Filem: Medium Seni yang Demokratis
Produk-produk material dari modernisme datang begitu saja tanpa kita alami landasan ide yang membentuknya. Jurang pemahaman akan produk material modernisme yang datang dari Barat, dalam hal ini kamera, bukan berarti menjadi keterbatasan yang musti diratapi. Alih-alih, jurang tersebut membuka peluang interpretasi lain ketika bersinggungan dengan suatu kultur tertentu. Peluang inilah yang yang menjadi pintu masuk bagi Afrian Purnama, penyaji program Kompetisi Internasional 07 untuk ARKIPEL bromocorah – 7th Jakarta Internatonal Documentary & Experimental Film Festival, untuk menyuarakan gagasannya mengenai tema ARKIPEL tahun ini; bromocorah.
Dua filem yang dipresentasikan dalam program Kompetisi Internasional 07: Batasan Ketidakterbatasan, Jumat, 23 Agustus 2019, di Auditorium Goethehaus berasal dari Argentina dan Jepang. Filem pertama dari Argentina berjudul Camara Oscura karya Javier Miquelez, bercerita tentang proses pria paruh baya yang melakukan proses produksi dan reproduksi gambar melalu berbagai medium; dari digital, kamera analog, sampai kuas dan kertas. Filem kedua dari sutradara asal Jepang, Takashi Makino, berjudul Memento Stella. Filem ini merupakan hasil dari ulang-alik produksi dan reproduksi gambar yang tersusun hingga menciptakan konfigurasi visual yang abstrak. Kedua filem terhubung dalam satu benang merah, layer. Laku layering, yaitu produksi dan reproduksi gambar, dalam filem Camara Oscura juga terjadi dalam metode yang lebih ekstrem pada filem Memento Stella, sehingga layer visual yang tercipta dalam filem tersebut menjadi tekstur dan bentuk baru.
Kompilasi filem yang ditayangkan siang itu berdurasi 121 menit. Bagi saya cukup mudah mengikuti 61 menit pada filem pertama, Camara Oscura, sebab bagi saya lebih mudah diikuti secara naratif. Namun di 60 menit selanjutnya, mata saya cukup lelah menatap layar. Hal ini juga dialami beberapa penonton lainnya yang meninggalkan ruang auditorium. Visual abstrak dari filem Memento Stella yang terproyeksi pada layar memang cukup melelahkan mata. Hingga pemutaran filem berakhir, dari 8 penonton yang datang, hanya 5 penonton yang masih bertahan. Meskipun begitu, kelelahan saya terbayarkan ketika saya mulai dapat mengasosiasikan citraan dari konfigurasi visual abstrak tersebut dengan interpretasi saya pribadi—yang bisa sangat berbeda-beda bagi orang lain—sehingga membuat saya bergairah untuk mengikuti filem ini sampai akhir. Pada titik tersebut saya mulai menangkap peluang interpretasi yang dimaksudkan Afrian dalam kurasinya ini melalui penjelasannya mengenai fenomena orbs. Menurut penjelasannya, fenomena ini adalah bentuk keterbatasan pemahaman cara kerja kamera digital ketika ia berada pada situasi kultural terntentu. Noise yang tercipta melalui tangkapan kamera pada ruangan bercahaya minim ini kemudian direproduksi dalam bentuk yang lain, contohnya lukisan seorang paranormal pada suatu program televisi. Laku reproduksi ini bisa kita tautkan kembali pada laku pria paruh baya dalam filem Camara Oscura yang melukiskan kembali tangkapan gambarnya. Tentu tawaran pembacaan Afrian atas fenomena ini, bagi saya, menarik untuk merefleksikan kembali kemampuan filem sebagai medium seni yang demokratis.
Film: A Democratic Medium of Arts
Material products from modernism come without the experience of the idea that shapes it before. The gap of understanding regarding the material products of modernism coming from the West – in this case, is a camera – is not necessarily a limitation we should mourn. Instead, that gap is a chance for other interpretations when intersecting with a certain kind of culture. Afrian Purnama, the host and curator of program International Competition 07 of ARKIPEL bromocorah – 7th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, uses this chance as an entrance to express his idea regarding ARKIPEL’s theme this year; bromocorah.
Two films presented at the International Competition 07 program: Limitation of the Infinite, Friday, August 23, 2019, at the Goethehaus Auditorium were from Argentine and Japan. The first film from Argentine, titled Camara Oscura by Javier Miquelez, depicts the story of a middle-aged man’s process of producing and reproducing images through various media; from digital, analog cameras, to painting brushes and paper. The second film from Japanese director, Takashi Makino, is titled Memento Stella. This film is the result of the reciprocal process of image production and reproduction arranged to create an abstract visual configuration. The two films are connected in one common thread; layer. The act of layering, that is the production and reproduction of images, in Camara Oscura occurs in a more extreme method in Memento Stella so that the visual layer created in the film becomes a new texture and shape.
The compilation of films screened that afternoon was a total 121 minutes long. It was easy for me to follow the 61 minutes duration of the first film, Camara Oscura because for me it was easier to follow narratively. But in the next 60 minutes, my eyes were tired enough to stare at the screen. This was also experienced by several other audiences who left the auditorium. Abstract visuals from Memento Stella projected on the screen are quite tiring to the eye. Until the film screening ended, of the eight audiences who came, only 5 of them remained. However, my fatigue was paid off when I began to associate the image of the abstract visual configuration with my interpretation – which can be very different for others – so that made me excited to follow this film to the end. At that point, I began to grasp the chance for interpretation intended by Afrian in his curatorial through his explanation of the digital orbs phenomenon, which according to him, was the limit on an understanding of digital camera’s method when it was situated certain cultural situations. The noise created through camera captures in this low-light room is then reproduced in another form, for example, a paranormal painting on a television program. We can link this reproductive behavior back to the behavior of middle-aged men in the film Camara Oscura who paints an image he has captured using a camera. Of course, Afrian proposal on reading this phenomenon, to me, is interesting primarily to reflect on the ability of film as a democratic medium of art.