Mutasi Genetik dalam Peradaban
Curator: Afrian Purnama
Program kuratorial ini menyajikan karya Abbas Fahdel, Homeland: Iraq Year Zero (2015). Merespon fenomena global yang telah berkembang sedemikian rupa sejak Perang Irak tahun 2003. Lewat filem Abbas, kuratorial ini mencoba membingkai isu tersebut dengan perspektif di luar wacana narasi besar; menawarkan suatu pandangan mengenai mutasi atas ide social/kapital—juga mutasi budaya—yang terepresentasikan oleh bahasa visual filem tersebut. Homeland: Iraq Year Zero dibingkai sebagai suatu pernyataan yang tidak hanya relevan untuk membicarakan Perang Irak, tetapi juga pertanyaan tentang dunia kontemporer dan relasinya dengan kelampauan.
Tanggal 6 Juli, 2016, sebuah dokumen tentang keterlibatan Inggris Raya dalam Perang Irak di tahun 2003 beredar. Dokumen yang bernama Iraq Inquiry[1] ini berisi beberapa catatan penting mengenai Perang Irak dari berbagai petinggi Inggris Raya. Dalam dokumen itu disebutkan salah satunya bahwa Inggris Raya dan Amerika telah gegabah mengambil keputusan untuk melakukan invasi karena masih ada pilihan lain selain perang. Selain itu, masih terdapat simpang-siur mengenai keberadaan Senjata Pemusnah Masal yang dijadikan sebagai alasan pembenaran invasi tersebut.
Program kuratorial yang menyajikan karya Abbas Fadel, Homeland: Iraq Year Zero (2015), ini bisa dibilang adalah semacam respon terhadap fenomena tersebut. Dari konteks sosio-politik, filem ini masih sangat berkaitan dengan War of Lies (karya Matthias Bittner, 2014)[2] yang juga tentang perang Irak tahun 2003. Akan tetapi, sementara War of Lies membingkai narasi besar dari perang itu—sebagaimana yang diungkap dalam dokumen tersebut—Homeland: Iraq Year Zero justru berbicara sebaliknya, yakni tentang masyarakat Irak yang mengalami perang itu secara langsung, sebagai korban baik dari penyerang (Tentara Amerika) maupun pihak yang diserang (Pemerintah Saddam Hussain).
Irak, sebagai korban Saddam Hussain, diceritakan dalam bagian pertama filem ini yang direntangkan dalam durasi 160 menit. Dominasi pemerintah diperlihatkan dengan besarnya propaganda yang diterima masyarakat Irak di berbagai media, sesuatu yang khas dalam negara ditaktorial. Abbas Fahdel menggunakan kerabat terdekatnya, yaitu keluarga—terdiri dari keponakan, ipar, dan kakaknya—yang termasuk dalam golongan kelas menengah Irak sebagai jendela bagi penonton untuk memahami penduduk Irak di luar konsepsi warga Irak yang dibangun oleh media-media arus utama dan filem-filem Barat. Dari pandangan mikroskopik ini lalu mengecil pada satu orang bocah bernama Haidar, keponakan Abbas Fahdel yang masih berumur 11 tahun. Melalui anak tersebutlah filem ini berputar.
Bagian kedua adalah situasi ketika Baghdad sudah diambil alih oleh Amerika. Penduduk kota, termasuk kakak dari Abbas Fahdel, seperti tidak berada di tempat tinggalnya dulu karena banyak akses jalan dan tempat publik yang diisolasi demi kepentingan militer Amerika. Bagian ini juga memperlihatkan kondisi penduduk Baghdad, khususnya kelas bawah yang paling menderita sebagai dampak perang itu. Keamanan juga menjadi masalah penting karena tidak adanya kontrol aparat; keputusan Saddam Hussein untuk membebaskan seluruh tahanan dari penjara sebelum Baghdad diambil alih, turut memperkeruh keadaan. Sementara itu, tentara Amerika sendiri tidak peduli dengan kondisi warga sipil yang hidup di kota tersebut.
Mutasi social/kapital, sebagaimana deskripsi tema oleh ARKIPEL, terlacak dalam bidikan-bidikan Abbas Fahdel. Baik pada bagian pertama maupun kedua, kita melihat reruntuhan peradaban di sisi sungai Eufrat-Tigris. Abbas Fahdel tidak pernah secara deskriptif menjelaskan peradaban mana yang mendiami reruntuhan itu, karena memang bukan itulah maksud dari bidikan-bidikan tersebut. selain Sebagai kilasan jejak sejarah Irak, reruntuhan itu hadir dimaksudkan juga sebagai matinya ‘mitos’ dari peradaban-peradaban kuno itu sendiri. Itu terlihat, misalnya, saat Haidar bermain perang-perangan dengan kawannya di dalam reruntuhan tersebut.
