august, 2017
Details
ARKIPEL Penal Colony - 5th International Documentary and Experimental Film Festival presents FRAU to enliven the opening night of the festival. Originally named Leilani Hermiasih, the FRAU is a musician
Details
ARKIPEL Penal Colony – 5th International Documentary and Experimental Film Festival presents FRAU to enliven the opening night of the festival. Originally named Leilani Hermiasih, the FRAU is a musician with a classical music education background who began to learn to play the piano since she was about 7 years. She was inspired by the works produced by Cameron Macintosh and written by Andrew Lloyd Webber, whom she watched every day in her early years. With the stage name FRAU, which means “Mrs.” or “Wife”, she often collaborates with great musicians.
– – –
ARKIPEL Penal Colony – 5th International Documentary and Experimental Film Festival menghadirkan FRAU untuk memeriahkan malam pembukaan festival. Bernama asli Leilani Hermiasih, FRAU adalah seorang musisi dengan latar belakang pendidikan musik klasik yang mulai belajar bermain piano sejak usia 7 tahun. Ia terinspirasi oleh karya-karya yang diproduksi oleh Cameron Macintosh dan ditulis oleh Andrew Lloyd Webber, yang ia tonton setiap hari di tahun-tahun pertamanya. Dengan nama panggung FRAU, yang berarti “Mrs.” Atau “Wife”, ia sering berkolaborasi dengan musisi-musisi besar tanah air.
[Image of FRAU, copyright by Muhammad Asranur]
***
Opening Films
Seorang perempuan dari pasangan suami-istri warga desa terpencil pegunungan begitu tercekau oleh ingatan akan para tetangganya yang sudah tiada. Ia menginginkan kehadiran orang-orang yang pernah sangat dikenalnya, dan memaksa sang suami untuk bersama-sama dengannya membuat replika dari sosok orang-orang itu. Maka, jadilah boneka-boneka kayu itu terasa benar-benar hidup dan menghadirkan kembali para tetangganya. Penghadiran kembali orang-orang mati ini berujung pada keputusan mereka untuk memilih apakah akan tetap tinggal atau pergi mengikuti para roh… Sebuah narasi tentang mitos orang-orang yang sudah mati dalam gambar-gambar yang puitis dan dengan bunyi-bunyian musikal serta adegan-adegan yang performatif. (Syaiful Anwar)
A woman from a married couple in a remote mountainous village is so distracted by the memory of her dead neighbors. She wants the presence of people she once knew so well, and forces her husband to make a replica of the figures of those people with her. So, be the wooden dolls that feel alive and it brings back their neighbors. The retrieval of the dead leads to their decision to choose whether to stay or leave with the spirits … A narrative upon the myths of the dead in poetic images with musical sounds and performative scenes. (Syaiful Anwar)
Kilas balik terhadap sebuah kisah tentang pemujaan atas Sapi Emas yang terekam di dalam agama samawi yang pernah menyebabkan dosa kolektif pada suatu kaum. Kisah ini diceritakan ulang dengan cara yang berbeda dari apa yang tertulis di kitab suci, namun memiliki esensi yang sama: refleksi terhadap pemujaan dalam eksistensi manusia. Filem ini merefleksikan kembali apa arti pemujaan dan materialisme, dihadirkan dengan interpretasi ulang dalam lanskap zaman kontemporer. (Afrian Purnama)
A flashback to a story about the worship of Golden Cow recorded in divine religion that once caused a collective sin on a community. The story is recounted in a different way from what is written in the scriptures, but has the same essence: a reflection of worship in human existence. The film reflects on what worship and materialism mean, presented with reinterpretation in the landscape of contemporary age. (Afrian Purnama)
Ilusi realitas sebagaimana dunia yang kita huni kini merupakan sebuah dunia kolase yang terfaktakan oleh jukstaposisi antar-citra dan aplikasi visual di genggaman. Walau begitu, keberagaman belum tentu dengan mudah diterima sebab di situ bermain wacana kuasa dari sistem sosio-politik yang berlaku. Sudah sejak awal kemunculannya, seorang dengan identitas berbeda merupakan objek anomalis dari pikiran umum. Seorang imigran kulit hitam yang terdampar di pantai harus terperangkap dalam bingkai-bingkai representasi hiper riil dari komunitas masyarakat yang membeku dalam ruang dan waktu. Kamera sebagai aparatus pembentuk ilusi sekaligus pengawasan, sebenarnya, juga menyorongkan pertanyaan kepada komunitas Eropa sendiri tentang bagaimana opini-opini akan yang liyan terkonstruk di ruang-ruang faktual mereka. (Ugeng T. Moetidjo)
The illusion of reality as the world we live in now is a world of collage characterized by the juxtapositions of inter-image and visual applications in the grip. However, diversity is not necessarily easily acceptable because the game of power discourse of the prevailing socio-political system is there. Already since the beginning of his emergence, a person with different identity is an anomalous object of the common mind. A black immigrant stranded on a beach must be caught in the frames of hyper reality representation from a community frozen in space and time. The camera as the illusion-forming apparatus as well as the surveillance, in fact, also asking for question to the European community itself about how these opinions on the other will be constructed in their factual spaces. (Ugeng T. Moetidjo)
Penggambaran inferioritas kultural yang merupakan warisan kolonialisme, dan diturunkan secara bergenarasi, kemudian menjadi tradisi. Ada lompatan pengetahuan yang tidak diajarkan oleh kolonialisme, tapi justru menjadi siasat yang lebih mutakhir dalam praktek hidup keseharian. (Otty Widasari)
The depiction of cultural inferiority, which is a legacy of colonialism, and inherited for generations, then has become a tradition. There is a knowledge leap the colonizer didn’t teach instead it has become more sophisticated strategies in the way of life. (Otty Widasari)
Post-opening party & music by Klub Karya Bulu Tangkis
Time
(Saturday) 19:00 - 23:59 UTC+7
Location
GoetheHaus
Sam Ratulangi 9-15, Jakarta - 10350
Organizer
ARKIPEL Penal Colony - 5th International Documentary and Experimental Film Festivalinfo@arkipel.org