Program Kuratorial: Membedah Anatomi Rumah Sakit
Pemutaran di hari Sabtu (31/8) pukul 16.00 WIB seakan lebih lanjut merespon pembahasan dalam Panel 5 Forum Festival: Estetika Multisensori dengan menampilkan filem sebagai medium inderawi yang berupaya untuk mengaktifkan sensori kita. Filem yang diputar pada Program Kuratorial: Bahasa dan Sensasi sore itu berjudul De Humani Corporis Fabrica (2022) karya Lucien Castaing-Taylor dan Véréna Paravel. Adi Osman selaku kurator pada program ini seperti biasa memberikan pengantar di awal filem. Khusus pada pemutaran ini, kurator memberikan semacam trigger warning bagi penonton yang tidak kuat melihat darah, organ, dan tulang yang ditampilkan secara eksplisit serta menghimbau agar tidak memaksakan diri menonton.
Judul filem ini dipinjam dari judul buku anatomi yang ditulis oleh Andreas Vesalius yang berisikan tentang struktur tubuh manusia. Namun, daripada mengulang apa yang telah diketahui dari buku itu, filem ini secara lebih luas membedah anatomi rumah sakit. Filem berdurasi dua jam ini dengan tekun menelusuri rumah sakit di Paris dari para dokter, perawat, hingga pasiennya. Seperti pisau bedah, kamera menembus lapisan-lapisan yang ada di dalam rumah sakit secara berkala, dari lapisan yang terluar seperti interior rumah sakit sampai ke lapisan terdalam seperti usus manusia. Kamera dengan sabar merekam kegiatan-kegiatan di rumah sakit dan membentuk montase yang berhasil menstimulus.
Filem ini banyak menampilkan shot yang acap kali membuat merinding karena dengan eksplisit diperlihatkan bagian dalam tubuh manusia melalui kamera operasi mulai dari kepala, mata, perut, kelamin, dan tulang punggung. Sepanjang filem sering terdengar penonton yang meringis, termasuk saya. Ada juga yang menutup mata, keluar dari bioskop, ataupun terpesona karena permainan sensori yang ditawarkan filem ini. Bagi saya ada dua hal yang paling mengesankan dari filem ini. Pertama adalah bagaimana filem ini tidak menghakimi pasien-pasien yang diangkat tumornya ataupun dibedah perutnya karena filem ini tidak bicara tentang kondisi-kondisi itu. Kedua, bagaimana punggung yang terbelalak, mayat, maupun darah-darah yang bercucuran dengan eksplisit dalam filem ini tidak tampil dengan bingkaian yang menakutkan ataupun sadis. Setidaknya saya sebagai penonton bisa ikut berempati seperti seorang dokter yang melihat itu semua dalam keseharian pekerjaannya sebagai suatu kewajaran. Keeksplisitan itu, semerinding apapun, dengan bingkaian yang empatik ini menjadi tontonan yang wajar dan nyata terjadi di kehidupan sehari-hari rumah sakit. Namun, rasa kewajaran itu bukan disebabkan akibat dari menumpulnya sensitivitas karena disajikan gambar-gambar yang eksplisit.
Durasi dua jam filem ini rasanya mampu untuk membuat penonton terbayang-bayang hingga keluar bioskop. Usai menonton filem ini saya terkagum-kagum dengan bahasa sinema yang bisa membuat penonton mengalami dunia lewat sensori, sebagaimana manusia juga adalah makhluk sensori seperti yang dikatakan oleh Lucien Castaing-Taylor. Pertimbangan akan keinderawian manusia yang beragam sangat dialami di filem ini dengan pilihan-pilihan estetika seperti penggunaan teknik kamera handheld ketika merekam ruang operasi maupun kamera operasi yang menelusuri organ dalam manusia.
Pengalaman menonton filem ini tidak hanya berhasil memantik kerja-kerja sensori kita, tetapi juga mempertajamnya. Di media sosial seringkali kita melihat kekejaman yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa dan menindas. Kebiasaan melihat itu semua tentunya bisa menumpulkan sensitivitas dan empati. Filem ini berupaya untuk mengembalikan kerja-kerja sensori yang menumpul itu dengan membawa penonton untuk merasakan suatu bagian masyarakat, dalam filem ini yaitu rumah sakit, dengan bangunan konstruksi yang sangat baik. Rasanya penting untuk tetap memelihara kerja sensori kita agar tetap peka dengan apa yang terjadi di sekitar kita dan di dunia.
Curatorial Program: Dissecting the Anatomy of a Hospital
The screening on Saturday (31/8) at 16.00 Western Indonesia Time seemed to further respond to the discussion in Panel 5 of the Festival Forum: Multisensory Aesthetics by presenting film as a sensory medium that seeks to activate our senses. The film screened in the Curatorial Program: Language and Sensation that afternoon was titled De Humani Corporis Fabrica (2022) by Lucien Castaing-Taylor and Véréna Paravel. Adi Osman as the curator of this program as usual gave an introduction at the beginning of the film. Especially for this screening, the curator provided a trigger warning for viewers who were not strong enough to see blood, organs, and bones that would be explicitly displayed and urged them not to force themselves to watch.
The title of this film is borrowed from the title of an anatomy book written by Andreas Vesalius which contains the structure of the human body. However, rather than repeating what is already known from the book, the film more broadly dissects the anatomy of the hospital. The two-hour film diligently explores a Parisian hospital from its doctors, nurses, to its patients. Like a scalpel, the camera penetrates the layers within the hospital at regular intervals from the outermost layer such as the interior of the hospital to the deepest layer such as the human intestine. The camera patiently records the activities in the hospital and forms a stimulating montage.
The film features many shots that often give goosebumps because they explicitly show the inside of the human body through the operating camera starting from the head, eyes, stomach, genitals, and spine. Throughout the film, you could hear the audience grimacing, including me. There were also those who closed their eyes, left the theater, or were mesmerized by the sensory play offered by this film. For me, there are two things that impress me the most about this film. The first is how this film does not judge patients who have tumors removed or stomachs dissected because this film does not talk about these conditions. Second, how the wide-eyed backs, corpses, and blood that flow explicitly in this film do not appear in a frightening or sadistic frame. At least as a viewer, I can empathize with a doctor who sees it all in his daily work as a normal thing. The explicitness, no matter how creepy, with this empathic framing becomes a natural and real spectacle in the daily life of the hospital. However, the sense of reasonableness is not caused by the dulling of sensitivity because explicit images are presented.
The two-hour duration of this film seems to be able to make the audience imagine until they leave the theater. After watching this film, I am amazed by the language of cinema that can make the audience experience the world through sensory input, as humans are also sensory creatures as said by Lucien Castaing-Taylor. The consideration of diverse human senses is experienced in this film with aesthetic choices such as the use of handheld camera techniques when filming the operating room and operating cameras that trace human internal organs.
The experience of watching this film not only succeeds in triggering our sensory work, but also sharpens it. On social media, we often see atrocities committed by those in power and oppression. The habit of seeing it all can certainly dull our sensitivity and empathy. The film attempts to restore that dulled sensory work by bringing the audience to experience a part of society, in this case a hospital, with a very well-constructed building. It seems important to keep our sensory work in order to remain sensitive to what is happening around us and in the world.