Candrawala I: Ininnawa dan Pulau-pulau yang Terpinggirkan
Melalui tema kurasi Mapping the Grid atau Memetakan Kisi-kisi, ARKIPEL Noli Me Tangere – 10th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival memutar satu filem pada hari Jumat, 29 September 2023 pukul 19.00 WIB. Dini Adanurani, sebagai kurator, membuka sesi tersebut dengan menyatakan bahwa filem yang akan diputar, Ininnawa: An Island Calling (2023), merupakan salah satu filem yang termasuk ke dalam program Candrawala yang diinisiasi oleh Forum Lenteng. Ia menambahkan, Ininnawa mencoba menangkap bagaimana subjek beririsan dengan lapisan-lapisan sosial-politik dengan sekitarnya. Menurut Dini, lensa dalam filem ini menjadi semakin lebih tajam dalam mengangkat permasalahan-permasalahan subjek melalui adegan-adegan yang sederhana.
Ininnawa: An Island Calling merupakan filem yang disutradarai oleh Arfan Sabran dan rilis pada tahun 2023. Filem ini meraih Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) di tahun 2022. Pada sebuah wawancara yang dimuat di media nasional, Arfan menyebutkan, Ininnawa diambil dari bahasa bugis yang berarti ketulusan hati untuk melakukan hal yang baik. Filem ini dibuka dengan memperlihatkan keindahan pulau-pulau terpencil di Makassar menggunakan bird view, kemudian kamera mulai menyorot karakter utama dari filem ini, Rabiah, sebagai tenaga kesehatan yang mengabdi untuk masyarakat di pulau-pulau terpencil di Makassar. Arfan telah mengenal dan membangun hubungan dengan Rabiah dan keluarganya selama 15 tahun.
Pada awal-awal filem, Arfan melalui Ininnawa, mencoba menjelaskan melalui pendekatan observasional tentang bagaimana kehidupan sehari-hari seorang Rabiah sebagai satu-satunya tenaga kesehatan yang harus berpindah-pindah pulau untuk memeriksa pasien karena kurangnya tenaga kesehatan di pulau-pulau terpencil tersebut. Tak jarang ia harus menetap di suatu pulau dalam jangka waktu yang lama untuk mengurus pasien-pasiennya. Setelah penonton mengikuti Rabiah dalam menjalankan kesehariannya, di pertengahan filem, Arfan pun mulai menceritakan subjek lain, Mimi, anak Rabiah yang terkadang membantu Rabiah untuk memeriksa pasien. Tidak seperti ibu dan anak pada umumnya, Arfan mengungkap bagaimana relasi ibu dan anak dalam adegan-adegan singkat antara Rabiah dan Mimi, kemudian diperkuat kembali oleh wawancara yang ia lakukan kepada Mimi.
Arfan menyelipkan segelintir percakapan konyol dan sarkas di beberapa adegan. Menjelang akhir filem, Ininnawa menjelaskan situasi pandemi Covid-19 mulai merebak serta bagaimana reaksi masyarakat di pulau-pulau tersebut. Arfan sedikit menyentil pemerintah terkait kebijakan-kebijakan yang tidak relevan untuk masyarakat terpencil terkait pandemi Covid-19 serta bagaimana hal tersebut berdampak pada pekerjaan Rabiah dan Mimi sebagai tenaga kesehatan.
Filem ditutup dengan adegan haru antara Rabiah dan Mimi, di mana akhirnya Mimi sadar bahwa ia akan melanjutkan pekerjaan ibunya untuk mengabdi kepada masyarakat di pulau-pulau terpencil di Makassar.
Beberapa pengambilan gambar dalam filem ini cukup beragam, Arfan kerap menyorot subjek-subjek menggunakan eye level ketika sesi wawancara. Ada pula head-conversation yang dibunyikan oleh Arfan. Visual dari Ininnawa juga cukup memanjakan mata, penonton dapat melihat keindahan laut serta matahari terbenam melalui proporsi yang pas. Narasi yang dibangun oleh Arfan juga cukup jelas; ia ingin memperlihatkan dan mengkritik pemerintah tentang bagaimana daerah-daerah yang jauh dari pusat kota, tidak memiliki tenaga kesehatan yang cukup dan infrastruktur yang serba minim. Melalui Rabiah, Mimi, dan kehidupan yang bergerak di sekitar mereka, Arfan ingin menegaskan bahwa kesenjangan yang terjadi di Indonesia tidak pernah berubah dari waktu ke waktu, sehingga yang bisa dilakukan adalah bermanfaat bagi orang sekitar tanpa menaruh ekspektasi kepada siapapun.
Candrawala I: Ininnawa and the Marginalized Islands
Through the curated theme Mapping the Grid, the ARKIPEL Noli Me Tangere Film Festival – 10th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival is screening one film on Friday, September 29, 2023 at 19.00 WIB. Dini Adanani, as a curator, opened the session by stating that the film to be screened, Ininnawa: An Island Calling (2023), is one of the films included in the Candrawala program initiated by Forum Lenteng. She added, Ininnawa tries to capture how the subject intersects with the socio-political layers of its surroundings. According to Dini, the lens in this film has become sharper in highlighting the subject’s problems through simple scenes.
Ininnawa: An Island Calling is a film directed by Arfan Sabran and released in 2023. This film won the Citra Award at the Indonesian Film Festival (FFI) in 2022. In an interview published in national media, Arfan said, Ininnawa is taken from the Bugis language which means sincerity to do good things. This film opens by showing the beauty of remote islands in Makassar using bird view, then the camera starts to focus on the main character of this film, Rabiah, as a health worker who serves the community on remote islands in Makassar. Arfan has known and built a relationship with Rabiah and her family for 15 years.
At the beginning of the film, Arfan, through Ininnawa, tries to explain through an observational approach the daily life of Rabiah as the only health worker who has to move from island to island to examine patients because of the lack of health workers on those remote islands. She also has to stay on an island for a long period of time to take care of her patients. After the audience follows Rabiah in her daily life, in the middle of the film, Arfan begins to talk about another character, Mimi, as Rabiah’s daughter who sometimes helps Rabiah to examine patients. Unlike mothers and daughter in general, Arfan reveals the relationship between mother and child in short scenes between Rabiah and Mimi, which is then reinforced by the interview he conducted with Mimi.
Arfan inserts a handful of silly and sarcastic conversations in several scenes. Towards the end of the film, Ininnawa explains the situation in which Covid-19 pandemic began to spread and how the people on the islands reacted. Arfan poked a bit at the government regarding policies that were not relevant for remote communities regarding Covid-19 pandemic and how this had an impact on Rabiah and Mimi’s work as health workers.
The film closes with an emotional scene between Rabiah and Mimi, where Mimi finally realizes that she will continue her mother’s work to serve the community on remote islands in Makassar.
Some of the shots in this film are quite diverse, Arfan often highlights the characters using eye level during interview sessions. There was also a head-conversation voiced by Arfan. The visuals from Ininnawa are also quite pleasing to the eye, the audience can see the beauty of the sea and sunset through the right proportions. The narrative constructed by Arfan is also quite clear; he wants to show and criticize the government about how areas are far from the capital city, do not have enough health workers and have minimal infrastructure. Through Rabiah, Mimi, and the life that moves around them, Arfan wants to emphasize that the inequality that occurs in Indonesia has never changed over time, so that what can be done is to benefit the people around them without placing expectations on anyone.