Teater Operasi
The Theater of Operation
Host Luthfan Nur Rochman
Minggu, 27 Nov 2022 – 16:00
Kokpit pengebom pada pesawat tempur B-25 Mitchell menjadi salah satu latar penting dalam novel Catch-22 karya Joseph Heller di mana keraguan, keputusan, dan horor bertautan dengan pemafhuman akan refleksi materialitas manusia, realita geopolitik kontemporer dan teknologi perang mutakhir. Letaknya terpisah dari pilot pengemudi dan navigator, Yossarian si tokoh utama, soliter menafsir vista dari kekernya dan menunggu waktu yang tepat untuk menjatuhkan bom. Dalam serangan udara ke Bologna yang kaotik, persepsi Yossarian yang terdisorientasi akibat akrobat udara, teman yang tidak responsif, dan desingan peluru anti-pesawat memperlihatkan dengan brutal bagaimana trauma yang terakumulasi dalam tubuh harus beriringan dengan kuota misi yang harus terpenuhi. Vista lanskap dalam visi keker Yossarian terdistorsi dalam peta Teater Mediterania yang terpampang di ruang briefing pasukan, dan lalu berlaku ulang-alik ke pengalaman ketubuhan Yossarian.
Vistanya sendiri, Teater Mediterania, menjadi salah satu palagan (medan perang) krusial dalam Perang Dunia II, di mana Italia dan Afrika Utara menjadi salah satu basis musuh yang dijustifikasi untuk dihancurkan dalam Perang Suci melawan Fasisme. Penamaan palagan sebagai Teater Operasi merujuk pada karya seminal Jenderal Prusia Carl von Clausewitz “Vom Kriege” yang mengandaikan palagan sebagai mise-en-scene yang memiliki keteraturannya sendiri pasca Napoleon mengubah desain perang Eropa. Proscenium yang menjadi basis dari spektakel masyarakat Eropa selama berabad bertaut dengan teknologi media baru untuk memberikan moda representasional mutakhir dalam taktik, tidak hanya sinema. Namun yang ada di ujung lensa maupun di balik lensa tetaplah korporeal.
Perspektif udara dan proscenium yang meniscayakan orkestrasi inilah yang dipertanyakan ulang dalam kuratorial ini. Teknologi representasi, dalam hal ini fotografi, filem, dan video yang di ranah seni menjadi medium produksi, turut menjadi hal krusial dalam mengkonstruksi keputusan militer. filem dalam kuratorial ini membongkar unsur-unsur teknologi representasi ini dan secara ulang-alik menjadikannya sebuah refleksi terkait trauma dan ekses Perang. Berangkat dari moda visual manipulasi digital layar hijau (green screen), filem ini berjibaku dengan memori perang yang menghadirkan kerapuhan material/tubuh di ujung lensanya. Ini merupakan imbas dari kenyataan geopolitik kontemporer yang menghantui dunia pasca Perang Dingin dan logika sirkuler yang inheren dalam struktur kuasanya.
Di samping konten, moda visual ini juga membawa artefaknya sendiri untuk membicarakan sifat spektakelnya. Pembongkaran dapur produksi layar hijau dan efek digital memberikan wacana tanding bagi sinema yang mengestetisasi perang dan menjadikannya komoditas untuk memenuhi hasrat dasar manusia akan kekerasan. Lalu, berangkat dari kesaksian personal subjek-subjek filemisnya, pembuat filem menggubah esai puitik yang membenturkan perkembangan teknologi dan keputusan manusia di belakangnya, serta tentu saja ekses dari keputusan tersebut.
Merujuk pada ilustrasi Catch-22 sebelumnya tentang kokpit, kuratorial ini mengajak Anda untuk mempertanyakan ulang, bagaimana jika kedua moda visual itu mengacak persepsi kita tentang sinema dan konflik hari ini? Disorientasi lewat pembongkaran moda visual ini membawa kemungkinan yang jenial dalam memandang persoalan manusia yang terjebak dalam Teater Operasi terlokalisasi yang semakin lama semakin jelas menyadari bahwa proscenium itu selalu satu.
The bombardier cockpit on Mitchell’s B-25 fighter provides an important setting in Joseph Heller’s Catch-22 novels in which doubt, decision, and horror are intertwined with understanding reflections on human materiality, contemporary geopolitical realities and cutting-edge war technology. From the cockpit which is separated from the pilot and navigator, Yossarian the main character, is solitary interpreting the vista from his binoculars and waiting for the right time to drop the bomb. In the chaotic air attack on Bologna, Yossarian’s disoriented perception due to aerial acrobatics, unresponsive companions, and the roar of anti-aircraft bullets shows brutally how the accumulated trauma in the body must go hand in hand with the mission that must be fulfilled. The landscape vista in Yossarian’s binocular’ vision is distorted in the map of Mediterranean Theater displayed in the soldiers’ briefing room, and then to Yossarian’s bodily experience, back and forth.
