august, 2017
Details
Pembicara: Akbar Yumni (ARKIPEL, Indonesia) Gaston Soehadi (Film critic, Indonesia) Teng Mangansakan (Filmmaker, Writer, Philippines) Moderator: Mahardika Yudha (ARKIPEL, Indonesia) If the improvement of knowledge system in one particular culture is hand in hand
Details
Pembicara:
Akbar Yumni (ARKIPEL, Indonesia)
Gaston Soehadi (Film critic, Indonesia)
Teng Mangansakan (Filmmaker, Writer, Philippines)
Moderator:
Mahardika Yudha (ARKIPEL, Indonesia)
If the improvement of knowledge system in one particular culture is hand in hand with the system of other cultures undergoing an equal enhancement, it will form an overlap—but complement each other—between the two or more different paths of the system of those cultures. Then it’s our goal to ascertain the existence of their interfaces, or it’s essential to create such a state. Though the interface is in fact a space full of struggles—with the complexity of contradicted, contested and unequal power relations within, as well as the existence of all ambiguous things in it—it’s still possible to construct it as a dialogical space to reach the equilibrium.
In the framework of this panel, such point of view is first of all inspired by Martin Nakata’s concept of Cultural Interface, a term referring to the ideals of interaction between different knowledge systems. He argues that the interface is a space where we live; it determines and shapes our live and our future; the space in which we become active agents and possessing the opportunity to make or take decisions. Secondly, that term is also indispensable as a concept to parse the interaction form between human being and cultural data. In other words, referring to Lev Manovich’s concept of Cultural Interfaces, we may understand the cultural interface as a system of universal media which structures the interaction of media users to culture. This second reference is inevitably triggering our framing to the context of times when the computer-mediated technology has been dominant in our everyday life.
However, this panel will discuss cinema not only as a tool or language that theoretically underlies the ways in which humans now interact with culture through media technology. We also see the actuality of Asian cinema discourse as a rendezvous space of various knowledge systems which triggers geopolitical awareness. Our direction of discussion considers the characteristics of Asia which have certain sociological tradition and form of knowledge leaps; Cinema in this panel will be examined by placing “Asia” as the main “way of thinking”.
Bahwasanya peningkatan sistem pengetahuan pada satu kebudayaan tertentu, sementara sistem pada kebudayaan yang lain juga mengalami peningkatan yang sama, akan membentuk suatu tumpang tindih—tapi saling mengisi—antar dua atau lebih lintasan berbeda dari masing-masing sistem kebudayaan itu, maka titik temu bagi lintasan-lintasan tersebut adalah sebuah tujuan yang patut dipastikan keberadaannya, atau sangat berarti untuk diciptakan. Meski titik temu itu pada kenyataannya merupakan sebuah ruang yang sangat penuh dengan pergumulan—dengan kompleksitas kontradiksi, perebutan, dan ketidakseimbangan hubungan kekuasaan di dalamnya, serta keberadaan segala hal yang selalu abu-abu—ia tak menutup kemungkinan untuk dikonstruk sebagai ruang dialog demi mencapai keadaan yang setimbang.
Untuk konteks panel ini, pertama-tama, pandangan di atas berangkat dari pemikiran antropolog pribumi, Martin Nakata, yang melihat Cultural Interface—terma yang merujuk cita-cita akan titik temu bagi sistem-sistem pengetahuan yang berbeda satu sama lain itu—sebagai ruang tempat kita hidup, yang mengondisikan dan membentuk kehidupan dan masa depan kita; ruang yang di dalamnya kita menjadi agen-agen aktif dan berpeluang untuk membuat atau mengambil suatu keputusan. Kedua, terma Cultural Interface tentunya tak bisa dilepaskan dari acuan tentang gagasan yang mengurai bentuk interaksi manusia dengan “data-data kultural”. Dengan kata lain, meminjam pandangan Lev Manovich, Cultural Interface[s] dilihat sebagai suatu sistem media universal yang membentuk struktur bagi interaksi antara pengguna media dan kebudayaan. Rujukan kedua ini, mau tidak mau, mendorong pembentukan kerangka pikir dalam konteks masa di saat teknologi media baru sudah menjadi media paling dominan dalam kehidupan.
Namun demikian, panel ini akan mendiskusikan sinema tidak hanya sebagai tools ataupun bahasa yang secara teoretik mendasari cara-cara bagaimana manusia sekarang berinteraksi dengan kebudayaan melalui teknologi media, tetapi juga melihat aktualitas dari diskursus sinema di kawasan Asia sebagai ruang bagi pertemuan aneka sistem pengetahuan yang sekaligus memicu kesadaran geopolitik. Arah diskusi ini mempertimbangkan karakteristik Asia yang memiliki tradisi kemasyarakatan dan bentuk lompatan-lompatan pengetahuan tertentu; Sinema dalam panel ini akan diulik dengan menempatkan “Asia” sebagai “kerangka berpikir” utama.
Time
(Saturday) 10:45 - 12:15 UTC+7
Location
GoetheHaus
Sam Ratulangi 9-15, Jakarta - 10350
Organizer
ARKIPEL Penal Colony - 5th International Documentary and Experimental Film Festivalinfo@arkipel.org