Sinema Asia dan Kekinian Sosial-Politiknya
Berlangsung di Goethe Institut Jakarta pada tanggal 18 Agustus 2016, Forum Festival ARKIPEL 2016, Panel 1, mengangkat tajuk Kritisisme dalam Sinema: “Sinema Asia dan Kekinian Sosial-Politiknya”. Dua pegiat filem dan periset dari dua negara yang berbeda, Zhang Zimu dari Cina dan Akbar Yumni dari Indonesia, hadir dalam kesempatan ini serta menyumbangkan gagasan-gagasan mereka di hadapan 47 peserta diskusi dan 2 media yang hadir. Panel dibuka oleh Manshur Zikri, pengurus harian AKUMASSA, sebagai moderator yang memberikan pernyataan sebagai titik berangkat diskusi, “Asia sebagai penentu sinema kontemporer dunia.”
Zhang Zimu memaparkan perjalanan jatuh-bangun sinema independen di Cina, khususnya Cina daratan. Aplikasi kebijakan ekonomi pintu terbuka di tahun 1980-an membawa angin baru yang berdampak pada bertambah dan beragamnya ide dan wawasan. Zhang Zimu memperkenalkan pergerakan baru dokumenter Cina yang mulai terbentuk pada awal tahun 2000-an seiring berkembangnya teknologi. Kemudahan akses terhadap teknologi turut menambah jumlah pembuat filem dengan segi estetis yang menekankan gambaran keseharian. Praktik eksibisi juga mendapatkan varietas baru; muncul tempat pemutaran filem alternatif, klub filem, serta festival-festival filem yang menjadi medium pertukaran pengetahuan.
Pembatasan sinema independen di Cina daratan selalu terjadi dengan sensor yang kuat dan kurangnya klasifikasi film, tapi hal itu lebih brutal sejak 2012, dengan adanya otoritas yang menutup beberapa festival filem independen dan tempat pemutaran alternatif. Ancaman lain adalah peningkatan sengit bioskop komersial yang menyisakan sedikit ruang bagi sinema alternatif. Pada tahun 2017, Cina akan diyakini menjadi pasar film terbesar di dunia dengan pertumbuhan box office sebesar 50% tahun lalu. Namun, para pembuat filem independen dan sekutu mereka masih memperjuangkan visibilitasnya dengan mempertahankan jaringan pemutaran filem pengganti di seluruh negeri dan mengambil keuntungan dari internet dan juga festival filem internasional. Sinema independen Cina masih berjuang untuk menggapai masyarakat mereka.
Masalah sinema Indonesia, sementara itu, diangkat oleh Akbar Yumni dengan melakukan komparasi dengan sinema negara tetangga, antara lain dengan Apichatpong Weerasethakul (Thailand) dan Lav Diaz (Filipina). Dua tokoh ini merupakan nama yang mencolok dalam sinema Asia Tenggara yang menggunakan situasi politik sebagai milieu utama. Pengambilan adegan tipikal Asia Tenggara menekankan kehadiran lanskap sosial politik, bukan penekanan individual yang kerap ditemukan di kebanyakan filem Eropa. Globalitas, menurut Akbar, justru menjadi penanda penting lokalitas.
Menanggapi presentasi Akbar tentang globalitas itu, Aryo Danusiri, salah seorang hadiri forum yang juga merupakan seorang antropolog dan pembuat filem, menghendaki adanya ketegasan antara “global” dan “lokal” yang pada dasarnya adalah masalah perspektif. Di samping itu, juga muncul pertanyaan mengenai apa yang hendak diimplementasikan oleh para sutradara yang dijadikan contoh. Akbar Yumni kemudian meluruskan bahwa globalisasi tidak dapat lepas dari lokalitas: glokalitas tak dapat dipungkiri, yaitu lokalitas yang diekspansi. Dengan faktor berkembangnya era digital, hal tersebut mendukung perumusan realisme yang dapat dilakukan setiap orang. Lav Diaz dalam filemnya hendak melakukan pembebasan cara menonton yang tentunya sulit dilakukan pada zaman seluloid.
