Membangun Jejaring Pengetahuan
Bagaimana informasi dan pendidikan didistribusikan? Siapa pula yang berhak menerima dan membaginya? Tema Forum Festival kali ini melihat bagaimana pengetahuan bersirkulasi dalam ranah komunitas untuk menjamin kebertahanan di masa berlangsung.
Pada Sabtu (27/11) malam, sebagai bagian dari ARKIPEL Twilight Zone – 8th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival, telah berlangsung Forum Festival Panel 3: Membangun Jejaring Pengetahuan. Dengan moderator Dini Adanurani, penulis dan kritikus, panel kali ini mengundang tiga narasumber. Nuraini Juliastuti, peneliti dan penulis budaya alternatif, Abhishek Nilamber, konsultan kreatif yang tinggal di Berlin, dan Bunga Siagian, produser budaya dari Jatiwangi Art Factory. Dihadiri oleh total 30 partisipan antara ruang Zoom dan kanal Youtube, panel berlangsung dari 19.00 hingga 21.00 WIB.
Nuraini Juliastuti memulai pembicaraan dengan menjelaskan mimpinya untuk membangun ruang edukasi alternatif. Bagi Nuraini, keinginan tersebut berasal dari bagaimana ia besar di masa Orde Baru. Ia bercerita tentang Soeharto, bersama istri dan timnya, yang datang ke padi nasi. Soeharto berfoto dengan padi yang makmur. Namun, itu hanya properti. Padi imitasi yang dibuat hanya untuk mempercantik foto, sekaligus memperbagus citra Soeharto.
“On institutional lies, and we should not worship the rice”. Jika figur politik bisa berbohong, maka dari mana masyarakat bisa mendapatkan ilmu kredibel?
Menurut Nuraini, pengetahuan itu tersembunyi di dalam tanah, secara literal dan metaforik. Hersri Setiawan, seorang penulis dan jurnalis LEKRA terpaksa menyembunyikan buku-bukunya di bawah pohon pisang. Dalam situasi tersebut, pengetahuan benar-benar tersembunyi di dalam tanah. Nuraini kaitkan bagaimana sumber ilmu tidak hanya diberikan dari institusi, tetapi dari sejarah dan akar masyarakat. Melalui pendirian KUNCI Study Forum and Collective (sebelumnya KUNCI Cultural Studies) pada tahun 1999, bersama dengan anggota-anggota lainnya, ia hendak bereksperimen dengan pengetahuan, pendidikan, dan ekosistem yang memungkinkan sirkulasi pengetahuan tersebut di luar ruang kelas.
Nuraini tidak sendiri dalam mementingkan ruang alternatif untuk membagi ilmu. Abhishek Nilamber menjelaskan tentang praktik ruang seni SAVVY Contemporary yang bertolak dari gagasan sinema sebagai ruang pengetahuan. Melalui program United Screens, SAVVY berkolaborasi dengan praktisi sinema alternatif di wilayah dunia bagian selatan (global south) secara jangka panjang, dengan tujuan demokratisasi sinema dari keterikatan dengan negara dan kapitalisme. Program ini mencakup riset, eksibisi, dan berjejaring.
Salah satu inisiatif yang dihasilkan dalam program United Screens adalah Pad.ma, sebuah situs yang mengarsipkan dan membagi hasil video wawancara dari berbagai praktisi sinema alternatif di dunia mengenai praktik mereka masing-masing. Dari arsip wawancara tersebut, Abhishek merangkum tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para praktisi sinema tersebut dalam lima poin antara lain pendanaan, ruang, arsip, estetika, dan sensor. Bekerja sama berbagai organisasi di dunia, Abhishek berharap inisiatif ini dapat membangun ekosistem video seni yang terus bersirkulasi sehingga karya praktisi sinema dari Selatan terus dibagi dan dikonsumsi.
