Bromocrah: Dari Level Mahasiswa, Pembuat Filem hingga Kajian Akademik
Perhelatan Forum Festival panel 3 yang diadakan oleh Forum Lenteng merupakan bagian dari ARKIPEL bromocorah – 7th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. Acara tersebut berlangsung pada Senin (19/8) di GoetheHaus, Goethe-Institut Indonesia. Panel berjudul “Studi Kasus Terhadap Fenomena Bromocorah” tersebut mengundang tiga pembicara, yaitu Umi Lestari sebagai dosen di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Maria Christina Silalahi sebagai seniman dan pembuat filem yang aktif dalam platform Milisifilem, dan Dini Adanurani sebagai Direktur Festival UI Film Festival (UIFF), serta dimoderatori oleh Dhuha Ramadhani, anggota Forum Lenteng yang aktif sebagai pembuat filem dan kurator.
Panel ketiga Forum Festival membicarakan tentang studi kasus dalam fenomena bromocorah. Sebagai Direktur Festival sekaligus mahasiswi, Dini memaparkan karakteristik mengenai filem mahasiswa serta permasalahan yang selama ini kerap dihadapi oleh pembuat filem di kalangan mahasiswa. Dini menjelaskan bahwa secara sistem, filem mahasiswa tidak berada di tahap industri. Hal inilah yang menjadi salah satu keuntungan bagi mahasiswa karena mereka bisa bebas dalam melakukan eksperimentasi sinema. Namun terdapat pula kendala yang kerap dihadapi oleh pembuat filem di kalangan mahasiswa, seperti kebosanan mengenai bentuk filem yang repetitif dan beberapa filem buatan mahasiswa yang cenderung seolah mendorong audiensnya pada satu perspektif tertentu saja.
Atas dasar kejenuhan itulah, Dini sebagai Direktur Festival ingin membuat sesuatu yang baru dalam seleksi filem UIFF. Ia menambahkan beberapa kriteria terhadap filem-filem yang masuk ke UIFF untuk melihat lebih jauh filem-filem mahasiswa yang baru dan segar untuk melihat kemungkinan eksperimentasi yang terjadi.
“Situasinya akan jadi kurang dinamis ketika festival-festival filem skala kecil yang seharusnya memberikan tempat bagi filem alternatif justru berkiblat kepada industri dan kemudian mereka akan luput melihat eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh mahasiswa.” pungkasnya.
Umi Lestari melanjutkan pembahasan dengan mempresentasikan bagian dari tesisnya mengenai salah satu pembuat filem di Indonesia – Nawi Ismail. Umi mengatakan bahwa Nawi Ismail merupakan seorang sutradara yang piawai dalam mengadaptasi sebuah situasi harian untuk dijadikannya filem komedi. Umi juga menambahkan bahwa kualitas Nawi sebagai sutradara komedi sangatlah kuat karena filem yang Nawi sutradarai mampu mengolok penguasa sekaligus kelas bawah.
Umi memaparkan bagaimana filem-filem Nawi memuat gambar-gambar yang tidak lazim di masyarakat, misal dalam Ratu Amplop (1974) dan Benyamin Tukang Ngibul (1975). Selain tak lazim, sejumlah adegan tersebut juga memiliki metafora yang kuat. Salah satunya ialah pada adegan sepatu boot dalam filem Benyamin Tukang Ngibul.
“Penggambaran realitas simbolik dengan skenario paling buruk justru membuat subjek bisa menerima kekurangan pada liyan. Pada detik ini, subjek akan terbebas dari rayuan ideologis negara, tetapi di sisi lain ia juga bisa bernegosiasi dengan karakteristik negara paling buruk sekalipun.” tutupnya.
Pemaparan terakhir ialah oleh Maria yang mempresentasikan studi kasus dua filem Indonesia – Carok dan 7 Manusia Harimau – karya Imam Tantowi yang dianggap memiliki unsur bromocorah. Kedua filem ini dikaji melalui perspektif kriminologi. Pada salah satu adegan 7 Manusia Harimau, terlihat seorang siswi yang iseng menulis sesuatu di kertas yang membuatnya dikeluarkan oleh gurunya dari kelas. Maria menarik konstruksi sinema yang dibawakan oleh Imam Tantowi yang merujuk pada kehadiran bromocorah yang membaur dengan masyarakat dalam wujud solid kekuasaan tradisi maupun masyarakat itu sendiri. Dari filem Carok, Maria membahas sebuah adegan ketika dua orang tokohnya yang sedang berdialog dengan satu sama lain, namun keduanya berada di latar yang berbeda; di ruang belajar dan ruang makan. Menurut Maria, montase semacam ini mengindikasikan kelas subjek secara visual yang dihasilkan dari jukstaposisi yang dihadirkan oleh Imam Tantowi.
