Forum Festival Panel 1: Historiografi Reflektif dan Ilusi Pengetahuan
Bagaimana modernisme berkembang di Indonesia dan mungkinkah ada tawaran dari perkembangan dengan berbagai bentuk hibridanya itu? Festival Forum panel pertama ARKIPEL – Catch-22 pada 29 November 2022 di bioskopforlen, berusaha menjawab pertanyaan di atas dengan mendadar historisitas historiografi di Indonesia dan historisitas kuasa pengetahuan di Indonesia. Hafiz Rancajale selaku moderator panel ini memantik para pembicara: JJ Rizal dan Risa Permanadeli, untuk merefleksikan hegemoni modernisme Barat dan bentuk-bentuk hibrida yang muncul dari pengamalannya di Indonesia.
JJ Rizal, seorang sejarawan serta pendiri penerbit Komunitas Bambu, memulai diskusinya dengan menceritakan bagaimana sejarah Indonesia di masa kolonial hingga kemerdekaan ditulis oleh para politikus dengan kepentingan politik nasional. Para penulis tersebut memakai hasil penelitian akademisi Barat tentang Majapahit dan Sriwijaya sebagai alas bakul membayangkan masa lalu Indonesia yang pernah berkilau. Seperti yang dipropagandakan Soekarno pada 1930-an, bahwa Nusantara pernah berjaya dahulu kala, sementara pada saat sekarang (1930-an) sedang melarat, karena itu di masa depan Indonesia harus berkembang dengan gemilang.
Proyek historiografi Indonesia pada masa berikutnya hingga reformasi tidak lepas dari kepentingan politik bahkan dikuasai oleh negara. JJ Rizal, menyebut proyek penulisan sejarah Indonesia sebagai “proyek cangkokan”, karena sejarah dicangkok demi kepentingan Nasionalisme menurut negara. Padahal, pada masa 1950-an ada dua kubu lain yang menulis sejarah nasional dengan perspektifnya masing-masing, yaitu PKI dan kaum Islam. Tetapi, kedua perspektif lain tersebut tetap tenggelam dalam berbagai proyek negara. Bahkan, Soedjatmoko pernah mengargumentasikan untuk melepaskan penulisan sejarah dengan kepentingan nasionalisme. Tetapi, pikiran itu belum bisa diterima pada masa negara yang menjadi satu-satunya sumber kebenaran.
Sebenarnya, dari pasca kemerdekaan hingga Reformasi merupakan masa kontestasi historiografi negara dengan historiografi alternatif, seperti yang ditekankan oleh JJ Rizal. Tepatnya pada 1970-an, mulai muncul penulisan sejarah Indonesia yang bukan lagi terkait dengan narasi besar negara, melainkan tentang masyarakatnya. Mulai muncul penulisan sejarah para petani dan dilanjutkan dengan sejarah masyarakat di laut dan sungai. Apa dan bagaimana metode penulisan seperti itu disebut JJ Rizal sebagai historiografi reflektif. Penulisan sejarah dengan keberpihakan kepada masyarakat, dengan metode yang kritis terhadap metode-metode penulisan sebelumnya. Dengan begitu, kepentingan historiografi tidak lagi didikte oleh penguasa tetapi demi sejarah itu sendiri dan masyarakatnya.
Risa Permanadeli, seorang akademisi serta direktur Pusat Kajian Representasi Sosial, menayangkan presentasi dengan judul “Mencari Dasar Pengetahuan di Indonesia”. Ia memulai dengan apa yang terjadi pada pengetahuan dan kekuasaan lokal saat orang Eropa datang dan menetap lama di Asia Tenggara. Pada saat itu, Eropa yang baru menemukan pikiran membawa pengetahuan dan teknologi ke Asia Tenggara dan menenggelamkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
Selanjutnya, ia memetakan pengetahuan macam apa yang menguasai suatu periode. Abad 17-18 dikuasai kolonialisme perdagangan, abad 19-20 dikuasai kolonialisme negara, pasca-Kemerdekaan dikuasai perang dingin/konflik ideologi, dan pada masa pasar bebas dikuasai oleh kolonialisme rasa, selera & hasrat. Pengetahuan-pengetahuan tersebutlah yang menghegemoni pikiran masyarakat pada periode Eropa ke Asia Tenggara hingga hari ini. Oleh karena itu, beliau menegaskan, kita harus menyadari pengetahuan seperti apa yang menguasai pikiran kita, agar kita bisa melepaskan diri dari berbagai macam kolonialisme pengetahuan.