Sisi sungai tersebut melahirkan berbagai peradaban kuno, yang dalam ilmu arkeologi disebut “Craddle of Civilization”, sebut saja: Sumeria, Mesopotamia, dan Kesultanan Abbasid. Peradaban-peradaban kuno ini memberikan banyak sumbangsih bagi kehidupan manusia, warisannya bahkan masih bisa dilihat hingga saat ini, seperti perhitungan basis 60 untuk mengukur waktu, sastra dalam Epik Gilgamesh, Kode Hammurabi yang tercatat sebagai dasar hukum tertua dan memengaruhi perkembangan kebijakan atas hukum sipil dari masa ke masa, dan banyak lainnya. Hal-hal tersebut adalah genetik peradaban Irak yang diturunkan pada dunia. Uraian penemuan-penemuan itu tentu bisa diperdebatkan karena sifat sejarah yang selalu merevisi dirinya sendiri, namun kita tidak bisa abai dengan pengaruh peradaban Irak Kuno terhadap kebudayaan lain hingga sekarang. Reruntuhan di sisi sungai itu bagaikan capaian-capaian peradaban Irak Kuno yang telah disebutkan sebelumnya dan bermutasi dengan tubuh kebudayaan kontemporer. Waktu, sastra, dan hukum sipil adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari, namun kita yang hidup dalam dunia kontemporer sering kali abai dari mana semua itu berakar. Reruntuhan-reruntuhan itu kemudian ‘hanya’ digunakan sebagai arena bermain anak-anak, bahkan sebagai tempat basis militer Amerika. Inilah yang membuat Homeland: Iraq Year Zero tidak hanya relevan bila membicarakan tentang perang Irak, tetapi juga mempertanyakan fenomena dunia kontemporer dan relasinya dengan kelampauan.
Mutasi tidak hanya hadir melalui relasi antara kebudayaan kuno dengan dunia kontemporer, tetapi juga terjadi dalam diri Abbas Fahdel yang merekam langsung semua adegan dalam filem. Relasi Abbas Fahdel dengan dunia yang terbingkai dalam kamera video bukanlah relasi subjek-objek biasa antara pembuat filem dengan yang direkam. Lebih jauh, adalah relasi personal antara anggota keluarganya. Sebagai contoh, adegan saat ibunya Haidar, yang juga adalah kakak ipar dari Abbas Fahdel, meminta dirinya tidak direkam saat tidak menggunakan penutup kepala. Abbas Fahdel menghormati keputusan ini dan setelahnya kita tidak melihat lagi dia tanpa penutup kepala. Abbas Fahdel juga melakukan interaksi langsung, menegaskan bahwa dirinya hadir di tempat itu, baik saat rekaman antarkeluarga maupun saat rekaman di dalam kota, sebagai penduduk kota tersebut. Kita bisa merujuk pada saat Abbas Fahdel berada di pasar dan menolak disebut ‘mister’ dengan ungkapan “saya orang Irak”. Inilah alasan mengapa Homeland: Iraq Year Zero terasa sangat intim, baik bagi penonton maupun juga pembuat filem.
Pilihan untuk menggunakan kamera video yang salah satu sifatnya mobile, serta strategi produksi lewat kolaborasi antara penduduk lokal dan pembuat filem, agaknya dapat dimengerti sebagai upaya untuk memunculkan artikulasi yang menekankan dan mengedepankan subjektivitas milik lokasi (serta orang-orang yang mendiaminya) tempat filem itu dibuat, alih-alih subjektivitas si sutradara sendiri. Peluang-peluang semacam ini sangat mungkin terjadi mengingat kamera video meruntuhkan kekakuan-kekakuan produksional yang umum terjadi di mekanisme yang konvesional dari produksi filem. Kecenderungan tersebut mengingatkan kita, salah satunya, pada karya-karya video AKUMASSA[3] yang melakukan eksperimen bahasa visual dalam rangka mereduksi seminimal mungkin subjektivitas si pemegang kamera[4] demi menghadirkan gambaran yang sifatnya lebih objektif dengan cara mengikutsertakan kepentingan pihak-pihak yang dibidik kamera. Begitu pula agaknya kesadaran yang ada pada Abbas Fahdel. Dalam Homeland: Iraq Year Zero, si sutradara bekerja sama dengan Haidar mengupayakan perspektif anak-anak Irak di lokasi tersebut dalam membicarakan perihal perang, juga dengan orang-orang sekitar dari berbagai kelas sosial yang dimungkinan lewat penggunaan kamera video.