Pada sesi diskusi, terdapat satu penanya yaitu Budi Irawanto sebagai akademisi di Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus sebagai penyelenggara festival Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF). Ia mengajukan pertanyaan kepada Dini tentang sebab utama mahasiswa yang kurang terampil dalam bercerita, padahal mereka memiliki informasi dan referensi berlimpah berkat teknologi yang maju. Menurut Dini, kurangnya keterampilan mahasiswa dalam membuat filem justru dikarenakan tidak adanya urgensi yang dihadapi oleh mahasiswa sekarang. Ia membandingkan dengan mahasiswa di era sebelumnya yang menghadapi suatu urgensi mengenai medium dan situasi keterbatasan informasi.
Pertanyaan lain oleh Budi pun diajukan pada Umi, yakni mengenai perbedaan estetika antara Nawi Ismail dan Nya’ Abbas Akup, terutama karena keduanya adalah sutarada filem komedi. Menurut Umi, Nya’ Abbas lebih pandai dalam bermain kata-kata. Ia menyebutkan salah satu adegan filem Nya’ Abbas yang berjudul Koboi Sutra Ungu (1981), yang kemudian ia komparasikan dengan filem-filem Nawi Ismail yang cenderung bermain di visual yang “aneh”, seperti di filem Ratu Amplop dan Benyamin Tukang Ngibul.
Bromocorah: From University Student, Filmmaker until Academic Study
Forum Festival Panel 3 which organized by Forum Lenteng is a segment of ARKIPEL bromocorah – 7th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. This event takes place on Monday (19/8) at GoetheHaus, Goethe-Insitut Indonesia. The panel which titled “Case Study of Bromocorah Phemenon” invited three speakers namely Umi Lestari as lecturer at Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Maria Christina Silalahi as artist and filmmaker whose actively involved on Milisifilem platform, and Dini Adanurani as Festival Director of UI Film Festival (UIFF) and moderated by Dhuha Ramadhani, as member of Forum Lenteng whose currently active as filmmaker and curator.
The third panel of Forum Festival discuss the case study of bromocorah phenomenon. As Festival Director and university student, Dini unravels the characteristics of university student’s films as well as problems that often faced by filmmaker who is also university student. Dini explained that systematically, films of university students is yet reached industry staged. This is then becoming one of the advantages for them because then they are free to do cinema experimentation. Nevertheless, they also face also obstacles such as boredom and how several films made by university students tend to force audiences into one particular perspective.
Based on those saturation, Dini as Festival Director wants to create something new in terms of selecting films for UIFF. She adds several criteria upon film that submitted to UIFF to furtherly seek university students’ films that are new and fresh in search of possible experimentation that happened.
“The situation becoming less dynamic when small-scale film festivals that supposed to provide spaces for alternative films are orienting to the industry which then it might miss the experimentations that university students done.” she concluded.
Umi Lestari continues the discussion by presenting part of her thesis on one of Indonesia filmmaker – Nawi Ismail. Umi claimed that Nawi Ismail is a filmmaker that skilled in adapting a daily situation into a comedy film. Umi also adds that the quality of Nawi as a director of film comedy was really powerful because films that he directed are successful in mocking both authority as well as lower class.
Umi described how Nawi’s films depict unusual imageries in society, for instance Ratu Amplop (1974) and Benyamin Tukang Kibul (1975). Aside of being unusual, some of the scenes are possessing strong metaphors. One of which is the boots scene on Benyamin Tukang Ngibul.
“The symbolic reality depiction with the worst scenario in fact creating subjects that able to accept the shortcomings of the others. At this second, the subject will be free from the state ideological seduction, but it is also capable of negotiating even with the worst characteristics of the state.” she concluded.
The last discussion is by Maria who presented two case studies of Indonesian Film – Carok and 7 Manusia Harimau – by Imam Tantowi. They are considered to have bromocorah element that can be studied through criminology perspectives. On one of 7 Manusia Harimau scene, observed a student who idly wrote something on a paper which caused her to get expelled from the class. Maria draws a cinema construction that brought by Imam Tantowi which refers to the presence bromocorah that blends with the society in the form of a solid power of tradition and society itself. In Carok film, Maria discusses one scene where the two characters that are a conversing with each other, but they are in different backgrounds; in study room and dining room. According to Maria, such montage indicated the class of the subjects which visually produced by the juxtaposition presented by Imam Tantowi.
On the discussion session, there is one question coming from Budi Irawanto as academic in Universitas Gajah Mada (UGM) as well as the organizer of Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF). He proposed a question to Dini regarding the main reason why university students seem to have less skill in story-telling despite of abundant information and references provided by advance technology. According to Dini, this phenomenon might happen because the lack of urgency that university students experience now. She compared to the previous generation that faced certain urgencies relating to limited medium and information.
Another question Budi asked was to Umi. It was about the difference of Nawi Ismail and Nya’ Abbas Akup aesthetics, especially because they were both directors of comedy film. Umi then anwererd that Nya’ Abbas is cleverer in wordplay. She mentioned one scene of Nya’ Abbas’s film which titled Koboi Sutra Ungu (1981) which she then compared with Nawi Ismail films that tend to play with unusual visuals, as happens in Ratu Amplop and Benyamin Tukang Ngibul.