Berbicara tentang membangun ekosistem, kini Bunga Siagian membagi pengalamannya bersama Jatiwangi art Factory dan warga sekitar. Jatiwangi sebagai titik pabrik genteng, berbicara tentang tanah sebagai materi sehingga warga Jatiwangi hampir selalu kaitan tanah dengan keuntungan. Merespon kebiasaan tersebut, JaF ingin mengalihkan tanah tidak hanya sebagai sumber penghasilan namun sebagai komoditas kreatif. Membuat alat musik, mengadakan festival keramik, dan pameran, tanah dipergunakan sebagai medium dan gagasan berkebudayaan.
Untuk dapat mencapai yang mereka inginkan membutuhkan waktu dan tenaga. Secara perlahan kawan-kawan dari JaF membangun relasi bersama warga sekitar dengan saling membantu. Babaton, bermain dengan kata Sunda “bantu”, adalah nilai untuk saling terlibat dengan masalah tetangga. Masalah di sini dalam artian ketika tetangga punya aktivitas, kita juga harus membantu mereka. Alhasil, orang sekitar sudah siap menawarkan tenaga dan kemampuan mereka karena sudah ada hubungan keseharian. Dari acara musik, acara budaya, hingga perkawinan, warga Jatiwangi dan anggota JAF saling bekerjasama. Kebiasaan membantu tersebut menanam hubungan yang baik dengan semua orang. Lama-kelamaan, praktik seni yang mereka lakukan berbicara tentang sesuatu lebih luas dari masalah individual.
Setelah semua mendapatkan kesempatan untuk berbicara, moderator membuka sesi tanya-jawab. Nuraini mendapatkan pertanyaan, bagaimana masyarakat bisa saling belajar dengan sesama, terlepas dari kontrol figur politik konteks media sosial sekarang? Menurut Nuraini, ada pergeseran pengertian kebenaran dari Orde Baru dan sekarang. Kini, semua orang bebas memiliki ruang pendapat sendiri. Ada proses mendesentralisasikan tokoh-tokoh berkuasa konvensional. Orang-orang yang mempengaruhi jalannya pengetahuan bukan institusi lagi melainkan influencer. Tantangan berikut adalah untuk memahami posisi kita dalam media sosial dan pengetahuan yang disetir oleh algoritma. Menyadari itu, hal terpenting adalah untuk meluaskan pengertian konten, melebihi dari siapa yang bikin tapi bagaimana siklus konten produksi dan distribusi.
Kemudian, Abhishek mendapatkan pertanyaan mengenai apa saja yang telah dilakukan dengan riset dan wawancara yang terkumpul sehingga dapat digunakan dengan praktis. Abhishek menjawab dengan menjelaskan peran teknologi. Teknologi sesuatu yang melebihi alam dan kemampuan manusia sendiri. Walaupun itu, teknologi mulai dikenal sebagai sumber disinformasi. Di antara disinformasi, Abhishek berharap untuk membangun ekosistem digital yang saling menukar nilai pengetahuan dan menanggapi kebutuhan kolektif dibanding individu.
Sesi tanya jawab kemudian ditutup oleh Bunga, yang menyampaikan pesan terakhir nan penting. Sebagaimana kecil upaya untuk membagi pengetahuan dalam ranah global, tujuannya bukan untuk melawan sebuah rezim atau mendobrak sebuah sistem. Selama bisa menggunakan sumber daya yang ada serta saling membantu tetangga, maka akan selalu ada pertukaran pengalaman dan pengetahuan.
Terjemahan Bahasa Inggris oleh Gladyza Vanska
Constructing a Network of Knowledge
How do knowledge and education get distributed? And who has the right to receive and give them? The theme of this Forum Festival examines how knowledge circulates within a community to ensure sustainability in the future.
On Saturday (27/11) evening, Forum Festival Panel 3: Creating a Network of Knowledge was held, as part of ARKIPEL Twilight Zone – 8th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. With writer-critic Dini Adanurani as the moderator, three panelists were brought in: Nuraini Juliastuti, a researcher and writer on alternative culture, Abhishek Nilamber, a creative consultant living in Berlin, and Bunga Siagian, a culture producer from Jatiwangi Art Factory. Attended by a total of thirty participants on Zoom and Youtube, the panel went on from 7 PM to 9 PM West Indonesia Time.