Sementara itu, dalam sejarah sinema, ada beberapa filem yang memasukan ‘angka nol’ di judulnya, seperti Germany, Year Zero (1948) karya Roberto Rossellini dan Germany Year 90 Nine Zero (1993) karya Jean-Luc Godard, yang bermakna sosial-politis, merujuk pada runtuhnya kebudayaan dari suatu lokasi karena invasi dari luar. Untuk konteks Homeland: Iraq Year Zero, angka nol dalam judul bisa diartikan serupa. Tapi lebih jauh lagi, ada relasi antara peradaban-kebudayaan dalam angka nol di Homeland: Iraq Year Zero. Angka adalah bagian dari pencapaian peradaban Eufrat-Tigris. Angka yang ditemukan itu lalu menjadi bagian dari kebudayaan karena digunakan secara luas oleh orang-orang di berbagai tempat. Budaya memiliki sifat invasif, menyebar, dan seringkali memakan budaya lain tanpa disadari oleh penduduk setempat. Penduduk Irak yang kita lihat di Homeland: Iraq Year Zero tak ubahnya dengan penduduk di belahan dunia lain, contohnya bila dibandingkan dengan Indonesia, anak kecil sama-sama menyukai acara televisi kartun Amerika di pagi hari, sama-sama memilih soft-drink untuk minuman di hari terik, dan sama-sama menggunakan mobil untuk berkendara; budaya yang sama, global. Amerika, tanpa menggunakan kekerasan, sudah menyebarkan budayanya—an American way of life—dan diadopsi oleh jutaan manusia di penjuru dunia menggunakan berbagai media yang sangat masif. Fenomena ini sekali lagi adalah mutasi budaya yang layak terbingkai dalam kerangka social/kapital-nya ARKIPEL.
Sebagai penutup tulisan, saya mengutip sebuah bait dari filem pendek, berjudul Je vous salue, Sarajevo (1993) karya Jean-Luc Godard, yang juga mengenai invasi perang dari negara lain:
“In a sense, fear is the daughter of God, redeemed on Good Friday. She is not beautiful, mocked, cursed or disowned by all. But don’t be mistaken, she watches over all mortal agony, she intercedes for mankind; for there is a rule and an exception. Culture is the rule, and art is the exception. Everybody speaks the rule; cigarette, computer, t-shirt, television, tourism, war. Nobody speaks the exception. It isn’t spoken, it is written; Flaubert, Dostoyevsky. It is composed; Gershwin, Mozart. It is painted; Cézanne, Vermeer. It is filmed; Antonioni, Vigo. Or it is lived, then it is the art of living; Srebrenica, Mostar, Sarajevo. The rule is to want the death of the exception.”.
Dari tiga kota yang disebutkan di atas, untuk konteks saat ini, bisa kita tambahkan Aleppo, Jerusalem, dan Baghdad.
[1] Dokumen tersebut dapat diakses penuh secara online di www.iraqinquiry.org.uk
[2] Tayang di ARKIPEL Grand Illusion tahun lalu dalam Program Kompetisi Internasional.
[3] AKUMASSA adalah program pemberdayaan media berbasis komunitas yang digagas oleh Forum Lenteng. Program yang mengupayakan eksperimen bahasa visual (gambar bergerak) ini memproduksi sekian banyak karya video tentang narasi-narasi kecil dan peristiwa massa di berbagai lokasi di Indonesia; produksi tersebut melibatkan secara penuh warga/penduduk lokal dan mengedepankan perspektif mereka sebagai basis gagasan dan kerangka susunan gambar.
[4] Meskipun kita tahu, adalah hal yang tak mungkin menghilangkan subjektivitas si pemegang kamera, tapi upaya itulah yang menjadi poin eksperimentasi pada AKUMASSA.
–
This program presents Abbas Fahdel’s Homeland: Iraq Year Zero (2015). Responding to the global phenomenon that has evolved since the Iraq War in 2003. The curatorial tries to frame it from a perspective outside the larger narrative discourse; offering a view of mutation on the idea of social/kapital—also cultural mutation— represented by visual language. Homeland: Iraq Year Zero is framed as a statement that is not only relevant to discuss the Iraq War, but also a question of the contemporary world and its relation to the past.
July 6, 2016, a document about the United Kingdom’s involvement in Iraq War 2003 was in circulation. This document called Iraq Inquiry[1] contains some important records on Iraq War by various high officials of the UK. In it is mentioned among others that UK and US have carelessly decided on invasion while there were still resorts other than war. There was still confusion, too, about the Mass Destruction Weapon as the justification of the war.