Peneliti sejarah filem Indonesia, Dag Yngvesson, merespon perihal kebebasan, dengan mengkritik aktivisme dan kebebasan yang muncul dalam sinema sebagai sesuatu yang, di satu sisi, cukup utopis. Mengambil contoh film-film Usmar Ismail, Dag menunjukkan penggambaran idealisme yang menunjukkan situasi yang tidak ideal, sesuatu yang tidak berjalan lagi. Menanggapi itu, Akbar menambahkan bahwa kekurangan dari sinema Indonesia ialah keterbatasan pemahaman yang dimiliki para pembatnya terhadap medium dan bahasa sinema. Aktivisme yang hadir justru lepas dari estetika, sehingga politik yang hadir dalam filem adalah politik yang ada “di luar” sehingga menyerupai kampanye saja.
Forum Festival pertama ARKIPEL tahun ini tersebut pada akhirnya menggarisbawahi kekurangan sinema Indonesia, yakni dalam pemahaman medium dan estetika. Selain itu, Indonesia juga masih dirasa perlu menggali peluang baru, mencari perspektif baru dalam menanggapi era digital ini. Teknologi bukan hanya alat, melainkan juga konten itu sendiri.*
Asian Cinema and Its Contemporary Sociopolitical State
Held at Goethe Institut Jakarta on August 18, 2016, Panel 1 of ARKIPEL’s Festival Forum 2016 spoke about criticism in cinema with focus on Asian cinema within its contemporary socio-political situation. Two film activists and researchers from two different countries: Zhang Zimu from China and Akbar Yumni from Indonesia, were present on this occasion as well as to contribute their ideas in front of 47 participants and 2 media. Manshur Zikri, media activist from AKUMASSA, as well the moderator of the panel, started the forum by delivering a statement, “Asia as a determinant of contemporary world cinema.”
Zhang Zimu explained the rise and fall of the independent cinema’s journey in China, particularly in the Chinese mainland. The open door economic policy in the 1980s brought a new wind for impacting the increase and diversity of ideas and insights. Zhang Zimu introduced China’s new documentary movement which began to form in the early 2000s, correspond to the development of technology. The availability of technologies therefore increases the number of filmmaker with the aesthetic that emphasizes the daily perspectives. The practices of screening also get new varieties; alternative film screenings, film clubs, and film festivals are blossoming, which serves as a medium of knowledge exchange.
The restriction for independent cinema in mainland China is always there with strong censorship and lack of film classification, but it got more brutal since 2012, with authority closing down of several independent film festivals and alternative screening venues. Another threat is the fiercely increasing commercial cinema which leaves less space for alternative cinema. In 2017 China will be believed to be the world’s largest film market with box office growth of 50% last year. But independent filmmakers and their allies are still striving for visibility by maintaining substitute film screening networks all over the country and taking advantage of Internet and also foreign film festivals. Chinese independent cinema is still struggling to reach their communities.
The problem of Indonesian cinema was raised by Akbar Yumni through comparison with our neighboring countries, among others, Apichatpong Weerasethakul (Thailand) and Lav Diaz (Philippines). These two figures are the name that is striking in the Southeast Asian cinema that uses socio-politics as the primary milieu. Typical Southeast Asian shooting emphasize the presence of the social and political landscape, not the individual that are often found in most of Europe films. “Globality” is rather became an important place mark of locality.
Speaking of “globality”, Aryo Danusiri, one of the audiences who is an anthropologist as well as a film director, called for specificity between the global and the local which is basically a matter of perspective. In addition, he also questioned what is about to be implemented by those directors who serve as examples. Akbar Yumni then straighten that globalization cannot be separated from the locality, globality is undeniable, hence locality being expanded. Backed with the development of the digital era, it supports the formulation of realism that every person can do. Lav Diaz in his films is wanting to provoke a liberty in the ways of “spectating”, where it’s difficult to do in the days of celluloid.
Indonesian film history researcher, Dag Yngvesson, responded by criticizing that activism and freedom that emerged in the cinema as something that is actually utopian. Taking the example of the films of Usmar Ismail, Dag showed depictions of idealism which shows that the situation is not ideal, something that is no longer happening. Akbar added that the lack of Indonesian cinema is limited understanding of the medium and the language of cinema. Activism comes precisely separated from aesthetics, so that the politics present in films is an external politics, hence resembling a campaign.
The first ARKIPEL Festival Forum this year wrapped by underlining the shortcomings Indonesian cinema, in the understanding of the medium and the aesthetic. In addition, Indonesia is also still felt necessary to explore new opportunities, seeking new perspectives in response to this digital era. Technology is not just a tool, but also the content itself.*