Nuraini Juliastuti started by explaining her hope of creating an alternative education space. It originated from her upbringing during the New Order period. She talked about Soeharto, who with his wife and team, came to a paddy field. Soeharto took pictures with a fruitful of paddy. To him, it was not a field of “crop” but rather “prop”, as in for photo shoots. Imitation paddy was made only to decorate the picture, to touch up his image.
“On institutional lies, and we should not worship the rice”. If political figures lie, then where do people receive credible knowledge?
To Nuraini, knowledge is hidden beneath the soil, literally and metaphorically. Hersri Setiawan, a writer and LEKRA journalist, was forced to hide his books underneath a banana tree. In that circumstance, knowledge is actually hidden beneath the soil. Nuraini relates this to how the source of knowledge is not only given by institutions but also by history and cultural roots. Through initiating KUNCI Study Forum and Collective (formerly KUNCI Cultural Studies) in 1999, along with other members of the collective, she attempted to experiment with knowledge, education, and the ecosystem that enabled it to circulate outside of the classroom.
Nuraini was not alone in noting the importance of an alternative space in which knowledge is shared. Abhishek Nilamber explained the practice of SAVVY Contemporary that departed from the idea of cinema as a space of knowledge. Through their program, United Screens, SAVVY involves itself in a long-term collaboration with alternative cinema practitioners in the global south, aiming for the democratization of cinema from the state and capitalism. Their program consists of research, exhibition, and networking.
One of the initiatives from United Screen is Pad.ma, a website which archives and shares the interviews from worldwide alternative cinema practicioners about their practices. From the archives of the interviews, Abhishek summed up the challenges faced by the practitioners in five main problems: space, fund, archiving, aesthetic, and censorship. Working with various organizations globally, Abhishek hopes this initiative can create an art video ecosystem which continues to circulate, until works of cinema practitioners from the Global South are continually shared and consumed.
About creating ecosystems, Bunga Siagian shared her experience with Jatiwangi art Factory (or JaF for short) and locals from its surrounding area. The people of Jatiwangi, a region famous for its roof tile factories, regards soil as asset so they almost always relate soil to fortune. Responding to the custom, JaF hopes to make soil not only a source of income but also a creative commodity. By making musical instruments and holding ceramic festivals and exhibitions, soil is used as cultural medium and notion.
Time and energy are needed to realize said hope. Little by little, JaF has been building a relationship of mutual aid with the locals. Babaton, a play on the Sundanese word “bantu” meaning “to help”, is a principle of being involved in your neighbors’ business, and your neighbors in yours. The word “business” here means to return your neighbors’ favor by helping out in their activities. As a result, the locals are ready to offer their energy and skills because a relationship exists on a daily basis. From music and cultural events to weddings, Jatiwangi people and JaF members help each other out. With time, the art practice they do speaks about matters wider than only the individual.
After all panelists had their turn to speak, the moderator opened the Q&A session. Nuraini was asked about how people can learn from each other, despite control from political figures in the context of today’s social media. Nuraini stated, there was a shift in the meaning of “truth” from what it is in the New Order period to now. Today, there is room for everyone’s opinion. There is an ongoing process of decentralizing conventional powerful figures. Those who influence the path of knowledge are no longer institutions but rather the so-called influencers. The challenge now is to understand our position in the realm of social media and algorithm-driven knowledge. Considering that, what is of paramount importance is to widen the definition of “content” beyond the question of who created it, to how content production and distribution exist in a cycle.
Abhishek was asked about the aftermath of the research, about the practical use of the gathered interviews. Abhishek then answered by explaining the role of technology. It is something which has surpassed nature and human abilities. However, it has become known as a source of disinformation. Despite that, Abhishek hopes to create a digital ecosystem in which there is an exchange of knowledge value, and in which the collective needs are responded rather than the individual.
The Q&A session was concluded by Bunga who gave the last, yet certainly not the least, message. However small the effort to share knowledge globally, the objective is not to fight against a regime or to smash a system. As long as we can make use of the available resources and as long as neighbors still help each other out, there will always be an exchange of experience and knowledge.
English Translation by Gladyza Vanska