presented by Mary Pansanga & May Adadol Ingawanij
[divider type=”space” height=”20″ no_border=”1″ /] [accordion auto=”0″][accordion_item title=”Foreword”] [column type=”1/2″ last=”0″ class=””]Sebagaimana karya-karya terbaik Asia Tenggara lainnya, Tongpan dan The Songs of Rice berbagi struktur atas suatu penjelajahan. Dua filem ini saling terpisah empat dekade, tetapi masanya masing-masing menjadi cermin satu sama lain dengan kemungkinan-kemungkinan tragisnya. Masing-masing dibuat menjadi durasi tentang pemberontakan massa yang merobohkan penindasan dan pembungkaman perbedaan pendapat. Menempatkan kedua filem ini ke dalam satu kuratorial untuk pertama kalinya, program ini mengembalikan pertanyaan fundamental sinema dokumenter: Bagaimana sinema merepresentasikan orang-orang? Apa yang memberkati representasi itu dengan kekuatan dan kekuasaan?
Pada Tongpan, seorang aktivis berpergian ke perbatsan kota di sekitaran Mekong mencari petani yang bersedia menjadi tamu pada sebuah seminar tentang perubahan demokratis dari pandangan-pandangan terhadap proyek pembangunan bendungan yang kontroversial. Si petani setuju berangkat ke Bangkok bersama Tongpan demi duduk di meja yang sama dengan kelompok intelektual dan birokrat. Fiksi-dokumenter nan menggigit ini mengaktifkan figur-figur kontradiktoris kepemimpinan politik di Asia Tenggara: seorang mahasiswa intelektual yang beraspirasi untuk mewujudkan demokratisasi pun perlu bersuara untuk kelompok yang mempunyai pengalaman penderitaan, yang secara diam-diam mendidihkan amarah yang hampir tak ia pahami. Dalam The Song of Rice, sang sutradara Uruphong Raksasad-lah yang berkelana ke Utara, bagian Selatan dan Timur Laut Thailand, ‘mencair’-kan kameranya pada durasi tentang perayaan ritual panen padi. Menangkap kapasitas sensorik dari masa carnivalesque ini, dokumenter puitisnya menyajikan gerakan liar tubuh dan kegemberiaan komunal yang berkumpul menyampaikan berkat kepada leluhur tanah. Sementara Tongpan menciptakan visual dan referensi verbal secara langsung pada krisis politik nasional di masanya, The Songs of Rice gigih mempertahankan koneksi yang cenderung berhubungan dengan masa sekarang. Namun, kendati gaya dan modus pengungkapannya sangat berbeda, menarik dicatat bahwa kedua filem tersebut secara menakjubkan mempunyai titik temu. Keduanya mengajarkan kita bahwa kekuatan utopia sinema yang menyulap komunalitas terletak pada keampuhan kapasitasnya dalam hal menunjukkan bagaimana tubuh bergerak secara tak terduga menjadi denyut-denyut yang bergetar.
[/column] [column type=”1/2″ last=”1″ class=””]Like many of the best Southeast Asian films and videos, Tongpan and The Songs of Rice share the structure of a journey. They are four decades apart yet their respective times of coming into being mirror each other with tragic predictability. Each was made in the duration in which mass uprising gave way to the violent suppression and silencing of dissent. In bringing the two films together for the first time this programme returns to documentary cinema’s fundamental question: How does cinema represent the people? What endows its representation with power and potency?
In Tongpan a student activist travels to a border town along the Mekong looking for peasants who would speak at a seminar performing the democratic exchange of views on a controversial dam building project. The itinerant peasant Tongpan agrees to go with him to Bangkok and sit at the same table with the intellectuals and the bureaucrats. This bitingly reflexive documentary-fiction turns the table on that contradictory figure of political leadership in Southeast Asia: the male student-intellectual whose aspiration to embody democratisation entails speaking for a people whose experience of suffering and silently simmering anger he barely grasps. In The Songs of Rice it is now the filmmaker Uruphong Raksasad who goes on a pilgrimage to the north, northeast and south of Thailand, immersing his camera-eye in the duration of ritual celebrations of the rice harvest. Capturing the sensorial intensity of this carnivalesque time, his poetic documentary presents the wild bodily gestures and communal pleasures of people who have come together to give drunken thanks to the spirits of the land. Whereas Tongpan makes direct visual and verbal references to the national political crisis of its time, The Songs of Rice maintains a steadfastly oblique connection to its present. Yet, despite their very different styles and modes of address, it is intriguing to note where these two astonishing films converge. Both teach us that cinema’s utopian power to conjure communality lies in its potent capacity to show bodies moving unpredictably to a pulsating beat.
[/column] [/accordion_item] [accordion_item title=”Films”] [/accordion_item] [/accordion]