, they will present themselves later. What is perceived by the viewer is perhaps only an intersection, but the imperceptible is the final aim.
Regardless of whether they want to be remembered or not, these practices of documentation and storytelling carried out by the individuals above are practices of suspending realities. And they are, in essence, seeders of immortality.
–
The Candrawala program was followed by a Q&A with the five directors, hosted by Wahyu Budiman Dasta as curator and translated by Niskala H. Utami. The Q&A began with each director sharing their experiences in framing their respective works. The first question was asked by Niskala, she felt that the films screened in this program could redefine cinema because of their different narrative methods from the mainstream and she wanted to know how each filmmaker responded to it. Micko Boanerges stated that because of the knowledge of cinema obtained from university, which is an educational institution with a certain standard, he wanted to try to get out of it. Shelvira Alyya further responded that her film is an effort to bring the context of storytelling and incomprehension of tradition by escaping the language of cinema and making storytelling as the main tool.
Yuki Aditya then asked, did they make films with specific locations to talk about what they already knew or because they wanted to know more? Made Virgie Avianthy said that she aimed to compare the perception of ngaben procession between Bali and Java. Sigat Rambito answered that because his film is scripted, he should know how to reflect his personal experience when seeing people in the location of his film, Blok M, but during the post-production process, he wanted to talk more about the experience. After going through an intensive research process, Alya Maolani, whose film was intended to focus only on the sound aspect, found that there was another culture that complemented the culture of speech, therefore the accompanying background images as in the final form of her film were created. Shelvira Alyya told us that she already knew the mythical aspect of the film and she wanted to know more about how mothers, grandmothers, and other women respond to the symbolic violence depicted in her film.
Phoebe Wong asked why Made Virgie Avianthy decided to use two frames, to which she answered that she wanted to redefine the life-death cycle based on the Balinese cultural perception that death is not the end but the beginning. Alifah Melisa asked Alya Maolani, what was her consideration in choosing Batu Tinjang among the other folktales that had been collected? She explained that during her location survey for the folktale, the absence of the stone at the center of the story intensified her interest in filming the folktale.
More can be experienced through @arkipel’s Instagram reels.