This curatorial program presenting Abbas Fadel’s Homeland: Iraq Year Zero (2015) can be said as a sort of response toward the phenomenon. In socio-political context, this film is closely related to War of Lies (by Matthias Bittner, 2014)[2] which speaks as well of the Iraq War 2003. However, while War of Lies frames the grand narration of the war—as revealed in the said document above—Homeland: Iraq Year Zero speaks instead of the Iraqi society experiencing the war first-hand, as the victims of both the attacker (American Army) and the attacked (Saddam Hussain’s government).
Iraq, as Saddam Hussain’s victim, is told in the first part of this film stretching to 160 minutes duration. The government’s domination is shown through epic propaganda for the Iraqi people in the media, something typical in a dictatorial state. Abbas Fahdel employs his closest relatives, family—consisting of nephew, in laws, and brother—who belong to the Iraqi middle class as a window for the audience to comprehend Iraqi people outside the conception of them built by mainstream media and Western films. This microcospic view then narrows to a boy called Haidar, Abbas Fahdel 11 year old nephew. It is through the boy that the film rolls.
The second part is the situation when Baghdad is already taken over by the Americans. The citizens of the city, including Abbas Fahdel’s brother, seem to feel displaced since many accesses to roads and public spaces are isolated for the sake of American military’s interest. This part also shows the condition of Baghdad people, especially the lower class who suffer the most from the war’s impact. Security becomes an issue since there’s no control by the apparatus; Saddam Hussein’s decision to release all prisoners from prison before Baghdad is taken over contribute to the chaos. Meanwhile, American soldiers are oblivious from the civilians’ condition living in the city.
Social/kapital mutation, as described as ARKIPEL’s theme, is traced through Abbas Fahdel’s shots. Both in the first and second part, we see the fall of a civilization on Eufrat/Tigris region. Abbas Fahdel never descriptively lays out which civilization dwells in the ruins since it’s not the objective of the shots. As a glimpse of Iraqi history, the ruins are brought forward as the myths’ death of the old civilization. It is seen, for example, as Haidar plays war with his friends inside the ruins.
That area of the river, called “The Craddle of Civilization” in archaeology, has given birth to various ancient civilizations such as Sumeria, Mesopotamia, and the Abbasid Sultanate. These old civilizations have contributed many things to human life, with legacies still evident until now such as the 60 based time measurement, the Epic of Gilgamesh in literature, Hammurabi Code as the oldest recorded law influencing policy developments on civic law from time to time, and many more. Those things are the genetics of Iraqi civilization bequeathed to the world. Those inventions’ elaboration are subject to debates since it is the nature of history to constantly revise itself; yet we cannot ignore the Ancient Iraqi civilization’s influence to others up to now. The ruins at that side of the rivers seem to be the Ancient Iraqis’ achievements, just as mentioned before, mutating in contemporary cultural bodies. Time, literature, and civil law are parts of our daily life while we, living in contemporary world, are often oblivious about the origins of those things. Those ruins then are used “only” as children’s playground, even American military’s base. This what makes Homeland: Iraq Year Zero not only relevant to talk about the Iraq War but also to question the contemporary world and its relation with the past.
Mutation is not only present through the relation of ancient cultures and contemporary world but also in Abbas Fahdel’s body who records all the scenes in the film. Abbas Fahdel’s relation with the world framed in the video camera is not an ordinary one of subject-object between the filmmaker and those recorded. It is a further personal relation of family members. For an example is the scene where Haidar’s mother, who is also Abbas Fahdel’s sister-in-law, asks him not to record her when she is not using head cover. Abbas Fahdel respects this decision and afterwards we no longer see her without a head cover. He also interacts directly, affirming that he is present in the place, whether during the recording within the family or the recording in the city as a citizen. We can point at the moment when Abbas Fahdel is in the market and refuses the designation “mister”, replying instead “I’m an Iraqi.” This is the reason why Homeland: Iraq Year Zero feels intimate both for audience and filmmakers.
The choice of video camera use, with its mobile feature, and the production strategy of collaboration between local inhabitants and the filmmaker seem to be understandable as an attempt to bring forth some articulation that emphasizes and puts forward the subjectivity of the location (and the people staying there) where the film is made, instead of the filmmaker’s. These opportunities are very likely to happen since video camera brings down the usual productional rigidity of conventional film production mechanism. This reminds us among others to AKUMASSA’s video works[3] that carry out visual language experimentation to reduce as much as possible the cameraman’s[4] subjectivity for the sake of more objective pictures by accommodating the interests of those aimed by the camera; so does Abbas Fahdel. In Homeland: Iraq Year Zero, the filmmaker works together with Haidar in seeking to present Iraqi children’s perspective there when talking about war, and the people around the place from various social classes, allowed by the video camera.
