Berhitung Bersama Om Pius
Om Pius tidur sembari duduk, sepertinya nyenyak sekali. Tidak ada terdengar suara-suara aktivitas di sekitar ia tertidur, dan suara tidurnya makin jelas. Ya, mungkin di siang hari yang biasa-biasa saja. Sesaat setelahnya hanya layar hitam di layar, yang memantulkan wajah saya yang menonton.
Filem Om Pius, “Ini rumah saya, come the sleeping” kembali ditayangkan. Ia berada di urutan terakhir program Penayangan Khusus di ARKIPEL Twilight Zone 2021. Filem ini disutradarai oleh Halaman Papua, sebuah platform media yang aktif di wilayah Jayapura, Sentani, Wamena, dan Timika, bersama dengan Mahardika Yudha, seorang kurator dan peneliti arsip.
Dari awal filem, kamera mengikuti keseharian Om Pius, merekamnya dari dekat. Hadir di ruang-ruang keseharian, privat dan tempat bekerja. Dari filem ini saya mengenal Om Pius dengan kesehariannya yang berulang: mengurus kebun, makan pinang, dan berhitung. Di sela-sela kegiatannya itu, ia banyak bercerita tentang dirinya di masa lalu, hari ini, anak muda sekitar, tentang sosial-politik dan lainnya di Papua. Di sini, kita mendengar langsung bagaimana warga menceritakan sejarahnya sendiri, juga pengalaman dan pengamatan mereka tentang sekitarnya.
Ya, kita mungkin banyak mendengar narasi kecil ataupun besar tentang Papua di media massa. Cerita yang tak jauh dari persoalan alam, konflik, kesenjangan, masalah hukum, dan isu-isu ingin merdeka dari Indonesia. Narasi besar yang mengalahkan penduduknya, semakin banyak dan seperti mengecilkan yang lainnya. Mungkin Om Pius bukanlah orang yang bisa menceritakan keseluruhan tentang Papua, tapi ia punya sejarahnya sendiri yang juga bagian dari Papua.
Hal lainnya adalah ketika Om Pius bercerita tentang pekerjaannya sebelumnya, sebagai pemotong atau penebang kayu. Ia mengatakan, “Waktu itu saya masih tidak takut jika kayu akan jatuh ke arah mana, karena di sekitar pohon adalah rawa, tapi sekarang di kanan-kiri banyak jalan dan rumah-rumah.” Juga tentang sebagian anak mudanya bisa hidup dari togel atau lotre. Om Pius menceritakan, mereka ada yang sudah bisa membangun atau membeli rumah, mobil, dan sebagainya dengan togel. Begitu juga dengan Om Pius yang kesehariannya berhitung, mengkalkulasi, memprediksi angka yang akan keluar untuk hari ini dan besoknya. Ia memiliki rumus, catatan dan perlengkapan yang lengkap untuk itu.
Selama saya menonton filem ini, saya tertarik melihat bagaimana kamera hadir di keseharian seseorang. Kita bisa bedakan mana yang terbiasa dengan kamera dan mana yang merasa terganggu dengan kehadiran kamera. Ia menjadi filem dokumenter yang menarik, menelusuri peristiwa, narasi-narasi dari warga itu sendiri.
Di akhir filem sepertinya Om Pius akan kembali tertidur dengan pengalaman baru. Ia baru saja membeli kasur di pasar dan menggendongnya sendirian sampai rumah.
Filem ini tersedia di situs Festival ARKIPEL hingga 18 Desember 2021.
Terjemahan Bahasa Inggris oleh Agatha Danastri Pertiwi.
Counting with Om Pius
Om Pius sleeps sitting up, soundly. It was quiet around him, no sign of activity, and his snore was getting clearer. It was a fine noon. After a while, the screen turns black, reflecting my face as the spectator.
Om Pius, “Ini rumah saya, come the sleeping” is back on air. It is the last film in the Special Screening program at ARKIPEL Twilight Zone 2021. This film is directed by Halaman Papua, a media platform actively working in Jayapura, Sentani, Wamena, and Timika, along with Mahardika Yudha, a curator and archive researcher.
From the beginning of the film, the camera follows Om Pius’ daily life, recording it up close. It is present in everyday spaces, private spaces, and workplace. From this film, I feel like I got to know Om Pius closely through his repetitive routine: taking care of the garden, eating betel nut, and counting. In between those activities, he talks a lot about himself in the past, today, young people around him, socio-political issues, and other things in Papua. Here, we hear firsthand how residents tell their own history, as well as their experiences and observations about their surroundings.
We may hear a lot narratives about Papua in the mass media. Stories that are not far from natural problems, conflicts, gaps, legal problems, and issues of wanting to be independent from Indonesia. The great narrative that overpowers its inhabitants, more and more and as it shrinks the others. Maybe Om Pius is not the person who can tell the whole story about Papua, but he has his own history which is also part of Papua.
Another thing is when Om Pius tells about his previous job, as a woodcutter. He said, “At that time, I was not afraid of where the wood would fall, because there were swamps around. But now, it’s filled with roads and houses.” He also talked about how some young people can live from the lottery. Om Pius said that some of them have been able to build or buy houses, cars, and so on with lottery. Likewise with Om Pius who counts, calculates, predicts the numbers that will come out for today and tomorrow. He has the complete formulas, notes and equipment.
While I was watching this film, I was interested in seeing how the camera is present in a person’s daily life. We can distinguish between those who are accustomed to the camera and which are disturbed by the presence of the camera. It becomes an interesting documentary, tracing events, narratives from the residents themselves.
At the end of the film, it seems that Om Pius will fall back asleep with a new experience. He had just bought a mattress at the market and carried it alone all the way home.
This film is available in Festival ARKIPEL’s website until December 18, 2021.
English translation by Agatha Danastri Pertiwi