Sebuah Empati yang Tercipta dari Menonton Filem-filem Kuratorial “Jangkau
Minggu malam, 21 Agustus 2016, adalah waktu terakhir untuk bersantai sebelum besok kembali bekerja. Ada banyak cara untuk menikmatinya sebelum ia berakhir, entah itu dengan bersantai di rumah atau menonton filem-filem yang ditampilkan ARKIPEL yang juga merupakan sebuah pilihan yang baik.
“Selamat malam dan selamat datang di kuratorial saya!” sebuah suara muncul dari sebelah kanan dan membuyarkan lamunan saya tentang beberapa pilihan lain untuk menghabiskan akhir pekan di dalam GoetheHaus. Tampak seorang kurator muda sedang menyapa keenam orang (termasuk saya) penonton yang masih mencari spot tempat duduk yang nyaman untuk menonton Kompetisi Internasional 7: “Jangkau”.
“Kuratorial ini diawali oleh kuotasi dari Andrey Tarkovsky yang mengatakan bahwa kita menonton filem untuk mendapatkan waktu yang hilang atau waktu yang belum sempat kita gapai,” lanjut sang kurator muda bernama Afrian Purnama, anggota Forum Lenteng yang juga seorang penulis itu. “Dan… kedua filem ini, menurut bingkaian saya, mampu memberikan impresi bahwa kita seakan-akan berada dalam lokasi yang secara georafis terpencil, tapi kita bisa berada dekat dan mengalami mitos urban atau bahkan gaya hidup dari orang-orang tersebut.”
Filem pertama, berjudul The Curious Life of Piter Eustaquio Rengifo Uculmana (2014) karya Gianfranco Annichini yang kalau kita perhatikan, nama Piter Eustaquio Rengifo Uculmana bisa saja merupakan akronim dari PERU, tempat filem ini berasal. Filem berdurasi 72 menit ini berjalan dengan tempo yang menurut saya cukup lambat. Menit-menit awal filem terasa sangat lama karena terlalu banyak narasi yang membingungkan. Namun, saat memasuki bagian akhir filem, suasana mulai berganti menjadi semakin intens sehingga filem semakin menarik untuk ditonton. Seperti apa yang sudah dijelaskan kurator di awal, saya benar-benar mampu merasakan dan mengalami kejadian yang ada di filem lewat beberapa gambar yang ditampilkannya.
Beberapa penonton mulai meninggalkan bangku penonton tepat sebelum filem kedua dimulai. Tempat yang gelap membuat saya malas menoleh ke belakang untuk melihat berapa penonton yang tersisa dan menemani saya menonton filem World Cup (2016) karya Malas Brother (Mohammad Malas dan Ahmad Malas).
Filem ini adalah filem pertama yang menarik perhatian saya ketika poster-poster filem yang ditampilkan di program Kompetisi Internasional ARKIPEL mulai dipajang di lorong masuk menuju GoetheHaus. Selain karena tempatnya yang berbeda sendiri, bersebelahan dengan poster filem L’invention de L’année 2016 karya Jean Seban dan di belakang Toko Store, saya selalu berpikir apa yang akan ada di dalam sebuah filem berjudul World Cup ini. Apakah saya akan mendapati sebuah filem berdurasi 108 menit yang menampilkan pertandingan bola antarnegara atau apa.
Semua pertanyaan dalam benak saya kemudian terjawab dengan kata puas selagi menonton filem ini. Filem ini dengan briliannya dapat membungkus 108 menit serasa menjadi 30 menit saja karena kejenakaan yang terdapat di dalamnya. Beberapa bidikan yang saling bersambung meskipun bukan merupakan fokus utama dari filem ini menampilkan apa yang mereka sebut dengan satir. Saya pun dapat merasakan sendiri ketegangan yang terjadi di antara mereka, orang-orang di dalam filem, ketika hanya dengan bermain bola atau menyebut kata “FIFA”, nyawa menjadi taruhannya. Meskipun jenaka, filem ini sebenarnya merupakan sebuah kritik terhadap kemanusiaan. Mengambil latar di Suriah yang tengah mengalami perang saudara dan memakan banyak korban, filem ini menunjukkan bahwa masyarakat tampaknya buta pada apa yang terjadi di Suriah dan lebih memilih melihat para pemain bintang sepak bola berlaga di atas lapangan hijau.
Empathy from the Films in the Curatorial of “Beyond”
We could spend anyhow we wanted on Sunday night, August 21, 2016, before working life dragged us back. We could have a good time in home and call it a day, or watch ARKIPEL Film Festival—and that might be a better choice.
“Good evening and welcome to my curatorial program!” cheered one young curator, brought me back out of my daydream. The curator then greeted six people eager to watch the screening. International Competition 7: “Beyond” had begun.
“Let’s begin our program with Andrey Tarkovsky’s quote; to watch film means to have a time that has been missed or yet to reach,” continued that young curator named Afrian Purnama, a Forum Lenteng activist and also a writer. “And, these two film that we’re about to watch, for me, are able to make us feel isolated in remote geographical space, yet so close to urban myth and its lifestyle.”
The Curious Life of Piter Eustaquio Rengifo Uculmana (2014) by Gianfranco Annichini was the first film to screen. ‘Piter Eustaquio Rengifo Uculmana’ could roughly be translated as the acronyme for PERU — a country where this film originated. This 72-minute film played rather slowly and long. The opening part was quite excruciatingly long and confusing. However, when Annichini’s film began its ending, the text became more interesting. As the curator stated, this film was able to make me feel and jump into the sceneries portrayed within.
Several people started leaving as the second film started. The darkness in cinema room made me bother not to count how many people remained. I focused on “World Cup” by The Malas Brothers (Mohammad Malas and Ahmad Malas)
World Cup was the first film that attracted me with its poster hanging on the ARKIPEL International Competition displayed in GoetheHaus hall. Apart its peculiar position next to L’invention de L’année 2016 by Jean Seban and Toko Store store, I was thinking what kind of film would be with ‘World Cup’ as its title. Would I get 108 minutes of soccer match between countries or something else?
Then, satisfaction was the reaction I got from watching World Cup. This film was nothing but slow, 108 minutes felt like a 30-minute film, thanks to its playful narration. Some shots were interrelated although they weren’t really the core portrayal of Malas Brothers’ work, and they serve themselves as satire. I also could feel the tense from the film and/or the actors when they played soccer or even when they just mentioned “FIFA”; because we know it could cost their lives was the cost. Albeit its playful and comedic realm, World Cup was a critic to humanity. Having Syria as its setting with its civil war that caused thousands of victims, this film showed the irony of how people neglected the atrocities that until today took place in Syria, yet were overwhelmingly scavenging the stories about our society’s beloved soccer players.