The vista itself, the Mediterranean Theater, became one of the crucial battlefields in World War II, in which Italy and North Africa became one of the enemy bases justified to be destroyed in the Holy War against Fascism. The naming of the theater as Theater of Operations refers to the seminal work of Prussian General Carl von Clausewitz “Vom Kriege” which presupposes the theater as a mise-en-scene which has its own order after Napoleon changed the design of European wars. The proscenium, which has been the basis of the European societal spectacle for centuries, is intertwined with new media technologies to provide cutting-edge representational modes of tactics, not just cinema. But what is at the end of the lens and behind the lens is still corporeal.
It is this perspective from the air and the proscenium which necessitates orchestration that is being questioned again in this curatorial writing. Representational technology, in this case photography, film and video, which in the realm of art are production mediums, is also crucial in constructing military decisions. The film in this curatorial dismantle the elements of this representational technology and repeatedly turn it into a reflection on the trauma and excesses of war. Departing from digital manipulation of green screens, the film struggles with memories of war that present material/bodily fragility at the end of the lens. This is the impact of the contemporary geopolitical reality that haunts the post-Cold War world and the inherent circular logic in its power structure.
Besides content, this visual mode also brings its own artifacts to talk about their nature of spectacle. The dismantling of green screen production kitchens and digital effects provides a counter discourse for cinema that aestheticizes war and makes it a commodity to fulfill the basic human desire for violence. Then, departing from the personal testimonies of their filmic subjects, the filmmaker composes poetic essays that confront technological developments and human decisions behind them, and of course the excesses of these decisions.
Referring to the previous Catch-22 illustration about the cockpit, this curatorial invites you to question again, what if those two visual modes mess up our perception of cinema and today’s conflicts? Disorientation through the dismantling of this visual mode brings a genial possibility in viewing human problems trapped in a localized Operation Theater whom are increasingly aware that the proscenium is always one.
Film List
Buurman Abdi
Filmmaker Douwe Dijkstra
International Title Neighbor Abdi
Country of Production Netherlands
Language Dutch
Subtitle English
28 min, stereo, HD, color, 2021
Abdi, sang desainer furnitur diaspora Somalia, dan Dijkstra, sang sineas Eropa adalah tetangga dalam studio bagi para pekerja kreatif di Belanda. Kedekatan ini memotivasi sineas untuk menggali jejak fisik dan psikis yang ditinggalkan konflik bersenjata di Mogadishu di tubuh Abdi. Metode reenactment menggunakan manipulasi digital dengan layar hijau memberikan wacana tanding bagi sinema yang mengestetisasi perang dan menjadikannya komoditas untuk memenuhi hasrat dasar manusia akan kekerasan.
Abdi, a Somali diaspora who designs furniture; and Dijkstra, the European cineaste, are neighbors in a creative worker studio complex in the Netherlands. Their proximity motivates the cineaste to dig the physical and psychological traces left by the armed conflict in Mogadishu within Abdi’s body. The reenactment method through digital manipulation with green screen provides a counter-discourse to cinema, which aestheticizes war and use it as a commodity to fulfill human’s basic need of violence.
Douwe Dijkstra (1984) adalah pembuat filem dan seniman visual dari Belanda. Ia belajar Desain Ilustrasi di ArtEZ University of the Arts. Karyanya adalah campuran video, animasi, dan VFX, dan dapat digambarkan sebagai karya yang humoris dan punya perhatian sosial. Proyeknya berkisar dari filem pendek dan dokumenter hingga instalasi video dan pertunjukan teater.
Douwe Dijkstra (1984) is a filmmaker and visual artist from the Netherlands. He studied Illustration Design at the ArtEZ University of the Arts. His work is a mixture of video, animation and VFX, and can be described as both humorous and socially engaged. His projects range from short films and documentaries to video installations and theatre performances.
About the Host
Luthfan Nur Rochman (Jakarta, 19 Agustus 1993) adalah seorang peneliti, kurator dan pembuat film yang aktif menjadi anggota Milisifilem Collective, Forum Lenteng. Dia lulus dari Program Arkeologi di Universitas Indonesia. Ia sedang mengembangkan program Candikala di Forum Lenteng, yang mencoba mengontekstualisasikan warisan Hindu-Buddha di Indonesia melalui praktik seni rupa kontemporer.
Luthfan Nur Rochman (Jakarta, 19 August 1993) is a researcher, curator and filmmaker who is an active member of the Milisifilem Collective, Forum Lenteng. He graduated from Archaeology Program in Universitas Indonesia. He is currently developing the Candikala program at Forum Lenteng, which is trying to recontextualize Hindu-Buddhist heritage in Indonesia through the practice of contemporary art.