Peran Komunitas dalam Pengembangan Pengetahuan Sinema
Perkembangan sinema sampai sekarang tak luput dari pihak-pihak yang berkontribusi untuk mengembangkan pengetahuannya, salah satu pihak yang memegang peran penting dalam hal ini adalah komunitas. Meskipun bukan organisasi resmi, komunitas kerap dijadikan wadah untuk melakukan aktivitas di bidang perfileman sebagai sarana apresiasi, eksibisi, forum diskusi, dan lain-lain. Dalam realitanya, program yang dijalankan oleh komunitas sering kali memiliki tantangan tersendiri baik dalam konteks eksternal maupun internalnya.
Bertempat di GoetheHaus, Jakarta, pada tanggal 20 Agustus 2016 ARKIPEL social/kapital – 4th Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival menggelar program Forum Festival, Panel ke-5 yang bertajuk “Komunitas dan Pengembangan Pengetahuan Sinema”. Pada bagian terakhir dari forum festival ini hadir deretan panelis penggiat filem dalam komunitasnya, yaitu Albert Rahmat Putra, Dimas Jayasrana, Fauzi Rahmadani, dan Yuli Lestari, dan dimoderatori oleh Hafiz Rancajale, salah satu pendiri Forum Lenteng dan ruangrupa.
Dimas yang pernah mendirikan filmalternatif.org dan menjadi programer di IFI Jakarta, dan kini adalah pegiat Festival Film Purbalingga menyebutkan kegiatan utama komunitas adalah berdiskusi dan berdialog untuk menyebarkan pengetahuan mengenai sinema. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat masyarakat Indonesia masih minim exsposure kepada sinema karena terbatasnya jangkauan kepada media tersebut. Sebagai alternatifnya, perlu diadakan festival filem, lokakarya, dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat menyebarkan pengetahuan mengenai sinema, seperti sejarah dan wacana estetika. Dimas juga merasa terbantu oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sehingga arus pertukaran informasi terkait filem menjadi cepat dan mudah.
Kemudian, Fauzi yang pernah menjabat menjadi Direktur Program Layar Kamisan Jember, Koordinator JAFF Community Forum, serta Ketua Divisi Litbang UKM Dewan Kesenian Kampus, menceritakan keadaan komunitas produksi filem di Jember yang menjamur, namun masih sulit ditemui komunitas yang menyediakan ruang putar filem bagi masyarakat. Sedangkan di Banyuwangi, pemutaran filem dijadikan sebuah sarana untuk diskusi suatu isu yang sensitif bagi kalangan tertentu. Tak jarang, kegiatan ini ditekan oleh pihak-pihak yang merasa terancam. Fauzi berpendapat bahwa perlu adanya diskusi terarah dan struktur untuk membahas suatu isu tersebut.
Albert, yang merupakan pendiri dan penggiat komunitas Gubuak Kopi dan aktif berkegiatan di Solok, Sumatera Barat, menyebutkan bahwa tugas utama komunitas adalah memahami persoalan yang ada dan menemukan referensi sinema yang cocok untuk dijadikan umpan dalam diskusi. Komunitas harus pintar dalam menggiring perhatian publik untuk sadar akan kebudayaan sinema, tak terkecuali di daerah. Pengalaman Albert sendiri adalah membuat layar tancap di daerah-daerah dan melakukan diskusi ringan pasca menonton untuk menyalurkan pengetahuan sinema kepada masyarakat setempat. Namun, hal ini bukanlah mudah karena sebagian penonton akan enggan untuk berdiskusi. Adalah tugas besar dari komunitas sinema untuk menyadarkan bahwa filem bukanlah sekadar hiburan, tetapi juga sebagai teks yang perlu diuraikan.
Di Malang, realita kegiatan produksi filem kebanyakan dilakukan oleh pelajar untuk melengkapi tugas sekolah. Oleh karena itu, Yuli beserta komunitasnaya, Kine Klub UMM, membuat acara yang bertujuan untuk menanamkan kecintaan dan apresiasi terhadap filem, salah satunya eksibisi filem. Namun, kegiatan-kegiatan seperti ini ditanggapi kurang baik oleh pihak eksternal. Sekolah-sekolah, misalnya, menentang siswanya untuk mengikuti karena dirasa tidak akan memberikan manfaat baik kepada siswa maupun sekolah. Padahal, dengan mengadakan screening dan apresiasi, ada umpan balik yang diberikan oleh penonton yang bisa membantu membangun karya di masa depan.
Forum Festival ARKIPEL social/kapital, Panel 5 kala itu, dikunjungi oleh 50 peserta yang mempunyai antusiasme dan keingintahuan tinggi. Itu ditandai dengan total 8 pertanyaan yang diajukan. Topik modal materiil untuk keberlangsungan komunitas disinggung dalam pertanyaan, dan kemudian ditanggapi oleh penanya selanjutnya dengan menanyakan bagaimana menjaga keberlangsungan komunitas itu sendiri. Dimas memberikan strategi seperti donasi, sinema berbayar, program sekolah sinema jangka pendek bertarif. Yuli menambahkan bahwa perlu mendekati birokrat dan menyisihkan uang pribadi. Sementara itu, untuk masalah keberlansungan, Albert menyatakan perlu bagi komunitas untuk melakukan penelitian dan evaluasi, dan Dimas lebih menekankan kepada inisiatif dan intensitas kegiatan yang dijalankan. Moderator kemudian menambahkan bahwa modal materiil bisa dilakukan dengan metode alternatif. Bagian terpentingnya adalah bagaimana membangun kepercayaan di tingkat lokal dan masyarkat.