Dari panel ini masing-masing pembicara menawarkan suatu kesadaran untuk menghadapi modernisme yang berkembang di Indonesia. JJ Rizal menegaskan tentang historiografi reflektif yang mengkritisi metode sebelumnya. Sementara itu, Risa Permanadeli mengajak untuk menyadari kuasa pengetahuan yang menghegemoni pikiran-pikiran kita.
Forum Festival Panel 1: Reflective Historiography and Illusion of Knowledge
How did modernism develop in Indonesia, and what can this development offer us with its various hybrid forms? The first panel of Forum Festival ARKIPEL – Catch-22 on November 29, 2022, at bioskopforlen, seeks to answer the question above by understanding the historicity of historiography in Indonesia and the historicity of hegemony of knowledge in Indonesia. Hafiz Rancajale as the moderator of this panel started the discussion with the speakers: JJ Rizal and Risa Permanadeli, to reflect on the hegemony of Western modernism and the hybrid forms that emerged from its practice in Indonesia.
JJ Rizal, a historian and founder of the Komunitas Bambu publishing house, began his discussion by telling how Indonesian history from the colonial period to independence was written by politicians with national political interests. These writers used the research of Western academics on Majapahit and Sriwijaya as a base for imagining Indonesia’s once glittering past. As Soekarno propagandized in the 1930s, that the archipelago had triumphed long ago, while at present (1930s) it is impoverished, therefore in the future Indonesia must develop brilliantly.
The project of Indonesian historiography in the next period until reformation cannot be separated from political interests and even controlled by the state. JJ Rizal, called the project for writing Indonesian history a “transplanted project”, because history was transplanted for the sake of nationalism according to the state. In fact, during the 1950s there were two other factions who wrote national history with their own perspectives, namely the PKI and the Muslims. However, these two perspectives remain unheard, drowned out by various state projects. In fact, Soedjatmoko once argued to let go of writing history in the interests of nationalism. However, this thought could not be accepted at the time of the state which was the only source of truth.
From post-independence to Reformasi, it was a period of contestation between state historiography and alternative historiography, as emphasized by JJ Rizal. In the 1970s, writing about Indonesian history began to emerge, which was no longer related to the grand narrative of the state, but about its people. Writings of the history of the farmers began to appear, followed by the history of the people in the sea and rivers. Such a method of writing is referred to by JJ Rizal as reflective historiography. Writing history in favor of society, with a method that is critical of its predecessors. Thus, the interests of historiography are no longer dictated by the authorities but for the sake of history itself and its people.
Risa Permanadeli, a scholar and director of the Center for Social Representation Studies, presented a presentation titled “Searching for Basic Knowledge in Indonesia”. She begins with what happened to local knowledge and power when Europeans arrived and settled in Southeast Asia for a long time. At that time, Europe recently discovered the mind, brought knowledge and technology to Southeast Asia and drowned out the knowledge that had existed before.
Next, she maps out what kind of knowledge ruled a period. The 17th-18th century was dominated by trade colonialism, 19th-20th centuries was controlled by state colonialism, post-Independence era was controlled by a cold war/ideological conflict, and during the free-market period it was controlled by a colonialism of tastes & desires. It is this knowledge that dominates people’s minds in the period from Europe to Southeast Asia to this day. Therefore, she emphasized, we must be aware of what kind of knowledge controls our minds, so that we can escape from various kinds of knowledge colonialism.
From this panel, each speaker has offered an awareness to deal with modernism that is developing in Indonesia. JJ Rizal emphasized about reflective historiography which criticized the previous method. Meanwhile, Risa Permanadeli has provoked us to become aware of the knowledge that dominates our thoughts.