Meanwhile, in cinema history, there are some films incorporating “zero” into their title, such as Germany, Year Zero (1948) by Roberto Rossellini and Germany Year 90 Nine Zero (1993) by Jean-Luc Godard, with their social-political significance, referring to the fall of a cultural site due to outsiders invasion. For Homeland: Iraq Year Zero, the “zero” may have a similar meaning. Numbers are a part of the achievement of Eufrat-Tigris civilization. These invented numbers become a part of the culture due to the widespread use by people elsewhere. Culture can be invasive, propagating and often consuming another culture inadvertently. The Iraqi inhabitants we see in Homeland: Iraq Year Zero are no different from other peoples of the world, for example if we compare them with Indonesians; the children love to watch American cartoons in the morning, have softdrinks at noon, use cars to go places; it’s the same culture, the global one. America, without resorting to violence, has spread its culture—the American way of life—adopted by millions of people throughout the world by means of massive, various media. This phenomenon is a cultural mutation worthy of being framed in terms of ARKIPEL’s social/kapital.
To end this essay, I would like to quote a verse from a short film called Je vous salue, Sarajevo (1993) by Jean-Luc Godard, which also speaks of invasion by another country:
“In a sense, fear is the daughter of God, redeemed on Good Friday. She is not beautiful, mocked, cursed or disowned by all. But don’t be mistaken, she watches over all mortal agony, she intercedes for mankind; for there is a rule and an exception. Culture is the rule, and art is the exception. Everybody speaks the rule; cigarette, computer, t-shirt, television, tourism, war. Nobody speaks the exception. It isn’t spoken, it is written; Flaubert, Dostoyevsky. It is composed; Gershwin, Mozart. It is painted; Cézanne, Vermeer. It is filmed; Antonioni, Vigo. Or it is lived, then it is the art of living; Srebrenica, Mostar, Sarajevo. The rule is to want the death of the exception.”
Of the three cities mentioned above, today we can also add Aleppo, Jerusalem, and Baghdad.
[1] The document can be fully accessed online on www.iraqinquiry.org.uk.
[2] Screened during Grand Illusion of ARKIPEL last year in the International Competition Program.
[3] AKUMASSA is a community based media empowerment initiated by Forum Lenteng. This program works to create visual language (motion picture) experiments and produces a number of video works on little narratives and public events in many places of Indonesia; the production involves local citizens and puts forward their perspective as the base of ideas and picture composition.
[4] Although we know that cameraman’s subjectivity is impossible to remove, it is this point that becomes the subject of experimentation in AKUMASSA.
–
Homeland: Iraq Year Zero
Abbas Fahdel, 2015, 334mins
Country: Iraq, France | Language: Arab | Subtitle: English
Homeland: Iraq Year Zero adalah video harian tentang sebuah lokasi, tempat di mana pada tahun 2003 Amerika melancarkan agresi militernya untuk mengusir Saddam Husein dari tampuk kepemimpinan di Irak. Yang kita lihat adalah bukanlah adegan Perang Iraq seperti di filem Hollywood kebanyakan, namun kita melihat dampak perang tersebut karena filem ini dibagi menjadi dua bagian yaitu sebelum perang dan setelah perang sehingga kita melihat secara utuh perbedaan dua masa tersebut.
Homeland: Iraq Year Zero is a video diary of a location, a place where in 2003 the US launched its military aggression to oust Saddam Hussein from his throne in Iraq. What we see is not the Iraq War scenes like in most Hollywood films but the impacts of the war since this film is divided into two parts, before and after the war, allowing us to see the differences of the two periods.
–
Abbas Fahdel adalah sutradara dan kritikus filem kelahiran Iraq yang berbasis di Prancis. Belajar sinema di Sorbonne University, mulai membuat filem dokumenter tahun 2002, berjudul Back to Babylon. Filemnya yang berjudul Homeland: Iraq Year Zero mendapat penghargaan di Visions du réel – Nyon International Film Festival.
Abbas Fahdel is the director and film critic born in Iraq based in France. Studying cinema at the Sorbonne University, started making a documentary feature film in 2002, entitled Back to Babylon. His film Homeland: Iraq Year Zero received an award at Visions du réel – Nyon International Film Festival.