august, 2017
Details
Curated by Manshur Zikri Total Duration 84 minutes Venue Goethehaus – Jakarta /25 August 2017, 19.30 Film List Pulang ke Indonesia / Going Home to
Details
Curated by
Manshur Zikri
Total Duration
84 minutes
Venue
Goethehaus – Jakarta /25 August 2017, 19.30
Film List
Ini adalah kisah sederhana berdasarkan ingatan sutradara tentang masa kecilnya, sebagai si bungsu, ketika ia sekeluarga berpindah lokasi dari Prancis ke Indonesia. Meski pengalaman pertama, perpindahan itu tetap disebut pulang karena akar kultural yang mengalir dalam darah sang tokoh. Ilustrasi hiperbolis yang disajikan filem ini justru tampil sebagai bahasa yang rendah hati dalam mengutarakan dengan sekilas kondisi sosial kala itu berikut kompleksitas akulturasi budaya yang dialami secara personal dan berdasarkan sudut pandang subjektif si pembuat filem.
This is a simple story based on the director’s childhood memory, as the youngest, when she and his family moved from France to Indonesia. Eventhough it was her first experience to come to Indonesia, they called it “going home” because of the cultural roots embedded in her blood. The hyperbolic illustrations presented by this film actually appear as a humble language in expressing briefly the social conditions at that time following the complexity of cultural acculturation experienced personally and based on the subjective point of view of the filmmaker.
Dokumenter biografis tentang Awal Uzhara, seorang sutradara Indonesia yang sebelumnya lama menetap di Rusia karena situasi dan arah politik Orba yang malabel negatif komunis, tapi kini telah kembali ke Indonesia. Sutradara melengkapi narasi Awal tersebut dengan ilustrasi gambar dan foto-foto arsip yang dianimasikan sebagai citra atas memori yang diceritakan secara sentimental. Ini menjadi rekaman penting yang menyimpan secuplik bukti tentang keberadaan dan kontribusi salah satu figur perfileman nasional itu bagi generasi muda.
Biographical documentary on Awal Uzhara, an Indonesian director who had long lived in Russia because of the situation and New Order’s political direction that negatively labelized the communists, but he has now returned to Indonesia. The director supplements the narration about Awal with illustrations using drawings and archival photographs as animated imagery of sentimental memory. This work becomes an important recording that holds a proof of the existence and contribution of one of the national cinema figures to the younger generation.
Filem ini terdiri dari susunan pilahan footage-footage yang dikumpulkan sutradara selama setahun hingga perayaan pergantian tahun baru. Dikonstruk tanpa mengharuskan kebutuhan naratif, karya ini menjadi semacam album personal yang mengabadikan data-data gestural dan sosial subjek-subjek yang dengan sengaja direkam menggunakan kamera ponsel. Karya ini menjadi menarik karena secara langsung menunjukkan relevansi dari tren aktivitas bermedia terkini, khususnya tentang komposisi artistik sehubungan dengan bentuk dan ukuran frame kamera, yang lambat laun mungkin akan menggeser perbendaharaan image masyarakat di masa depan.
This work consists of sorted footages collected by the director for a year until the celebration of New Year’s Eve. Constructed without obliging the narrative needs, this work becomes a kind of personal album perpetuating the gestural and social data of subjects deliberately recorded using a mobile phone camera. This work is interesting because it directly demonstrates the relevance of current trends in people’s activities of media, particularly about its artistic composition related to the shape and size of camera frames, which will probably shift the society’s vocabulary of images in the future.
Penduduk kota ditindas oleh seorang penguasa yang mencuri sumber daya air dan memaksa rakyat untuk membeli kepadanya. Dewi air, Amarta, yang dipercaya sebagai penjaga mata air dan pemberi berkah kehidupan, hilang entah kemana. Di tengah kesengsaraan dan keputusasaan, seorang gadis entah dari mana muncul dan berusaha membebaskan Amarta dan penduduk kota dari kekejaman si penguasa. Pada karya ini, konflik di dalam cerita dengan sengaja disimplifikasi oleh sutradara tetapi secara bersamaan memberdayakan objek-objek pemanggungan (dalam usahanya menggambarkan latar-seting cerita) sebagai strategi untuk memperkaya imajinasi sekaligus mengabstraksi ekspektasi-ekspektasi penonton akan fantasi kolosal.
The townspeople were bullied by a ruler who stole water resources and forced the people to buy it from him. The Goddess of water, Amarta, who were believed to be the guardian of the springs and the giver of life’s blessing, is gone somewhere. In the midst of misery and despair, a girl out of nowhere appeared and tried to free Amarta and the townspeople from the cruelty of the ruler. In this work, conflicts within the story are deliberately simplified by the director but simultaneously utilize the objects of staging (in an attempt to describe the setting of story) as a strategy to enrich the imagination as well as to abstract the audience’s expectations of colossal fantasy.
Karya ini menawarkan alur realisme yang cukup menarik karena memberikan kesegaran dalam merefleksikan kritik sosial atas kondisi masyarakat kontemporer di masa 72 tahun setelah kemerdekaan. Berawal dari kisah tiga prajurit yang berkelana untuk memeriksa kebenaran tentang pesan kemerdekaan yang mereka temukan di sebuah gerbong yang datang dari arah Barat, sutradara mengubah arah narasinya ke kenyataan hari ini sehingga menghadirkan semacam parodi tentang kesadaran sejarah kawula muda. Bahkan, lanskap lokasi yang semestinya di luar fiksi dengan sengaja ditangkap oleh kamera untuk menjadi bagian dari artistik filem.
This work offers an interesting flow of realism because it gives the freshness in reflecting social criticism of the condition of contemporary society in the time of 72 years after independence. Starting from the story of three wandering warriors checking the truth about the message of independence they found in a carriage coming from the West, the director changed the course of his narrative to the reality of today to bring a kind of satire about the lack of historical awareness in youth people. The director even intentionally captured the reality of the site which should be outside the fiction to be include as part of the artistic of his film narrative.
Filem ini menangkap lanskap perkotaan Tokyo dari balik jendela kereta, dan sepanjang filem kita diiringi oleh suara percakapan dalam bahasa Jepang antara seorang gadis dan pria, membahas masa lalu si gadis, juga tentang kisah-kisah politik pasca perang yang dialami oleh kedua orang tua dan saudarinya. Dibesarkan oleh sang kakek, si gadis kecil pun terdidik untuk menyiasati kesepiannya dengan selalu menikmati keramaian dan membaur dalam kerumunan orang-orang di kereta, dan hal itu dilakukannya hingga kini. Rekaman-rekaman yang ia ambil dari dalam kereta itu kemudian dikonstruk menjadi puisi visual yang menyajikan momen perenungan tentang hari ini dan dunia setelahnya.
The film captures the urban landscape of Tokyo from behind the window of train, and during the film we are accompanied by a Japanese conversation between a girl and a man, discussing the girl’s past, also about the post-war political stories experienced by her parents and sister. Raised by the grandfather, the little girl was raised to put strategy on her loneliness by always enjoying the crowd and mingling with people on the train, and she does it until now. The recordings she took from the train were then constructed by the director into a visual poetry presenting a moment of contemplation about today and the world afterwards.
Time
(Friday) 19:30 - 21:00 UTC+7
Location
GoetheHaus
Sam Ratulangi 9-15, Jakarta - 10350
Organizer
ARKIPEL Penal Colony - 5th International Documentary and Experimental Film Festivalinfo@arkipel.org