Masalah regenerasi juga disinggung dalam pertanyaan, karena regenerasi juga menjadi faktor utama untuk keberlanjutan komunitas itu sendiri. Fauzi menyebutkan bahwa belum ada jawaban yang tepat untuk mengatasi masalah regenerasi. Poin menarik dari Dimas adalah komunitas mempunyai hak untuk mempertahankan status quo karena komunitas bukanlah badan resmi. Semua hal diserahkan kepada kesadaran dari komunitas itu sendiri. Forum ini kemudian ditutup dengan kesimpulan dari Hafiz bahwa yang menentukan identitas komunitas adalah kepublikannya, yang bisa dihitung secara kuantitatif dengan jumlah orang yang berpartisipasi dalam kegiatan yang ada, ataupun kualitatif dari isu-isu yang ditawarkan dan dianggap penting. Banyak cara alternatif untuk menjaga komunitas sekaligus menyebarluaskan pengetahuan mengenai sinema, seperti lokakarya, dan proyek bersama dengan pihak-pihak eksternal. Saat Forum Festival Panel 5 ini ditutup oleh moderator, tampak beberapa peserta masih ingin bertanya dan berdiskusi, namun urung karena waktu yang telah usai.
The Role of Community in Expanding Cinema Knowledge
Hitherto, the development of cinema is never far from those who contribute to develop cinema knowledge itself. Among those contributors are communities. Even though these communities are not ‘official’ institution in cinema discourse, communities often play significant role in conducting activities related to films appreciation, exhibition, discussion, and others. However, communities and its contribution face their own challenges from within or external factors.
Located in GoetheHaus, Jakarta, on 20th August 2016, ARKIPEL social/kapital – 4th Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival hold the 5th part of Forum Festival program titled as ‘Communities and The Development of Cinema Knowledge’. The panelists came from various cinema activists and communities such; Albert Rahman Putra, Dimas Jayasrana, Fauzi Rahmadiani, and Yuli Lestari. This discussion was moderated by Hafiz Rancajale, one of Forum Lenteng and ruangrupa’s founders.
Dimas who formerly established filmalternatif.org and acted as programmer at IFI (Institute Francais Indonesie) Jakarta, is now Purbalingga Film Festival activist, explained that the main activity of communities was to discuss and hold a dialog to spread the knowledge about cinema. This was very important as Indonesian people were still lacking in cinema exposure, due to limited access for that film. Creating more film festivals, workshops, and any other types of activities regarding cinema could be a way out to solve this problem. Dimas also thought that the development of information and communication technology brought much help to cinema discourse as people could gain more information about films quickly and easily nowadays.
As former director of Layar Kamisan Jember (Jember Thursday Screening), JAFF Community Forum Coordinator and head division of database of UKM Art Council, stated that the situation of film producer communities in Jember were rising, yet rooms to screen their works for public were not. While in Banyuwangi, film screenings were hold to share some sensitive ideas for peculiar stakeholders and therefore resulted in further banning and threats. Fauzi argued that we needed in-depth discussion to discuss such issues with cinema.
Albert, acting as founder and activist of Gubuak Kopi in Solok, West Sumatra, discussed the core task of communities was to comprehend first what the problems were in their surroundings then find suitable cinema references as responds. Communities were obliged to trigger public awareness towards cinema culture, even in periphery regions. Albert’s experience included establishing open-air public screening in many regions in Indonesia and holding light discussions afterwards with their people. Such was not an easy task since many audiences were reluctant to discuss what they had watched. To build a comprehension on how films weren’t mere entertaining media but rather an active text, hadn’t been an easy duty for communities.
Moving to Malang, film producing was often done by students as their school projects. Hence, Yuli along with her community, Kine Klub UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), held few forums to spread films appreciation, one of them was through film exhibition. Yet, those activities were underappreciated, as schools still conservatively assumed that cinema were not beneficial enough for students. While screening and film appreciation were in the needs for feedback from various audiences, and created reciprocal process between future filmmaker and its audience.
Fifty people were gathered in this Forum Festival Panel 5 with such high enthusiasm, proved by very intriguing eight questions given during the discussion. Material and community sustainability issues and were raised in Q&A session. Strategy given by Dimas mentioned system of donation, billed screening, and short-course for cinema school. Yuli also added things such lobbying schemes for bureaucrats and deriving the budget from personal pocket. For sustainability, Albert emphasized research and evaluation, while Dimas focused on communities’ initiatives and intensities to establish programs and activities. Alternatives for materials issues were always possible according to Hafiz as the moderator, but what important still was to build trust and partnership with society in local level.
Problem also occurred in regeneration since sustainability in communities needed regeneration. Fauzi didn’t deny the fact that regeneration issue had been a question without a proper answer, yet. However, Dimas highlighted a point on how communities had rights to become status quo, as they were not an official institution. Everything depended on the communities themselves. Hafiz then concluded that what determined the identity of a community was its ‘public’-ness of which it could be measured quantitatively through numbers of people participating, or even qualitatively based on issues brought up by a community. There were many alternative ways to keep communities alive and to spread cinema knowledge through workshops, collaborative works with many stakeholders. This fifth Forum Festival still echoed enthusiasm although the time was no longer enough for few people who raised their hands, asking for more discussions.