ARKIPEL
Jakarta
Documentary
&
Experimental
Film Festival
2024
Garden
of
Earthly
Delights
INTERNATIONAL
COMPETITION
INTRODUCTION
I’m not interested in seeing a film just made by a woman – not, unless she is looking for new images.
—Agnes Varda
Varda is not willing to compromise. For her, to show their quality, women must position themselves at the top, no matter what. It seems that the quality of a woman’s work, to Varda, has nothing to do with her femininity. Instead, Varda offers some kind of radicalism that is ‘different’ in their work, which can only be done by herself, as women.
Aparna Sen, a Bengali director, once said that male directors should utilize their feminine side to develop their female gaze, as for her, the world has been managed by the aggressive male, and ends up in ruins. This view clearly pokes around the subject of civilization, which is quite accurate if we see it through the films in this program, where we would see that if being seen from the perspective of a female director, civilization is born from the womb of a mother. From the ancestral mother of a mother of a mother of anyone; let another perspective find its way in the recycled reservoir of ideas. Moreover, as the citizen proposes strategies to weave themselves into the systematic threads of power, women propose an ‘error’ or glitch, to shield themselves from the cyberbullying towards the female body; as for the rest, let them seek their own way through the reservoir of data.
The International Competition Program in Arkipel Garden of Earthly Delights -Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2024 itself is about the development within cinema which contests the perspective of power and collective memory of the people. Viewpoints given by the intentional cameras from the people formed an archeography of the location that is in abundant due to the ease of digital technology. All of the collective perception, when combined, marks the location of different kinds of issues throughout the world—like a map. This map will also guide us to the harsh reality of a civilization that has fallen several times but people rebuilt nevertheless. A proposition to non-human agency also appears in several works that come from a monument of memories.
Today, along with Forum Lenteng’s 21st anniversary, we present a collection of archeography of civilization, and perhaps it is time for our civilization to be given to a feminine gaze, to prevent it from its cyclical doom.
Jakarta, July 13th 2024
I’m not interested in seeing a film just made by a woman – not, unless she is looking for new images.
—Agnes Varda
Varda tidak mau berkompromi. Baginya, dalam menunjukkan kualitasnya, perempuan harus berada di puncak tertinggi, bukan yang lainnya. Tampaknya kualitas seorang perempuan dalam berkarya, bagi Varda tak ada hubungannya dengan ‘keperempuanan’. Namun sesunguhnya ia mengajukan sebuah radikalisme yang ‘berbeda’ dalam berkarya, yang hanya bisa dilakukan olehnya sendiri, seorang perempuan.
Seorang sutradara perempuan Bengali, Aparna Sen, pernah mengatakan bahwa pembuat film laki-laki perlu memanfaatkan sisi keperempuanan mereka untuk mengembangkan ‘female gaze’ mereka, karena menurutnya, dunia telah dijalankan oleh laki-laki yang agresif dan berakhir dalam kekacauan. Pendapat ini sudah jelas menyoal peradaban, dan ini cukup akurat jika menilik beberapa film dalam program ini, di mana jika peradaban dilihat melalui perspektif sutradara perempuan, maka ia lahir dari rahim ibu. Dari ibu-moyangnya ibunya ibu dari siapapun; pendapat yang lainnya, biarlah mencari jalannya sendiri di waduk daur ulang ide. Bahkan, sebagaimana warga mengusulkan siasat untuk berkelindan dengan sistemasi kekuasaan, perempuan pun mengusulkan ‘kesalahan’, atau glitch, untuk terlindung dari perundungan-siber terhadap tubuh perempuan; sisanya, biarlah mereka mencari jalannya sendiri dalam waduk data.
Progam Kompetisi Internasional Garden of Earthly Delight dalam Arkipel-Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival 2024 ini juga berkisar pada persoalan perkembangan dengan sinema yang mengontestasikan antara tatapan kekuasaan dengan ingatan warga. Tatapan pengintaian oleh kamera—kamera intensional milik warga ternyata membentuk arkeografi lokasi yang meruah akibat kemudahan teknologi digital. Semua persepsi kewargaan tersebut, saat dihimpun, layaknya sebuah peta, menandai lokasi berbagai persoalan di dunia. Peta tersebut juga akan mengarahkan kita pada kenyataan pahit peradaban yang jatuh berkali-kali, namun tak juga tak membuat jera. Usulan untuk berpaling pada keagensian non-manusia juga muncul dalam beberapa karya yang justru membangun monumen dari ingatan manusia.
Hari ini, bertepatan dengan ulangtahun Forum Lenteng ke 21, kami menyajikan kumpulan arkeografi peradaban, dan mungkin ini saatnya saatnya peradaban diserahkan pada tatapan yang feminin untuk menjaganya dari kejatuhan yang berulang-ulang.
Jakarta, 13 Juli 2024